Menjelang pemilihan presiden Indonesia 2024, lanskap politik Indonesia dipenuhi dengan berbagai strategi untuk memikat para pemilih, terutama Generasi Z. Di antaranya adalah citra ‘gemoy’ dari Prabowo Subianto, sebuah istilah yang berkonotasi dengan kelucuan dan keramahan, dan sikap pasif dari calon wakil presidennya, Gibran Rakabuming Raka. Meskipun taktik-taktik ini mungkin terlihat jinak atau menarik, analisis yang lebih dalam mengungkapkan bahwa taktik-taktik ini merupakan simbol dari budaya politik yang memperlakukan pemilihan umum yang demokratis hanya sebagai tontonan, yang merusak keterlibatan substantif yang diperlukan untuk demokrasi yang sehat.
Tipuan ‘Gemoy’: Lebih dari Sekedar Kesenangan
Istilah ‘gemoy’, yang sering digunakan untuk menggambarkan sesuatu yang menggemaskan atau menawan, telah dikooptasi oleh kubu Prabowo dalam sebuah langkah yang diperhitungkan untuk melunakkan citra kandidat yang sebelumnya dikenal dengan latar belakang militer yang tegas. Strategi ini, meskipun tampaknya tidak berbahaya, perlu direvisi. Hal ini menunjukkan pergeseran yang mengkhawatirkan dalam wacana politik dari kebijakan dan kapabilitas ke kepribadian dan pesona. Bahayanya ada dua: meremehkan gravitasi yang dibutuhkan oleh seorang pemimpin nasional dan memanipulasi para pemilih muda yang mudah dipengaruhi.
Generasi Z, yang merupakan demografi yang signifikan dalam pemilu mendatang, sangat rentan terhadap taktik-taktik semacam itu. Karena terbiasa dengan budaya media sosial yang serba cepat dan berbasis citra, ada risiko bahwa mereka akan menyamakan ‘gemoy’ dengan kecocokan untuk menjadi pemimpin. Ini adalah penyamaan yang berbahaya. Kepemimpinan, terutama di tingkat presiden, menuntut lebih dari sekadar kesukaan-ia membutuhkan pemahaman yang mendalam tentang isu-isu nasional yang kompleks, visi untuk masa depan negara, dan kemampuan untuk mengambil keputusan yang sulit. Oleh karena itu, citra ‘gemoy’ adalah lapisan yang dangkal, pengalih perhatian dari evaluasi substantif terhadap kebijakan dan rekam jejak kandidat.
Senyapnya Gibran
Sementara itu, calon wakil presiden Prabowo, Gibran Rakabuming Raka, memperparah masalah ini dengan pendekatannya terhadap media dan wacana publik. Penghindaran pasif Gibran terhadap pertanyaan media, menggemakan strategi yang dapat dianggap sebagai penutup untuk pencalonannya yang bermasalah, mencerminkan taktik yang digunakan oleh ayahnya, Presiden Joko Widodo. Kesamaan ini terutama terlihat dari bagaimana keduanya mengelak dari tanggung jawab ketika dihadapkan pada pertanyaan jurnalistik tentang keputusan kontroversial, seperti keputusan Mahkamah Konstitusi yang memfasilitasi pencalonan Gibran sebagai calon wakil presiden dan dinamika pencalonan Gibran di partai koalisi Prabowo.
Keengganannya untuk terlibat dalam diskusi dan tanggapan umum terhadap pertanyaan media merupakan kesempatan yang terlewatkan untuk keterlibatan demokratis. Sikap Gibran-yang ditandai dengan ungkapan-ungkapan seperti “jalani saja”, “tidak perlu ditanggapi”, dan “kami menerima semua masukan”-bukan hanya sikap pasif, tetapi juga penarikan diri secara strategis dari dialog-dialog kritis yang membentuk demokrasi.
Dengan menghindari diskusi dan tidak responsif terhadap pertanyaan publik dan media, Gibran dan timnya gagal memenuhi tugas demokrasi yang krusial. Seorang calon wakil presiden seharusnya berada di garis depan dalam perdebatan kebijakan, mengartikulasikan visi mereka dan menanggapi keprihatinan publik. Keengganan ini, entah disengaja atau tidak, menciptakan kekosongan di mana wacana politik yang substantif seharusnya ada. Hal ini menunjukkan adanya elit politik yang terpisah dari pemilih yang ingin mereka layani, sehingga merusak esensi pemilu demokratis, yang seharusnya menjadi pasar gagasan, bukan parade kepribadian.
Konsekuensi dari Tontonan atas Substansi
Kecenderungan untuk mengedepankan tontonan daripada substansi dalam politik Indonesia bukan hanya masalah teoretis, melainkan juga memiliki implikasi di dunia nyata. Ketika pemilihan umum menjadi lebih tentang citra dan bukan tentang isu, hal ini mengarah pada pemerintahan yang tidak siap untuk mengatasi tantangan bangsa. Kebijakan menjadi nomor dua setelah hubungan masyarakat, dan kebutuhan riil masyarakat dikesampingkan demi mempertahankan citra yang disukai.
Pendekatan ini juga menjadi preseden yang berbahaya bagi pemilu-pemilu selanjutnya. Jika ‘gemoy’ dan penghindaran menjadi strategi yang berhasil, kemungkinan besar strategi ini akan ditiru, yang mengarah pada lingkungan politik di mana kedalaman dan detail dikorbankan demi pesona dan karisma. Hal ini dapat menghasilkan generasi pemimpin yang populer namun tidak efektif dan karismatik, namun perlu lebih memahami nuansa pemerintahan.
Perlunya Penyegaran Wacana Politik
Untuk melawan tren ini, ada kebutuhan untuk menghidupkan kembali wacana politik di Indonesia. Media, masyarakat sipil, dan pemilih harus menuntut lebih banyak dari para kandidat. Hal ini berarti mendorong perdebatan mengenai isu-isu kebijakan, meminta pertanggungjawaban para kandidat atas pernyataan dan janji-janji mereka, dan secara kritis menilai rekam jejak mereka. Hal ini juga berarti mendidik para pemilih, terutama pemilih muda, tentang pentingnya isu-isu substantif daripada pesona yang dangkal.
Para kandidat sendiri memiliki tanggung jawab untuk meningkatkan level wacana. Mereka harus menahan godaan untuk mengurangi kampanye mereka menjadi sekadar manajemen citra dan sebaliknya terlibat dalam dialog yang bermakna tentang masa depan negara. Mereka harus bersedia untuk mendiskusikan kebijakan mereka secara rinci, menanggapi kritik, dan mengartikulasikan visi yang jelas untuk Indonesia.
Melibatkan Gen Z: Melampaui Ilusi ‘Gemoy’
Tantangannya menjadi semakin nyata ketika berinteraksi dengan Generasi Z. Demografi ini, yang siap untuk memainkan peran penting dalam pemilu mendatang, sering kali distereotipkan sebagai generasi yang lebih peduli dengan tren digital dan konten viral dibandingkan dengan isu-isu politik yang berat. Namun, ini adalah karakterisasi yang dangkal dan tidak adil. Gen Z, seperti kelompok lainnya, memiliki potensi untuk terlibat secara mendalam dengan isu-isu politik, asalkan mereka diberi kesempatan dan sumber daya yang tepat. Tanggung jawabnya ada pada kandidat politik dan media untuk memberikan kesempatan ini, meningkatkan wacana, dan terlibat dengan demografi ini secara bermakna.
Hanya melayani kepentingan di permukaan dengan tipu muslihat ‘gemoy’ lebih dari sekadar menggurui; ini adalah kesempatan yang terlewatkan untuk memanfaatkan energi, kreativitas, dan perspektif unik dari para pemilih muda. Gen Z harus didekati sebagai warga negara yang terinformasi yang mampu memahami dan berkontribusi dalam diskusi politik yang kompleks, bukan hanya sebagai demografi yang harus dirayu dengan kharisma dan pesona.
Peran Media dan Masyarakat Sipil
Media dan organisasi masyarakat sipil sangat penting dalam membentuk wacana politik. Mereka dapat menjadi perantara antara kandidat dan pemilih, memastikan percakapan politik tetap berpijak pada isu-isu substantif. Dengan mengorganisir debat, wawancara, dan diskusi yang berfokus pada kebijakan dan bukan pada kepribadian, mereka dapat membantu mengarahkan narasi menuju keterlibatan yang lebih bermakna.
Organisasi masyarakat sipil, khususnya, dapat membantu menjembatani kesenjangan antara kandidat politik dan pemilih, terutama kaum muda. Melalui program pendidikan, lokakarya, dan forum, mereka dapat memberdayakan para pemilih dengan informasi dan alat yang dibutuhkan untuk membuat keputusan yang tepat. Hal ini sangat penting dalam lingkungan politik di mana daya tarik kepribadian sering kali menutupi pentingnya kebijakan.
Tanggung Jawab Pemilih
Para pemilih juga memikul tanggung jawab atas kualitas demokrasi mereka. Para pemilih harus menuntut lebih banyak dari para kandidat mereka, meneliti kebijakan, rekam jejak, dan kelayakan janji-janji mereka. Hal ini membutuhkan keterlibatan yang lebih dari apa yang sering terlihat dalam kampanye yang digerakkan oleh kepribadian. Para pemilih harus proaktif, mendidik diri mereka sendiri tentang isu-isu yang dipertaruhkan, dan berpartisipasi secara aktif dalam proses demokrasi.
Para pemilih muda, khususnya, perlu menyadari kekuatan yang mereka miliki. Mereka harus menggunakan kekuatan ini dengan bijak, tidak terpengaruh oleh karisma semata, tetapi oleh kompetensi dan komitmen kandidat untuk menangani isu-isu yang penting bagi mereka. Dengan demikian, mereka dapat memastikan bahwa kepentingan mereka terwakili dengan baik dan bahwa pemimpin yang mereka pilih benar-benar mampu mengarahkan bangsa ini ke arah kemajuan.
Citra ‘gemoy’ dari Prabowo dan sikap diam Gibran menunjukkan pergeseran yang mengkhawatirkan dalam wacana politik Indonesia, di mana pesona lebih diprioritaskan daripada kebijakan yang substantif. Tren ini merusak proses demokrasi dan merugikan para pemilih, terutama kaum muda, yang harus melihat lebih jauh dari sekadar kepura-puraan untuk mengevaluasi kebijakan dan kualitas kepemimpinan secara kritis. Para kandidat harus terlibat secara transparan dengan konstituen mereka, berbagi visi yang jelas untuk masa depan bangsa, sementara media dan masyarakat sipil harus memandu diskusi politik untuk fokus pada isu-isu substansial. Pemilu 2024 di Indonesia memberikan kesempatan penting untuk bergerak menuju budaya pemilu yang lebih terinformasi dan berpusat pada kebijakan, memperkuat esensi demokrasi yang sesungguhnya sebagai cerminan aspirasi dan kebutuhan kolektif rakyat, dan bukan sekadar ajang pamer kepribadian yang kharismatik atau menggemaskan.
(AN)