Beberapa hari belakangan ini, budayawan Emha Ainun Najib ramai diperbincangkan. Sosok yang dikenal luas dengan nama Cak Nun ini mendadak viral karena rekaman video ceramahnya beredar luas di publik. Dalam video tersebut, Cak Nun menyebutkan bahwa sosok Jokowi sebagai Firaun, Anthony Salim sebagai Qorun, dan Luhut Binsar Pandjaitan sebagai Hamad.
Ketiga sosok yang disamakan oleh Cak Nun ke tokoh-tokoh Nasional tersebut adalah tokoh-tokoh yang diceritakan dalam sejarah Islam, dengan berbagai perbuatan dan perangai yang buruk. Entah apa yang maksud dari Cak Nun dalam potongan video tersebut tidak begitu jelas, karena durasi pendek tidak memungkinkan untuk menangkap konteks dari perumpamaan negatif tersebut.
Komentar negatif dan dukungan dari netizen pun langsung membanjiri linimasa berbagai layanan jejaring sosial. Walaupun, Cak Nun memberikan pernyataan permintaan maaf, banyak netizen yang masih menganggap penjelasan beliau masih belum bisa memuaskan mereka.
“Saya minta maaf kepada semua yang terciprat, menjadi tidak enak atau menjadi menderita, atau menjadi apapun oleh ucapan saya itu,” kata Cak Nun.
Bahkan, dalam pernyataannya Cak Nun juga menyebutkan bahwa dia sedang dalam kondisi ‘kesambet’ saat pernyataan tersebut keluar dari dirinya. Sehingga, dia menilai kondisi tersebut manusiawi dan cenderung membuatnya tidak bijaksana dalam menilai pernyataannya.
Terlepas dari semua kontroversi di atas, saya mengenal Cak Nun “hanya” dari karya-karyanya yang luar biasa. Saya tidak pernah hadir dalam berbagai kegiatan Maiyah beliau. Kedalaman dan penggunaan bahasa yang sangat indah adalah hal paling awal yang saya rasakan setiap membaca karya beliau. Bahkan, untuk orang yang tidak begitu memahami dan menikmati sastra dengan baik seperti saya.
Potongan-potongan video ceramahnya seringkali melintas di berbagai platform media sosial yang dibagikan para pencinta Cak Nun. Bahkan, kala pernyataan kontroversi kemarin, banyak netizen yang mendukung beliau. Hal ini saya nilai wajar, sebab sosok Cak Nun jelas sudah memiliki basis jemaah yang sungguh-sungguh mencintai dan mendukung beliau.
Namun, bagaimana pernyataan Cak Nun kemarin bisa menjadi kontroversi?
Saya tidak mungkin mengulas dari sisi kesustraan di mana sosok Cak Nun dikenal luas selain otoritas agama, karena saya tidak memiliki kemampuan di bagian tersebut. Untuk itu, saya akan mengambil jalan memutar dengan mendalami ungkapan sang budayawan, dengan mengulik potongan video tersebut dari citra yang dibangun didalamnya.
Paul Ricoeur, filsuf asal Perancis, dalam buku Hermeneutika dan Ilmu-Ilmu Humaniora menyebutkan bahwa sejarah memiliki ambiguitas, yaitu ia berarti peristiwa yang sungguh-sungguh terjadi sekaligus narasi tentang peristiwa tersebut. Menurut Ricoeur, sejarah yang dinarasikan seringkali terlepas dari subjek-objek yang terjadi dalam urutan kejadian yang sesungguhnya.
Dengan kata lain, kisah-kisah yang berlatar sejarah seringkali digunakan sebagian atau seluruh imajinasi di dalamnya untuk keperluan hari ini. Fir’aun, Hamad, dan Qorun dipakai dalam ceramah Cak Nun adalah sejarah dalam ajaran Islam yang digunakan sebagai “jalan pintas” label negatif atas sosok yang disematkan.
Tepat atau tidak label tersebut bukan masalah utama, namun yang ingin ditekan Cak Nun adalah memberikan citra yang mudah ditangkap oleh audiensnya. Bahasa atau lebih tepatnya narasi merupakan unsur penting dalam membangun citra. Inilah yang disebut Ferdinand de Saussure, pakar linguistik, memunculkan istilah “Petanda.”
Istilah “Petanda,” menurut Saussure, merujuk pada konsep mental, bukan pada unsur riil dari ungkapan tersebut. Dari pernyaataan Ricoeur dan Saussure di atas, kita bisa mengulik dan memahami bagaimana tanda dan citra dimainkan dalam video Cak Nun kemarin. Sosok-sosok yang digunakan oleh Cak Nun adalah tokoh populer dalam sejarah Islam dengan perangai dan perbuatan yang buruk.
Dengan memakai konsep citra, Cak Nun tidak perlu waktu yang panjang dan dapat menanamkan imajinasi yang tepat dalam mental di audiensnya. Bahkan, walaupun video ceramah Cak Nun dipotong atau keseluruhan yang ditonton, maka konsep citra tetap bertahan dan dapat menyampaikan pesan yang terselip di dalamnya.
Kalimat pembuka dalam buku “Visual Media in Indonesia: Video Vanguard” karya Edwin Jurriens disebutkan, “Di era komunikasi digital dan kapitalisme global, kehidupan sosial manusia saling terhubung dengan cara yang kompleks dan sering kali tidak dapat diprediksi.” Kalimat ini sangat populer dalam kajian media, karena mengungkapkan satu penting, yakni keterhubungan manusia yang lebih kompleks dari masa sebelumnya.
Permasalahan yang didapatkan oleh Cak Nun dari potongan video ceramahnya adalah contoh konkret dari fakta tersebut. Komunikasi kita hari ini sangat dipengaruhi bagaimana pola kita mengonsumsi pengetahuan di internet, khususnya media sosial. Singkat, padat, dan sering menggunakan kode, citra, dan imajinasi merupakan salah satu model komunikasi hari ini.
Sekilas pernyataan Cak Nun tersebut terlihat kompleks dan rumit. Akan tetapi, di sisi lain, ungkapan tersebut mengirimkan pesan yang jelas dan dapat dipahami sekilas oleh audiensnya karena dalam pernyataan tersebut menggunakan konsep mental atau citra yang sudah tertanam dalam kepala kebanyakan audiensnya.
Kontroversi pernyataan ini merupakan bagian dari pola komunikasi yang rumit dalam masyarakat yang saling terhubung. Mungkin kontroversi ini tidak begitu besar jika tidak ada peran media di dalamnya, terlebih internet.
Fatahallahu alaina futuh al-arifin