Beberapa waktu yang lalu tanpa sengaja saya bertemu dengan Ita Fatia Nadia, seorang aktivis isu perempuan yang menjadi salah satu komisioner pertama Komnas Perempuan di Indonesia pada 1998. Di kesempatan yang langka itu, ada sebuah pembahasan menarik terkait lansia.
Pembahasan ini terjadi karena Rindang Farihah, direktur saya di Pusat Studi Kependudukan dan Kesejahteraan Keluarga Universitas Nahdlatul Ulama Yogyakarta, memberikan opini mengenai pesantren untuk lansia yang tidak disetujui oleh beberapa orang termasuk suaminya.
“Saya sependapat dengan Imam,” ujar Ita.
Ia menyebut bahwa mengirimkan lansia ke panti jompo bukanlah solusi yang bijak. Sebab hal itu akan memisahkan seseorang dengan keluarga dan lingkungannya. Tentu saja dengan catatan lansia yang memiliki keluarga. Lalu bagaimana dengan lansia yang tidak memiliki keluarga?
Saya jadi teringat kisah saat menjalani kuliah kerja nyata (KKN) di sebuah kabupaten di Yogyakarta 2015 silam.
Di sebelah rumah tempat kami tinggal, ada rumah yang sudah dibongkar karena si empunya sudah tidak ada.
Terakhir, rumah itu ditinggali oleh seorang nenek yang meninggal dunia tanpa didampingi oleh siapa-siapa. Nenek tersebut sakit-sakitan, tetapi tidak ada satu pun orang yang merawatnya secara intensif. Hanya tetangga yang sesekali menyuplai kebutuhan makan dan obat-obatan.
Sebenarnya si nenek memiliki anak cucu. Tetapi mereka sudah lama merantau dan tidak pernah menjenguk si nenek di kampung. Padahal di usia senja seseorang membutuhkan teman untuk berkomunikasi.
Di titik ini panti jompo menjadi solusi yang sepertinya baik. Akan tetapi dalam perbincangan kami saat itu, Ita memberikan sebuah perspektif yang bagi saya cukup baru. Selama ini saya memang masih menganggap panti jompo cukup penting karena kisah KKN itu.
Konsep panti jompo sebenarnya baik karena mempertemukan orang-orang dengan range usia yang setara. Tujuannya agar mereka tidak akan merasa kesepian. Namun Ita bercerita bahwa konsep panti jompo sudah mulai ditinggalkan di negara-negara maju seperti di Eropa.
Di sana, kini tengah dirancang sebuah lingkungan berbasis komunitas untuk melakukan kerja-kerja ‘care work’.
Secara sederhana, care work adalah kerja pengasuhan untuk orang-orang yang membutuhkan seperti usia anak, orang sakit, disabel, hingga lansia. Jenis ‘pekerjaan’ ini tidak memiliki imbalan berupa finansial alias voluntary karena yang menjadi dasar adalah aspek kemanusiaan. Contoh terdekat adalah orang tua yang mengasuh anaknya. Dalam lingkup yang lebih luas, kerja-kerja pengasuhan menyasar individu-individu yang tidak memiliki hubungan darah.
Saat ini sekitar sepuluh persen penduduk Indonesia merupakan lansia. Diprediksi pada 2030 jumlahnya meningkat hingga Indonesia mengalami silver tsunami effect, sebutan untuk meningkatnya populasi lansia yang tidak diimbangi dengan kecukupan nutrisi dan kualitas hidup.
Apalagi ada kecenderungan bahwa tren urbanisasi masih menjadi pilihan bagi kalangan muda. Badai kesepian benar-benar menjadi ancaman bagi lansia di desa-desa apabila konsep care work ini belum bisa diaplikasikan dengan baik.
Merdeka bagi lansia
‘Terus melaju untuk Indonesia maju’ merupakan tagline untuk perayaan HUT RI yang ke-78. Ketika membaca kalimat ini yang terbesit di pikiran saya adalah seruan para pemangku kebijakan untuk mengajak generasi produktif agar terus ‘kerja kerja kerja’. Hal ini mungkin dipengaruhi oleh kajian-kajian kependudukan yang menyebut Indonesia mengalami bonus demografi. Namun bonus demografi bisa menjadi bom waktu apabila tidak dibangun infrastruktur sosial di usia senja.
Di banyak negara, kesepian akut menjadi endemi yang mengkhawatirkan. Diperkirakan satu di antara sepulu lansia mengalaminya. Penyebab utamanya adalah kurangnya komunikasi si lansia dengan orang-orang sekitarnya, terutama anak mereka. Posisi lansia pun dianggap nomor sekian yang membuat mereka jarang disentuh meski dengan sapaan yang sederhana.
Oleh karenanya, saya sependapat dengan Ita mengenai community-based care work. Kita perlu membuat sebuah sistem sosial yang menempatkan lansia sebagai bagian penting dalam peradaban sehingga mendapat perhatian yang cukup. Bonus demografi bukan berarti menempatkan usia produktif sebagai satu-satunya kelompok usia yang layak disorot. Sebab semua generasi sama pentingnya dalam menjaga siklus kehidupan berbangsa dan bernegara yang sejahtera dan berkeadilan.
Toh, bukankah semua orang punya potensi menjadi lansia?