Pidato Gus Yahya di puncak Resepsi Harlah Satu Abad NU menyedot perhatian masyarakat luas. Hal ini tidak mengagetkan, mengingat orasi itu sebagai suara yang mewakili jutaan warga dari organisasi keagamaan terbesar di Indonesia, bahkan di dunia. Namun ternyata respon terhadap pidato itu tidak hanya sebatas kekaguman publik saja, melainkan ada juga tanggapan yang bernada simplifikasi.
Orasi Gus Yahya tersebut tak luput dari tanggapan yang membentuk framing nihilnya peran agama dan organisasi keagamaan dalam menyelesaikan permasalahan keadilan dan ketimpangan di masyarakat. Ujung-ujungnya beropini agama dengan segenap institusinya di era kiwari tidak lagi relevan, terutama terkait masalah “inequality, keadilan, krisis iklim”. Di sinilah dapat dikatakan adanya simplifikasi dari respon tersebut. Menyederhanakan kompleksitas gejala atau data sehingga menjadi kesimpulan yang simpel.
Benar di satu sisi, bahwa NU sebagai institusi keagamaan memungkinkan dirinya untuk dipandang sebagai cerminan agama Islam. Namun di sisi lain, NU (atau Muhammadiyah misalnya) adalah bagian dari interpretasi dan ekspresi keislaman yang pada dasarnya tidak monolitik. Dengan kata lain, tidak tepat menyimpulkan Islam sebatas dari apa yang sudah Gus Yahya orasikan. Intinya, Islam tidak sesederhana NU atau Muhammadiyah atau organisasi keislaman yang lainnya.
Fakta masyarakat dan konsep agama
Dalam disiplin ilmu sejarah, apa yang diorasikan Gus Yahya saat ini sudah menjadi bagian dari proses historis yang memiliki kaitan dengan masa lalu dan masa depan. Orasi tersebut, yang kini telah menjadi teks, juga memiliki kaitan dengan realitas dan horizon yang luas dalam perjalanan peradaban Islam di Indonesia dan bahkan dunia.
Oleh sebab itu, membuat kesimpulan “agama Islam sudah tidak relevan” berdasarkan teks yang cukup singkat dari seorang representasi lembaga keagamaan adalah sesuatu yang problematik.
Letak problematiknya bukan di dalam efek narasi keraguan terhadap agama di tengah masyarakat. Agama, atau ideologi apapun itu, adalah pilihan dan merupakan hasil konstruksi pikiran masing-masing masyarakat. Manusia mau beriman atau tidak kepada agama, bukan masalah serius bagi peradaban mereka. Masalahnya ada pada cara simplifikasi terhadap Islam yang tidak memenuhi prasyarat logika yang memadahi. Dan justru simplifikasi semacam ini tidak baik untuk cara berpikir peradaban manusia ke depan.
Jika ingin menyimpulkan bahwa agama Islam tidak lagi relevan untuk zaman sekarang, metode yang perlu ditempuh tidak cukup dengan mendasarkan argumen kepada teks pidato seorang tokoh. Pertama-tama yang harus dilakukan adalah membuktikan bahwa nilai-nilai Islam yang terkandung dalam teks Al-Quran dan Hadis sudah kontraproduktif atau bahkan berbahaya untuk keberlangsungan umat manusia. Tetapi upaya pembuktian ini tidak akan dapat dicapai seratus persen.
Sulit untuk membuat satu ungkapan general terkait agama hanya berdasarkan cerminan suatu event tertentu. Islam dari dulu sampai sekarang telah mengalami engagement dengan umat manusia dan terkontekstualisasi di berbagai macam masyarakat.
Misalnya begini, keadaan Timur Tengah saat ini lebih banyak terlihat konflik dan ketidakadilan gender di wilayahnya, lalu apakah situasi tersebut dapat digunakan sebagai dasar untuk menyimpulkan bahwa Islam tidak lagi relevan? Padahal agama itu menyeru kepada keadilan, rahmat, serta menyalahkan manusia atas kerusakan di muka bumi.
Penting di sini untuk melihat perbedaan antara fakta dan konsep. Fakta adanya masyarakat yang bermasalah dengan ketidakadilan, ketimpangan dan kerusakan lingkungan bukan berarti menjadi sebab konsep agama yang mereka anut menjadi tidak relevan. Tidak ada agama yang menyeru kepada segala jenis keburukan.
Bagimana baiknya merespon pidato Gus Yahya?
Sah-sah saja memberikan opini terhadap teks pidato seorang tokoh publik. Namun nalar yang proporsional menjadi sebuah keharusan yang niscaya. Memang tidak menutup kemungkinan apa yang disampaikan Gus Yahya mengesankan sesuatu yang ada kurangnya. Atau setidaknya, memang tampak bahwa Gus Yahya tidak menegaskan posisi NU dalam isu-isu yang menurut para aktifis sosial merupakan problem riil yang dihadapi masyarakat.
Tetapi bagaimanapun, penting untuk mengetengahkan cara pandang yang penuh rasa hormat terhadap NU atau terhadap Islam. Bahkan terhadap ide-ide apapun yang sedang atau pernah dijajal oleh umat manusia, opini yang dialektis lebih bermutu dari pada sekadar simplifikasi.
Yang dimaksud opini dialektis adalah proses bertutur dan bernalar dengan dialog sebagai cara untuk menyelidiki suatu masalah. Dalam kaitan ini, jika orasi Gus Yahya dipandang sebagai cerminan Islam yang tampak tidak memperhatikan isu-isu sosial, maka itu sama dengan menegasikan peran NU dan tokoh-tokohnya di berbagai bidang sosial-kemasyarakatan.
Selain itu juga berimplikasi pada menegasikan peran-peran organisasi keislaman semisal Muhammadiyah dan yang lain. Singkatnya, pidato Gus Yahya tidak mencukupi untuk digunakan sebagai justifikasi agama tidak lagi relevan.
Hal lain yang juga penting adalah menyadari teks orasi Gus Yahya merupakan pidato dengan konsep-konsep yang cukup kompleks. Laily Fitry pada tweet-nya beropini bahwa pidato tersebut berisi dua konsep besar; konsep berkah dan konsep syukur. Tetapi sepertinya, dua konsep itu tidak mewakili seluruh isi orasi Gus Yahya. Ada konsep besar yang juga sangat penting, bahkan disebut Gus Yahya sebelum menyampaikan konsep syukur dan berkah, yaitu konsep riyadhah.
Riyadhah, dalam Bahasa menjadi riadat atau tirakat, adalah lelaku pertapaan demi mengekang hawa nafsu. Hal itu dilakukan demi membentuk karakter baik seorang individu. Dalam konteks NU, Gus Yahya mendefinisikan abad kedua NU sebagai hasil tirakat para tokoh NU masa lalu. Oleh sebab itu, penting bagi siapapun yang membaca pidato Gus Yahya untuk tidak hanya membaca teks orasinya belaka, tetapi juga membaca rentetan historis seratus tahun lahirnya NU.
Sejak 1926, NU memiliki latar belakang perlawanan terhadap ketidakadilan. Tokoh-tokoh pendiri NU melobi pemerintah Saudi dulu kala, yang sedianya akan memaksakan mono-mazhab di Makkah-Madinah. Selain itu, NU menerima untuk menghapus tujuh kata di Piagam Jakarta yang berpotensi melahirkan ketimpangan keberagamaan bangsa Indonesia. NU juga mengupayakan layanan (khidmah) bagi masyarakat, persis mengikuti jejak pendahulunya, Muhammadiyah, yang memiliki ambulan, rumah sakit dan universitas.
Semua itu adalah latar sejarah yang eksis di balik pidato Gus Yahya kemarin. Oleh karenanya, membuat kesimpulan sederhana bahwa agama tidak relevan berdasarkan suatu angle berupa pidato merupakan suatu ketergesa-gesaan.
Sebagai penutup, artikel ini mengusulkan bahwa untuk membaca realitas, apapun bentuknya, cara simplifikasi sangatlah tidak produktif. Cara dialektis dan interpretatif lebih masuk akal dan dapat diterima.
Menarik untuk diperhatikan bahwa dalam pidato Gus Yahya di resepsi Satu Abad NU sama sekali tidak menyebut kata Islam atau Muslim. Hal ini dapat didialogkan lebih lanjut dengen bertanya “mengapa?”. Atau bisa pula ditafsirkan; mungkin Gus Yahya ingin peran NU di abad kedua ini tidak hanya untuk Islam dan Muslim saja. Di sinilah cara dialektis dan interpretatif punya peran menghidupkan diskusi yang produktif. (AN)