Jepara punya tradisi khusus yang dilaksanakan pada malam Nisfu Sya’ban, yaitu Baratan.
Malam 15 Sya’ban memang selalu menyimpan aura magis dan suka cita bagi umat Muslim di seluruh dunia, termasuk di Jepara. Namun, di kota yang terkenal dengan ukirannya ini, malam tersebut diperingati dengan tradisi yang cukup unik dan menarik. Masyarakat Jepara berkumpul di masjid atau musholla untuk melakukan ritual membaca surat Yasin sebanyak tiga kali bersama-sama, dilanjutkan dengan doa Nisfu Sya’ban yang dipimpin oleh kiai.
Setelah ritual tersebut selesai, mereka terkadang menyantap hidangan yang mereka bawa dari rumah berupa puli. Puli adalah makanan yang terbuat dari beras. Cara pembuatannya adalah dengan memasak beras hingga menjadi nasi, kemudian ditumbuk dan dicampur dengan bumbu rempah dan penambah rasa lainnya.
Agar adonan mentah menjadi padat dan kenyal, tepung tapioka ditambahkan ke dalam adonan. Puli bisa berupa jajanan basah berwarna kuning yang bisa dicocol dengan parutan kelapa, dan bisa juga diolah lagi menjadi kerupuk yang disebut kerupuk puli. Kata puli berasal dari Bahasa Arab u’fuu lii, yang berarti “ampunilah aku”.
Bila tidak ada acara bancaan atau makan bersama, mereka akan langsung menunaikan jamaah shalat isya’ ketika sudah masuk waktunya. Selesai shalat isya’, mereka biasanya berkumpul di suatu titik (bisa jadi masjid) untuk melakukan arak-arakan.
Masing-masing dari mereka yang kebanyakan diisi oleh anak-anak dan remaja membawa bervariasi bentuk lampion (impes) berisi lilin dan berkeliling dengan membawa lampion tersebut. Sepanjang berkeliling, mereka mengisi suara dengan lagu maupun shalawat.
Jepara yang terletak di pesisir utara pulau Jawa memiliki banyak tradisi kebudayaan, termasuk yang berkaitan dengan keagamaan. Banyak catatan mengatakan bahwa tradisi ‘Baratan’ atau ‘Beratan’ atau ‘Bratan’ hanya ada di Desa Kriyan Kecamatan Kalinyamatan. Namun pada kenyataannya, tradisi ini juga berlaku di daerah-daerah sekitarnya, termasuk di luar Kecamatan Kalinyamatan.
Pesta Baratan merupakan sebuah tradisi karnaval yang dilakukan oleh masyarakat Jepara yang berhubungan dengan Ratu Kalinyamat dan Sultan Hadirin. Istilah “baratan” sendiri berasal dari bahasa Arab “baroah” (براءة) yang memiliki arti keselamatan atau “barakah” (بركة) yang berarti keberkahan. Tradisi Baratan hanya dilaksanakan pada malam 15 Sya’ban atau Ruwah menurut kalender Jawa. Pada malam ini juga bertepatan dengan malam Nisfu Sya’ban.
Selain untuk merayakan malam Nisfu Sya’ban, Tradisi Baratan diadakan juga sebagai bentuk penghormatan kepada Ratu Kalinyamat. Ratu Kalinyamat dikenal karena membangun Masjid Mantingan yang menjadi pusat pendidikan dan tempat ibadah bagi warga Jepara pada masa pemerintahannya. Oleh karena itu, tradisi ini menjadi cara bagi masyarakat Jepara untuk menunjukkan rasa hormat dan penghargaan mereka terhadap Ratu Kalinyamat.
Menurut Frida Yoana, tradisi baratan berasal dari kisah perang antara Sultan Hadirin dan Arya Penangsang yang membuat sang sultan terluka parah. Ratu Kalinyamat, istri Sultan Hadirin, membawa suaminya pulang dengan diiringi oleh para perajurit dan dayang-dayangnya. Selama perjalanan pulang, mereka melewati banyak desa.
Ada versi lain dalam sejarah munculnya tradisi baratan di Jepara, yaitu kejadian usai terjadinya perang antara Sultan Hadirin dan Arya Penangsang. Setelah Sultan Hadirin meninggal dunia, jenazahnya dibawa pulang oleh Nyai Ratu Kalinyamat ke kota Jepara. Dalam perjalanan menuju kerajaan, pada malam hari banyak warga yang menyaksikan rombongan tersebut dengan membawa pencahayaan berupa lampion dan obor.
Cerita sejarah lainnya terkait dengan tradisi baratan yang berhubungan dengan agama. Tradisi baratan dilakukan pada 15 hari menjelang bulan puasa, yang jatuh pada bulan Sya’ban, dan dianggap sebagai waktu penutupan dan pergantian buku amal baik dan buruk manusia di dunia. Arak-arakan dengan membawa lampion dan obor dilakukan untuk memberikan penerangan dalam melakukan amal baik dan menjadi lebih baik dari sebelumnya.
Panitia tradisi baratan sempat meng-upgrade format festival menjadi lebih megah dan meriah. Dalam festival baratan, terdapat seseorang yang memerankan sosok Nyai Ratu Kalinyamat dengan riasan yang sangat cantik. Selain itu, dalam festival ini juga terdapat dayang dan prajurit yang dipilih melalui seleksi jauh sebelum acara berlangsung. Selain itu, dalam acara tersebut juga diadakan shalawat yang dinyanyikan oleh grup hadroh rebana dari daerah sekitar. Tujuannya adalah untuk menambah semarak dan keberkahan dalam acara tersebut.
Dalam tradisi ini terdapat apresiasi terhadap tradisi lokal, selain juga mempererat ikatan sosial antar sesama masyarakat. Kebersamaan dan kerukunan warga tercermin dalam tradisi ini. Silaturahim terjalin karena sebentar lagi bulan suci Ramadan tiba. Namun, dengan datangnya kehidupan modern, beberapa lokasi sudah tidak melakukan tradisi baratan ini karena semangat anak-anak dan remaja sudah menurun.
Dengan demikian, tradisi baratan tidak hanya menjadi perayaan karnaval semata, tetapi juga mengandung makna religius dan sejarah yang kuat. Bagi masyarakat Jepara, baratan bukan hanya sebagai ajang hiburan semata, namun juga sebagai wujud penghormatan dan rasa syukur kepada Ratu Kalinyamat yang telah berjasa membangun daerah mereka. Melalui upaya melestarikan tradisi ini, diharapkan nilai-nilai keagamaan, sejarah, dan budaya yang terkandung dalam baratan dapat terus diwarisi dan dikenang oleh generasi selanjutnya. (AN)