Jika hendak mengukur seberapa serius sebuah negara menjalankan prinsip “negara hukum” maka jawabannya adalah dengan melihat pada tiga hal pokok. Tiga hal pokok yang dimaksud ini di rinci oleh Anthony Von Dicey dengan; pertama telah menjalankan prinsip supremasi hukum, kedua berupaya mewujudkan equality before the law (kesamaan di hadapan hukum), dan terakhir adalah telah secara prosedural membuat sistem agar pembentukan undang-undang dilakukan berdasarkan dan sesuai dengan konstitusi.
Andaikan ukuran di atas dijadikan patokan suksesnya “negara hukum” maka sepanjang sejarah perjalanan kiprahnya, Nahdlatul Ulama, sebagai organisasi terbesar di Indonesia dan dunia, telah turut berkontribusi memperjuangkan ketiganya. Artinya komitmen dalam bernegara Nahdlatul Ulama telah amat paripurna, tidak hanya sebatas jargon “hubbul wathon minal iman” tetapi sudah pada tahap perjuangan.
Tulisan ini dibuat dalam rangka memperingati satu abad Nahdlatul Ulama. Peringatan dengan cara mengingat-ingat kembali urun saran dan politik perjuangan Nahdlatul Ulama dalam membangun bangsa, dalam konteks membangun pondasi negara hukum Indonesia.
Supremasi Hukum
Supremasi hukum adalah menempatkan hukum sebagai panglima. Apapun persoalan dan permasalahan yang dihadapi oleh warga negara maupun pemerintah maka diselesaikan dengan hukum. Begitupun perihal cara kita berperilaku, bertindak dan merespons sesuatu haruslah mengikuti aturan hukum.
Terkait supremasi hukum ini Nahdlatul Ulama pernah membuat suatu terobosan besar. Tepatnya pada Munas dan Konbes NU pada tahun 2019 di Cirebon.
Munas itu menghasilkan satu keputusan terkait hukum yang sangat-sangat fundamental. Keputusan yang dibacakan oleh KH Said Aqil Siraj itu adalah tidak boleh ada lembaga lain yang mengeluarkan fatwa selain Mahkamah Agung. Alasan utamanya adalah Indonesia bukan negara berdasarkan fatwa atau darul fatwa tetapi negara berdasarkan konstitusi.
Keputusan ini, selain mengukuhkan posisi Mahkamah Agung, juga sangat fundamental sebab memutus adanya dualisme hukum di Indonesia. Dualisme yang tidak cuma membingungkan tetapi membuat kedaulatan negara menjadi terancam. Suatu masalah seyogianya yang pernah terjadi di awal-awal kemerdekaan.
Hukum Mengacu Pada Konstitusi
Tidak ada upaya mewujudkan hukum mengacu pada konstitusi tanpa terlebih dahulu memperkuat posisi konstitusi itu sendiri. Konstitusi di Indonesia adalah UUD 1945 dengan dasar negaranya berupa Pancasila.
Nahdlatul Ulama pada Muktamar 1984, dipimpin oleh K.H Abdurrahman Wahid, mendeklarasikan bahwa Republik Indonesia adalah bentuk upaya final seluruh bangsa dan penerimaan terhadap Pancasila adalah bagian dari perjuangan bangsa untuk mencapai kemakmuran dan keadilan sosial.
Selain Muktamar 1984, penegasan Nahdlatul Ulama terhadap Pancasila juga terjadi pada tahun 2006. Pada tahun itu Nahdlatul Ulama dipimpin oleh K.H Hasyim Muzadi. Bunyi penegasan yang dibacakan di Surabaya tersebut adalah Nahdlatul Ulama meyakini apabila Pancasila, UUD 1945 dan NKRI adalah upaya final umat Islam dan seluruh bangsa.
Kesamaan di Hadapan Hukum
Perihal kesetaraan, Nahdlatul Ulama memiliki banyak stok kisah-kisah perjuangan. Setidaknya ada tiga kisah mengenai tema ini yakni aksi “walk out” parlemen Tahun 1980, pengakuan terhadap etnis Tiong Hoa, dan afirmasi posisi Pondok Pesantren dalam dunia pendidikan di Indonesia.
Pada tahun 1980, ketika dinahkodai oleh Mbah Bisri, perwakilan anggota parlemen PPP yang berasal dari Nahdlatul Ulama melakukan protes dengan cara “walk out” atas rancangan undang-undang yang mengatur proses pemilu. Protes ini dikarenakan Nahdlatul Ulama menuntut adanya jaminan netralitas Pemerintah dan ASN dalam proses pemilu.
Sayangnya, pada waktu itu PPP justru menyerah dan memerintahkan anggotanya untuk menyetujui undang-undang itu. Namun, anggota PPP yang berlatar belakang Nahdlatul Ulama tetap menolak dengan memilih pergi dan tak memasuki ruang sidang ketika undang-undang itu disahkan.
Selain persoalan netralitas ASN dalam Pemilu, yang kita ketahui pasca reformasi kemudian telah diatur lebih lanjut, Nahdlatul Ulama juga merupakan aktor penting bagi kehidupan etnis Tiong Hoa. Gus Dur, tokoh dan cucu pendiri Nahdlatul Ulama, ketika menjabat sebagai Presiden Keempat Indonesia mencabut Inpres Nomor 14 Tahun 1967 yang membati ruang gerak masyarakat Tionghoa untuk beribadah dan menyelenggarakan tradisi mereka.
Pencabutan Inpres itu cukup menjadi perwujudan bahwa Nahdlatul Ulama turut memperjuangkan salah satu prinsip negara hukum, yakni prinsip kesamaan kedudukan di hadapan hukum.
Terakhir, upaya mewujudkan kesetaraan hukum, adalah ketika NU berhasil mendorong peringatan hari santri yang diikuti kemudian dengan disahkannya UU Pondok Pesantren. Langkah heroik ini membuat Kyai dan Santri tidak lagi dianggap menjalankan pendidikan kelas dua. Tetapi sekarang kegiatan yang dilakukan Pondok Pesantren dapat diakui sama seperti sekolah umum dan agama lainnya.
Penutup
Rangkuman kisah ini tentu hanya secuil dari banyaknya kisah lain yang penulis belum ketahui. Semoga yang secuil ini tidak mengurangi makna daripada tujuan tulisan ini.
Selamat satu abad Nahdlatul Ulama. Terima kasih karena telah hadir dan turut membangun Negera Kesatuan Republik Indonesia, termasuk membangun kedewasaan berhukum Negara Indonesia. Semoga setiap jejak langkah yang hendak kau tapaki senantiasa disinari cahaya hidayah, diselimuti perlindungan Allah, dan memberikan keberkahan bagi nahdliyin, Warga Negara Indonesia, dan dunia. (AN)