Indonesia memiliki dua peristiwa kelam yang berkaitan dengan Tionghoa. Pertama, ketika tahun 1972, kata Tionghoa “dilenyapkan” sehingga organisasi apa pun yang memiliki nama Tionghoa harus diganti. Kedua, peristiwa 1998 yang menyebabkan banyak etnis Tionghoa dikejar bahkan dihabisi tanpa sebab. Dari dua peristiwa tersebut, Indonesia bisa dianggap tidak akrab dengan etnis Tionghoa.
Namun, sejarah tak melulu hanya tentang kelam. Tionghoa sebenarnya memiliki rekam jejak yang erat dan bersahabat dengan Indonesia, terutama dengan umat muslim. Hal itu ditandai dengan hadirnya Persatuan Islam Tionghoa Indonesia atau yang disebut dengan PITI.
Sebelum kehadiran PITI yang resmi berdiri pada 1961 di Jakarta, etnis Tionghoa yang beragama Islam telah berhimpun dalam naungan Persatuan Islam Tionghoa (PIT). Yap A. Siong dan Haji Abdul Karim Oey adalah pendirinya. PIT muncul sewindu setelah Soekarno membacakan naskah proklamasi di Jakarta, dan saat itu PIT berdiri di Medan.
Kebersamaan dan rasa persaudaraan lah yang mampu mengikat mereka. Keberadaan PIT pun didukung penuh oleh Ketua Umum PP Muhammadiyah, H. Ibrahim. Kemudian, PIT membentuk susunan kepengurusan di mana Yap A. Siong adalah anggotanya.
Di samping PIT, etnis Tionghoa-Muslim juga berhimpun dalam Persatuan Muslim Tionghoa (PMT) yang didirikan oleh Kho Goan Tjin di Medan. Lambat laun, dan atas dasar pemikiran Kho Goan Tjin, kedua organisasi tersebut perlu dilebur dan menjadi satu kesatuan.
Kedua organisasi tersebut besar di Medan dan berkembang di beberapa wilayah Sumatera yang di antaranya Lampung, Riau, Sumatera Barat, hingga Sumatera Utara. Kemudian, mereka berpindah homebase dari Medan ke Jakarta. Pada tahun 1961 itulah resmi berdiri PITI.
Aktivitas utama saat berdirinya PITI ada dua yaitu mengelola aktivitas dakwah dan menyebarkan Islam di kalangan etnis Tionghoa. Pedoman utamanya adalah Al-Quran dan Sunnah yang tentu saja berpaham Ahlussunnah wal Jama’ah. Dari situlah PITI kemudian berkembang, meskipun hanya sebentar.
Represi terhadap Tionghoa
Tahun 1965 adalah kronik kelam dalam sejarah manusia di Indonesia. Manusia mengadili dan membunuh sesama manusia hanya karena praduga. Mereka yang terlibat, baik struktural, kultural, maupun hanya dicap, diburu dan dihabisi layaknya binatang liar di hutan.
Dampak dari 1965 cukup luas dan membekas. Pucuk kepemimpinan berganti dari Soekarno ke Soeharto. Atas dasar ingin meningkatkan pembangunan nasional dan berupaya melepaskan hal-hal yang berbau komunis dan Tionghoa, tujuh tahun kemudian muncul kebijakan baru.
Kebijakan itu adalah mengeliminasi penggunaan nama Tionghoa di dalam nama organisasi. Alasannya, untuk mengurangi friksi di antara masyarakat. Kebijakan yang dapat dikatakan represi itulah membuat PITI perlu berpikir ulang dan sempat mengalami pembubaran.
Dengan ribuan anggota di dalamnya, tentu PITI tetap ingin menjaga kondusifitas dan mengelola persaudaraan di antara mereka. Sepuluh hari setelah pembubaran, para tokoh di PITI mengajukan pembentukan organisasi baru dengan nama yang berbeda. Nama tersebut adalah Pembina Iman Tauhid Islam (PITI) yang resmi berdiri pada 15 Desember 1972.
Penggunaan nama tersebut lebih dimaksudkan untuk mendukung pembangunan nasional dan mempercepat proses asimilasi baik secara mental dan fisik. Salah satunya upayanya adalah menempatkan azas Pancasila. Dan memang, pada tahun tersebut, hampir seluruh organisasi apa pun diharuskan berazas tunggal, azas Pancasila. Jika menolaknya, wajib bubar.
Tahun 1998 adalah kronik kedua mengenai etnis Tionghoa. Demo besar-besaran yang menuntut Soeharto mundur berimbas ke berbagai hal. Salah satunya kepada masyarakat etnis Tionghoa. Hampir mirip seperti yang terjadi pada 1965, mereka diburu dengan alasan yang tidak pasti. Pada akhirnya, Soeharto mundur dan muncul reformasi.
Jasa Gus Dur terhadap PITI
Respek etnis Tionghoa kepada KH. Abdurrahman Wahid atau yang biasa disebut Gus Dur sangatlah besar. Sebab, ketika beliau menjadi Presiden Indonesia yang keempat, beliau lah yang membolehkan lagi penggunaan nama Tionghoa. Bahkan, di era Gus Dur pula umat Konghucu diakui.
PITI pun kembali mengubah nama pada bulan Mei 2000 dengan Persatuan Islam Tionghoa Indonesia. Gus Dur pula yang menjamin keberadaan dan perlindungan bagi etnis Tionghoa di Indonesia.
Seiring perkembangan zaman, PITI semakin dikenal dan akrab di lingkungan masyarakat Indonesia. Mereka mampu berasimilasi dengan cepat. Kolaborasi dengan organisasi Islam seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah sering dilakukan.
Muslim Tionghoa di Indonesia bukanlah wajah lain. Mereka telah mampu berbaur dan berasimilasi dengan masyarakat Indonesia. Sudah sepantasnya di antara sesama muslim wajib mengasihi dan membantu. Bukan saling membenarkan apalagi memberi stempel kafir kepada yang berbeda.
Bersambung . . .