Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan putusan haram salam lintas agama. Alasannya, karena mengucapkan salam berbagai agama bukanlah makna toleransi yang dibenarkan. Mengucapkan salam dalam Islam bagian dari ibadah. Sebab itu, tidak boleh dicampuradukkan dengan ucapan salam dari agama lain dan mesti mengikuti ketentuan syariat. Rekomendasinya, dalam kegiatan yang melibatkan pemeluk agama lain, umat Islam cukup mengucapkan Assalamu’alaikum atau salam nasional yang tidak mencampuradukkan dengan salam doa agama lain.
Putusan ini menimbulkan polemik di tengah masyarakat, apalagi penggunaan salam lintas agama ini menjadi suatu hal yang biasa diucapkan di kegiatan formal yang melibatkan pemeluk agama yang beragam, khususnya acara kenegaraan. Mewakili pemerintah, Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas mengatakan, “Fatwa itu sifatnya rekomendasi, salam enam agama itu kan praktik baik untuk menjaga toleransi. Tidak semuanya harus dikaitkan dengan ubudiah. Jangan hanya dilihat dari sisi teologisnya saja, tapi sisi sosiologisnya juga harus dipertimbangkan, bahwa salam ini untuk menjaga, saling menghormati antar sesama umat beragama.
Menyikapi putusan ini, Pengurus Besar Nadhlatul Ulama menggelar Halaqah Ulama untuk mendiskusikan fatwa MUI tentang salam lintas agama lebih mendalam. Halaqah ini diadakan pada tanggal 11 Juni 2024 di gedung PBNU. Diskusi ini dihadiri oleh beberapa narasumber, KH. Ulil Abshar Abdallah, KH. Abdul Ghofur Maimoen, dan tokoh lainnya.
Dalam pidato pembukaannya, Ketua Umum PBNU KH. Yahya Cholil Staquf menjelaskan latar belakang halaqah ini sebetulnya tidak ditujukan secara spesifik untuk membahas fatwa MUI, walupun pemicu utamanya itu. Menurutnya, yang perlu dibahas lebih mendalam adalah bagaimana menggunakan fikih dalam merespons masalah dan realita hari ini.
Fikih adalah warisan berharga dari umat Islam dan digunakan sebagai kerangka berpikir untuk menghadapi persoalan baru. Tanpa fikih, umat Islam akan kesulitan untuk merespons permasalahan hari ini.
Yang menjadi masalah sekarang adalah ada banyak realitas yang sudah berubah. Kontruksi sosial dan politik masyarakat hari ini tidak sama lagi dengan apa yang sudah dijelaskan para ulama dulu. Sebab itu, menurut Gus Yahya, perlu pendekatan yang berbeda dalam meneggunakan fikih. Kalau pendekatannya masih menggunakan pendekatan lama, yang dirumuskan sesuai dengan kondisi masyarakat dulu, kesimpulan fikihnya juga akan salah arah.
Karena itu, seorang ahli fikih dalam menganalisis masalah penting kiranya memperhatikan maksud dan hakikat dari pertanyaan yang diajukan. Jangan menjawab berdasarkan asumsi dan klaim sepihak. Misalnya, salam lintas agama dihukumi haram, karena dianggap mencampuradukkan ibadah.
Menurut Gus Yahya, salam lintas agama diharamkan karena ada klaim. Jelasnya, umat Islam menganggap Assalamu’alaikum itu ibadah, kemudian menghukumi kalau salam yang diucapkan agama lain itu juga ibadah. Di sini masalahnya, menurut agama lain pengucapan kalimat yang sering diucapkan dalam salam lintas agama itu bukan bagian dari ibadah.
“Tanya pada teman Kristen, apakah salam sejahtera itu masuk liturgy? Shalom, tanya pada teman Katolik, apakah masuk liturgy? Paus aja ngak pernah buka pidato pakai shalom,” Papar Gus Yahya.
Kemudian, namo buddhaya dikatakan ibadah, padahal agama Budha itu sendiri tidak mengenal peribadatan, yang ada meditasi. Jadi menurut Gus Yahya tidak tepat dikatakan salam lintas agama itu mencampuradukkan ibadah.
“Kalau jadi pencampuran ibadah, ibadah apa yang dicampur? Yang lain bukan ibadah,” Tegas Gus Yahya.
Persoalan ini muncul karena sebagian ulama masih menggunakan cara pikir lama. Belum menyadari realitas sosial dan politik Indonesia sepenuhnya. Konstruksi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945 belum sepenuhnya dijadikan cara berpikir dalam merespon masalah-masalah fikih.
“Hal ini terjadi karena mindset, para fukaha itu mindsetnya masih Turki Usmani, belum menginternalisasi mindset Negara Kesatuan Republik Indonesia. Walaupun ngakunya NKRI harga mati, tapi masih Turki Usmani. Itu masalahnya,” Pungkas Ketum PBNU.