Hadits ke 15 yang tertulis dalam buku kumpulan 40 hadits hijau adalah sebagai berikut:
Ibnu Umar meriwayatkan: Rasulullah SAW bersabda, “Seorang wanita diazab sebab seekor kucing yang ia kerangkeng sampai mati. Hal itu membuat ia masuk neraka. (Sebab) wanita itu tidak memberi kucing makanan atau air saat ia kerangkeng, tidak pula membebaskannya untuk mencari makanan sendiri (berupa mangsa) di bumi.” (Sahih al-Bukhari 3295, Sahih Muslim 2242)
Setelah membaca hadits itu, saya langsung teringat pada ethical clearance (EC) yang menjadi salah satu syarat penelitian yang melibatkan hewan coba.
Jadi begini, beberapa pekan lalu, sejumlah mahasiswa menemui saya dan mereka meminta surat pengantar pada yang berwenang untuk memberikan ethical clearance pada riset yang mereka lakukan. Hal ini karena ada beberapa tahap dari riset yang mereka lakukan menggunakan hewan coba mencit untuk dijadikan objek penelitian tentang pembuatan obat luka karena diabetes.
Saya sebenarnya baru sadar tentang EC ini ya saat mahasiswa meminta surat pengantar. Ternyata saat ini, perkembangan etik untuk proses riset yang melibatkan makhluk hidup harus mengantongi ethical clearance. EC adalah sebuah perjanjian etis tentang penggunaan makhluk hidup sebagai objek penelitian. Jadi mudahnya peneliti harus berjanji dulu bahwa apa yang ia lakukan di laboratorium pada mahluk hidup ini etis, tidak ngawur, dan membabi buta.
Tentu anda sudah bisa menangkap maksud semangat yang sama antara EC dengan hadits yang saya tulis di muka. Bahwa kita tidak bisa seenaknya berlaku ngawur pada makhluk Tuhan. Dan kembali lagi, di hadits itu tertulis bahwa ganjaran dari seorang yang menyiksa hewan -di hadits itu konteksnya adalah kucing- adalah diadzab dan masuk neraka. Dan sekali lagi bahwa neraka adalah simbol tidak ridhonya Allah swt, Jadi mudahnya, kalau kita menyiksa hewan, Allah itu gak suka, gak ridho.
Pertanyaan yang muncul selanjutnya di benak saya adalah kenapa kita harus menjaga perasaan hewan atau beretika dengan hewan? Bukankah etika cukup antar sesama manusia saja?
Dan seketika saya juga bisa membalik pertanyaannya menjadi kenapa kita tidak beretika pada hewan? Kenapa hanya dengan manusia? Dan saya sendiri tidak tahu jawaban atas pertanyaan ini.
Urusan perhewanan ini, saya jadi teringat banyak ceramah dari Kiai Ahmad Musthafa Bisri sambai Kiai Bahauddin Nursalim, beliau berdua ini beberapa kali membicarakan soal hewan. Sependek yang saya ingat dari apa yang beliau sampaikan, hewan itu jenis makhluk yang sama punya perasaan seperti manusia, dapat mengekspresikan perasaannya juga, meskipun tidak sempurna. Selain itu dikatakan juga bahwa hewan itu penting eksistensinya di dunia, jadi bukan manusia saja yang penting. Hewan juga pintar dan setia pada pemiliknya. Banyak pujian pada hewan. Bahkan ada beberapa surat Al-Quran yang dinamai nama hewan. Jadi jelas bahwa hewan itu ndak sepele.
Ndak bisa lantas kita berkeyakinan bahwa hewan kan ya hanya hewan, mereka hanya makhluk yang makan, tidur, lalu mati. Tidak seperti manusia yang mengarahkan peradaban, kuliah, dan jadi PNS biar aman saat melamar anak orang.
Hewan itu penting, bahkan penting banget. Baru kita belajar sedikit saja soal rantai makanan kita akan sadar letak penting hewan di dunia ini. Sehingga kita, manusia, ini ndak bisa lantas pongah merasa menjadi makhluk yang layak menghina yang lain. Tetap harus kasih sayang.
Secara etika, kita ndak bisa memotong hewan kurban di depan anak mereka. Memotongnya juga harus sekali tebas, ndak boleh pake pisau yang ketul, biar ndak menyakiti hewannya. Dan masih banyak etika lain yang harus kita terapkan dengan hewan.
Lalu, hadits di atas redaksinya menggunakan kucing? apakah hanya kucing?
Saya kira jawabannya tidak, kita dapat mengekstrapolasi hadits itu menjadi :bahwa kita tidak boleh menyiksa semua hewan, apapun, di manapun, tidak hanya kucing.
Kan ada tuh kisah sufi yang memuliakan hewan. Suatu ketika beliau sedang melakukan perjalanan jauh, dan tiba-tiba secara tidak sengaja ia membawa hewan selama perjalanan itu, saya agak lupa apa yang dibawa, apakah semut, lalat atau nyamuk, yang pasti saat ia sadari ada hewan terbawa, ia kembalikan hewan itu ke tempat asalnya.
Kalau kita merasa bahwa kita adalah makhluk yang dibuat lebih sempurna dari hewan, saat hewan dapat berekspresi tapi terbatas, manusia memiliki ekspresi yang lebih sempurna, dan bukankah karena itu kita lantas dapat mandat menjadi khalifah di bumi. Dan bukankah salah satu tugas paling utama dari khalifah adalah menjadi perpanjangan tangan Tuhan di bumi.
Saat Tuhan memiliki sifat rahman dan rahim, bukankah kita juga sudah seharusnya melakukan itu. Saat Tuhan menjanjikan rezeki pada semua makhluknya di bumi, tentu menjadi wajar ketika manusia, yang sudah diberi mandat jadi perpanjangan tangan Tuhan, malah menghalang-halangi hewan itu untuk makan, dan jadinya seperti orang yang diceritakan di hadits itu, Tuhan marah dan tidak rela.
Saat kita ekstrapolasi lagi redaksi rahman rahim ini, ternyata kasih sayang Tuhan harusnya kita salurkan tidak hanya pada hewan. Allah merahmati semuanya, jadi kita juga perlu mengasihi semua. Mulai dari bumi, air, tanaman, hewan, manusia dan mahluk-mahluk lainnya.
Hadits-hadits sebelumnya sudah banyak mengisahkan bahwa kita harus menjaga ibu bumi, menjaga air, dan lain sebagainya. Allah menyayangi itu semua, sehingga kita juga perlu sayang pada mereka semua.
Akhirnya, sebagai seorang khalifah, kasih sayang adalah sesuatu yang harus muncul dan menjadi citra islami kita. Sehingga kita juga perlu untuk saling sayang antar sesama manusia, meskipun kita terpisah dalam pilihan 2024 mendatang. Akhirnya, apakah kita siap sungguh-sungguh menjadi khalifah di tahun depan?
Wallahu A’lam