Islami.co (Haji 2024) — Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mengeluarkan pernyataan terkait keabsahan praktik mabit di Muzdalifah dengan sistem murur selama ibadah haji. Mabit di Muzdalifah dengan murur hukumnya sah. Murur adalah melintasi Muzdalifah dengan tetap berada di kendaraan tanpa turun dan menginap. Bus langsung membawa mereka menuju tenda Mina.
Keputusan ini diambil dalam musyawarah yang berlangung pada 28 Mei 2024. Musyawarah dipimpin oleh Rais ‘Aam KH Miftachul Akhyar dan Katib Aam KH Ahmad Said Asrori. Musyawarah berlangsung secara hybrid, daring dan luring, diikuti KH. Afifuddin Muhajir, KH. Musthofa Aqiel Siraj, KH. Masdar F Masudi, KH. Sadid Jauhari, KH. Abd Wahid Zamas, KH. Kafabihi Mahrus, KH. M Cholil Nafis, KH. Muhibbul Aman Aly, KH. Nurul Yaqin, KH. Faiz Syukron Makmun, KH. Sarmidi Husna, KH. Aunullah A’la Habib, KH. Muhyiddin Thohir, KH. Abdul Moqsith Ghozali, KH. Reza A Zahid, KH. Tajul Mafakhir, Habib Luthfi Al-Athas, dan KH. Abd Lathif Malik.
“Musyawarah Pengurus Besar Harian Syuriyah memutuskan bahwa Mabit di Muzdalifah secara murur hukumnya sah jika murur di Muzdalifah tersebut melewati tengah malam tanggal 10 Dzulhijjah, karena mencukupi syarat mengikuti pendapat wajib mabit di Muzdalifah,” demikian dikutip dari Lampiran Keputusan Pengurus Besar Harian Syuriyah NU, Jumat (31/5/2024).
Selain beberapa ulama dan asatidz dari PBNU, musyawarah ini juga dihadiri perwakilan dari Kementerian Agama RI, yaitu Staf Khusus Menteri Agama RI Ishfah Abidal Aziz dan Direktur Bina Haji Arsad Hidayat.
Ragam pendapat Mabit di Muzdalifah
Dijelaskan juga, jika mabit di Muzdalifah secara murur tersebut belum melewati tengah malam tanggal 10 Dzulhijjah, maka dapat mengikuti pendapat bahwa mabit di Muzdalifah hukumnya sunnah. Hal ini berdasarkan keterangan beberapa ulama. Misalnya, dalam Hasyiyah al-Jamal ‘ala Syarh al-Manhaj dijelaskan bahwa berkenaan ungkapan Zakariya al-Anshari tentang wajib mabit sebentar, ada juga pendapat yang mengatakan bahwa mabit hukumnya sunnah. Ar-Rafi’i bahkan mengunggulkan pendapat ini.
Dalam Hasyiyah Ibn Hajar ‘ala Syarh al-Idhah, dijelaskan juga tentang dua pendapat asy-Syafi’I tentang Mabit di Muzdalifah, wajib dan sunnah. Bila seseorang mengikuti pendapat yang mengatakan mabit itu wajib, maka dam-nya wajib. Apabila seseorang mengikuti pendapat yang mengatakan mabit itu sunnah maka dam-nya sunnah.
Kepadatan di Muzdalifah sebagai Masyaqqah
Musyawarah Pengurus Besar Harian Syuriyah Nahdlatul Ulama juga memutuskan bahwa kepadatan jemaah di area Muzdalifah dapat dijadikan alasan kuat sebagai uzur untuk dapat meninggalkan mabit di Muzdalifah, sehingga hajinya sah dan tidak terkena kewajiban membayar dam. Sebab, kondisi jamaah yang berdesakan borpotensi menimbulkan mudharat/masyaqoh dan mengancam keselamatan jiwa jamaah.
“Menjaga keselamatan jiwa (hifdu an-nafs) pada saat jemaah haji saling berdesakan termasuk uzur untuk meninggalkan mabit di Muzdalifah,” demikian dikutip dari kesimpulan musyawarah.
Ijtima Ulama MUI tentang murur saat Mabit
Selain PBNU, MUI juga menyatakan bahwa mabit dengan murur saat di muzdalifah hukumnya sah.
Hal ini diungkapkan oleh Asrorun Niam Soleh, Ketua SC Komisi Fatwa se-Indonesia VIII dalam Ijtima Ulama VIII di Ponpes Bahrul Ulum Islamic Center, Bangka Belitung, Kamis (30/5/2024).
Terkait dengan hal ini, Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia VIII memberikan 4 rekomendasi. Pertama, jamaah haji Indonesia perlu memperhatikan ketentuan manasik haji dalam pelaksanaan ibadah haji agar sesuai dengan ketentuan syariah.