Melihat-lihat lukisan para pelukis tersohor adalah kemewahan tersendiri. Tetapi untuk kedatangan kali ini, saya akan sedikit menggeser perhatian dari menonton lukisan ke menonton orang melihat lukisan. Tentu karena penasaran saja, mengapa orang-orang ini begitu bersemangat datang ke museum? Mengapa mereka bisa terdiam, menatap lama, terpaku ketika memandang sebuah lukisan?
Ketika teman-teman panitia voices of archipelago mengajak untuk tur ke museum Rijk, saya langsung ambil setuju. Tentu di antaranya karena gratis dan akan didampingi seorang pemandu profesional. Sebagai catatan, tiket sekali masuk €25 (di Museum Kunst Den Haag €19, sedangkan museum Van Gogh lebih mahal lagi dan harus indent seminggu sebelumnya).
Setelah lepas dari rombongan yang dibawa oleh pemandu untuk melihat-lihat koleksi yang berkaitan dengan Indonesia, kita dibebaskan untuk keliling ke mana saja. Museum kebak dengan orang-orang, dari anak-anak sekolah hingga pelancong umum. Padahal hari itu Kamis, bukan akhir pekan.
Begitulah berjubelnya orang, itu saja telah menarik perhatian. Museum kok seperti pasar saja. Sungguh bikin penasaran.
Tibalah saya di lukisan “Penjaga Malam” karya Rembrant yang dibuat abad 16 dan yang paling banyak dikerumuni pengunjung. Lukisan berukuran besar itu secara khusus dijaga seorang satpam. Artinya seorang satpam dibayar khusus untuk menjaga lukisan itu dari gangguan para pengunjung yang mungkin terlalu cinta, bisa juga mungkin terlalu benci. Konon dulu ada pengunjung yang merobek dengan pisau.
Saya menyaksikan orang-orang itu, baik para pelancong maupun siswa, baik tua maupun muda, menatap lama lukisan itu, memandang terdiam, mungkin terpukau. Saya yakin di kepala mereka bekerja dan berseliweran banyak pertanyaan tentang lukisan ini, yang sebagian besar sudah mereka dapatkan dari bacaan atau pelajaran di sekolah. Siapa itu Rembrant? Mengapa lukisan “Penjaga Malam” ini menarik? Di mana menariknya? Apa nilainya? Dll? Apresiasi seni yang diajarkan di sekolah atau rumah membawa mereka pada pertanyaan-pertanyaan itu.
Narasi tentang Rembrant, kehidupannya, dan karya-karyanya telah demikian luas dan kaya, yang mengantarkan pada apresiasi tersebut. Nilai ekstrinsiknya yang dibangun para sejarawan dan pengulas seni bisa lebih besar sehingga pelukis dan lukisannya itu telah menjadi mitos. Namun itu semata bernilai intelektualistik dan ilmu pengetahuan. Padahal ketika saya mengamati dengan agak lebih saksama, tatapan mereka yang serius, mendalam, dan cukup lama itu tidak semata intelektualistik, ada pandangan yang bersifat ‘spiritual’ di dalamnya. Menatap dan menyelami lukisan itu seolah sebuah ‘ibadah’, khusyu’ dan tenang, dalam waktu yang singkat dan padat.
Gambar-gambar lukisan potret Van Gogh, lukisan Perempuan dengan Suwang Mutiara karya Vermeer yang menjadi koleksi favorit Maurithuis Museum dll, bertebaran dalam bentuk poster, gelas, kaos oblong, tempelan magnet kulkas dll., tentu saja semua diolah menjadi produk souvenir pariwisata. Tetapi di bagian dasarnya tetaplah itu berasal dari sebuah kecintaan dan penghormatan pada lukisan-lukisan dan hasrat memiliki tiruannya. Apakah bisa disamakan dengan hasrat mengumpulkan dan menempelkan gambar para pahlawan, tokoh agama atau para habib di sini, entahlah.
Menonton orang menonton lukisan itu telah membawa saya pada perenungan: orang akan tetap mencari dan menyalurkan perasaan rohaninya. Jika nun jauh di sana orang menyalurkannya pada agama dengan segala perdebatannya, di sini orang menyalurkannya pada seni.
Semoga saya tidak berlebihan.