Alkisah, hiduplah Ni Siti. Nenek penyadap karet ini tinggal di sebuah desa di Hulu Sungai, Kalimantan Selatan. Ni Siti mengadu kepada Allah Swt.
Kiwari dia harus lebih bekerja keras untuk mendapatkan hasil getah karet. Padahal tatkala Kai Rustam suaminya hidup, sebelum matahari muncul pohon karet keenam belas telah selesai disadap.
Pulang ke rumah, menanak nasi, sarapan dan sekira setengah sembilan, saat mereka kembali ke kebun karet, tempurung telah penuh dengan getah karet yang masih cair.
Kiwari semua telah berubah.
Ni Siti sebatang kara membutuhkan waktu lebih lama untuk menyadap semua pohon karetnya. Dia tidak pernah lagi mendapati getah cair dalam tempurung. Getah itu telah beku sebelum Ni Siti kembali untuk mengumpulkannya.
Dia kelelahan. Apa muasalnya?
Sejak hampir tiap hari truk-truk besar berisi batubara melintas di jalan depan rumah atap rumbia milik Ni Siti, rata-rata tiap batang karetnya hanya menghasilkan seperempat tempurung getah.
Penghasilannya yang sudah sedikit bertambah cekat. Desa Ni Siti pun mengalami krisis air bersih. Pasca mendengar iring-iringan truk batubara, hanya satu yang ada di dalam benak perempuan kamitua itu.
Baca juga; NU dalam Pusaran Tambang: Untung atau Buntung?
Dia harus membersihkan halamannya dari debu yang disemburkan roda-roda truk tersebut.
Kadang-kadang debu itu bercampur dengan serpihan hitam berbagai ukuran, dari seukuran kerikil sampai sebesar kepalan tangan.
Kadang-kadang pula semburan serpihan itu terlempar sampai ke teras rumah Ni Siti. Entah sampai kapan hal ini berlangsung.
Pembaca budiman, kisah Ni Siti ini saya cuplik dari cerita pendek karya Zaidinoor berjudul “Serpihan di Teras Rumah” (Surat Kabar Kompas, Minggu, 3 Februari 2013).
Cerpen ini kemudian dibukukan dalam cerpen pilihan Kompas 2013 berjudul Klub Solidaritas Suami Hilang (2014).
Meski “Serpihan di Teras Rumah” karya fiksi, tetapi ia merupakan representasi faktual kehidupan sehari-hari masyarakat Banjar di Kalimantan Selatan. Provinsi ini mengalami perubahan sosial geografis ekstrem (dari perkebunan karet ke tambang batubara), setidaknya dalam rentang waktu tigapuluh tahun terakhir.
Ni Siti juga dapat kita sebut sebagai lukisan rakyat (petani) Banjar berlatar belakang nahdliyin kultural, yang mempraktikkan tradisi keagamaan, seperti yasinan, tahlilan, kenduren, dan lain-lain di perdesaan.
Sebut saja: tradisi Islam Nusantara.
Suku Banjar adalah etnis ke-10 terbesar di Indonesia dan 99,55 persen beragama Islam. Jika di Indonesia terdapat 360 etnis dengan 719 bahasa yang berbeda, maka etnis Banjar sudah selayaknya termasuk yang diperhitungkan dari segi sosial, budaya, ekonomi, dan politik.
Selain Suku Banjar, tentu saja ada etnis lainnya yang terancam oleh rencana aktivitas pertambangan batubara di pegunungan Meratus, Kalsel: masyarakat adat Dayak Pitap.
Suku Dayak Pitap memiliki kearifan yang lestari.
Mereka menjaga kehidupan dengan tradisi berladang, dan perlakuan terhadap alam yang penuh takzim. Tradisi berladang Dayak Pitap bukan sekadar memperoleh makanan, juga memperkuat ikatan spiritual.
Setiap proses diawali dan diakhiri dengan ritual ini menunjukkan betapa dalamnya keyakinan mereka akan pentingnya hubungan mereka dengan alam dan leluhur.
Masyarakat Dayak Pitap adalah penjaga hutan sejati. Hutan Meratus memiliki arti penting dalam kehidupan mereka. Bukan sekadar sumber air, pangan, dan papan juga spiritualitas.
Baca juga: Tulisan Ulil Abshar Abdalla, Seri Pertama: Soal Tambang dan Fikih Lingkungan
Dalam memelihara kelestarian hutan, Masyarakat Dayak Pitap punya aturan tata-ruang tersendiri. Keberadaan Dayak Pitap kiwari juga terancam oleh perusahaan yang ingin mengeksploitasi sumber daya alam di wilayah ulayat.
Hilangnya hutan dipastikan bakal menggerus inti kehidupan dan identitas mereka. Pegunungan Meratus merupakan sebuah kawasan yang membelah Provinsi Kalimantan Selatan menjadi dua.
Ia membentang dengan melewati hampir semua kabupaten di Kalimantan Selatan, hingga ke perbatasan dengan provinsi Kalimantan Timur.
Titik tertingginya berada di Gunung Halau-halau dengan 1.901 mdpl. Kemasyhuran Meratus selevel dengan Pegunungan Schwaner, Muller, dan Iban.
Merekalah titik-titik tertinggi di Kalimantan.
Di bawah pegunungan Meratus terbentang dataran rendah yang sangat luas dengan berbagai macam karakteristik, seperti gambut dan dataran rawa air tawar.
Sungai-sungai besar Kalimantan memainkan peran yang besar dalam membentuk dataran semacam ini karena rawa air tawar dikenal sebagai “dataran banjir” dari sungai-sungai tersebut.
Tahun 2021 silam, banjir besar terjadi di Kalimantan Selatan.
Dilansir Kompas, 14 Februari 2021, bencana itu menyebabkan 11 dari 13 kabupaten/kota terendam. 102.340 rumah penduduk, 176.290 keluarga atau 633.723 jiwa terdampak banjir awal tahun di Kalimantan Selatan. 35 orang meninggal dunia dan 135.656 jiwa harus mengungsi.
Menurut data WALHI, sejak 2022, sepanjang 456 ribu meter jalan negara di Kalimantan Selatan dibebani dan dikepung perizinan tambang.
Dampak dari beban izin tambang ini menimbulkan potensi kerugian negara karena rusaknya infrastruktur yang dibangun dengan uang pajak rakyat seperti jalan dan fasilitas umum lainnya.
Saya masih ingat, awal 2000-an, hampir setiap hari ada berita kecelakaan dan kematian di koran-koran lokal, akibat ditabrak truk-truk batubara yang hilir mudik di jalan raya lintas provinsi.
Kisah ini juga diabadikan dengan liris dalam novel karya Sandi Firly, Rumah Debu (2010).
Kalakian, penting sekali untuk “memutus diri” dari sistem yang didasari oleh motif akumulasi kapital terus-menerus berupa bisnis pertambangan.
Baca juga: Melampaui Ideologi dan Fikih: Kritik atas Tulisan Ulil Abshar Abdalla soal Tambang
Pemutusan ini merupakan kondisi yang perlu bagi terciptanya peradaban ekologi anyar: suatu pembangunan infrastruktur yang ditujukan untuk perbaikan dan kelanjutan kehidupan masyarakat lokal, bukan infrastruktur yang memfasilitasi cepat perekonomian kapitalistik yang merusak alam.
Menurut hemat saya, dalam penerimaan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama terhadap kebijakan konsesi tambang pemerintah Republik Indonesia adalah kekeliruan nan fatal, karena secara faktual industri pertambangan batubara selama ini terang lebih banyak merugikan rakyat Indonesia dan lingkungannya, apalagi bagi warga nahdliyin.
Arkian, “bumi adalah masjid,” tutur Nabi Muhammad saw.; selain berarti kita boleh mengerjakan sembahyang di tempat mana pun yang bersih dan suci, ada pesan tersirat untuk memelihara alam.
Dekat dengan Tuhan Yang Maha Esa, ramah dengan lingkungan, dan saling menjaga satu sama lain di planet kita.
Tentu saja kita tidak mau sajadah untuk sembahyang berdebu oleh serpihan batubara.