Pencemaran Lingkungan Semakin Memprihatinkan, Yuk Menjadi Santri Sadar Isu Lingkungan

Pencemaran Lingkungan Semakin Memprihatinkan, Yuk Menjadi Santri Sadar Isu Lingkungan

Pencemaran Lingkungan Semakin Memprihatinkan, Yuk Menjadi Santri Sadar Isu Lingkungan
Potret bencana banjir. Banjir merupakan salah satu dampak krisis iklim.

Beberapa bulan yang lalu, banjir parah terjadi di Kabupaten Blitar. Penyebabnya adalah curah hujan yang tinggi lalu berakibat pada meluapnya Sungai Bogel. Kata Pakar ITS, dikutip dari suarasurabaya.net, kerusakan dan alih fungsi lahan di bagian hulu sungai juga menjadi penyebab banjir. Masalah tadi adalah satu dari banyak masalah ekologi yang sedang terjadi di Indonesia.

Isu ekologi, akhir-akhir ini kembali ramai menjadi perbincangan. Seperti di Islami.co, terbaru ada tulisan dari Agus Mulyadi dan Leni Nur Azizah. Pertama kali istilah ekologi dikenalkan pada tahun 1869 oleh Ernst Haeckel. Ekologi sendiri secara istilah berasal dari bahasa Yunani, Istilah ekologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani yaitu oikos dan logos. Oikos memiliki arti rumah, dan logos, yang berarti pengetahuan. Dapat dipahami bahwa ekologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik (interaksi) antara organisme dengan alam sekitar (lingkungannya). Gampangnya, hubungan manusia dengan alam seperti menanam dan menebang pohon termasuk dalam pembahasan ekologi.

Di dunia, krisis ekologi disinyalir akan mendorong terjadinya konflik. Dalam tulisan yang dimuat di dw.com, dikatakan krisis ekologis seperti bencana alam, kekurangan sumber daya, dan anomali suhu, akan memperkuat masalah dan membuat konflik baru di suatu wilayah. Sedangkan di Indonesia, krisis ekologi yang menyebabkan misalnya adanya banjir, akan menciptakan masalah baru pada bidang ekonomi, dan kesehatan.

Banjir yang terjadi akan menyebabkan banyak rumah dan fasilitas publik rusak. Terlebih yang terjadi adalah banjir bandang. Misalnya jalan-jalan utama rusak, maka yang terjadi perputaran ekonomi akan tersendat. Masyarakat yang menjadi korban pun tak luput dari maslah kesehatan yang timbul akibat banjir yang menggenang selama berhari-hari.

Sangat jelas sekali manusia akan menanggung akibatnya. Walaupun manusia juga menjadi salah satu penyebab terjadinya krisis ekologi. Populasi manusia yang tiap tahunnya meningkat, menjadi penyebab bertambahnya emisi gas rumah kaca dan perusakan ekologi. Dalam hal ini, santri sebagai bagian dari manusia di dunia, juga akan menjadi subyek yang menanggung akibat dari kerusakan ekologi. Selain itu, santri juga sudah seharusnya memiliki kesadaran ekologi dan menjadi pelopor dalam penanggulangan krisis ekologi.

Dalam catatan yang dikeluarkan oleh Kementrian Agama (Kemenag), per September 2022 terdapat 1,64 juta santri di pondok pesantren seluruh Indonesia baik yang bermukim atau tidak bermukim. Jumlah tadi mungkin bisa lebih banyak lagi jika ditambah dengan santri dari pondok-pondok kecil.

Dengan jumlah yang sangat besar itu, peranan santri dalam isu ekologi akan memiliki dampak yang besar juga. Misalnya dalam permasalahan banyaknya sampah plastik. Sebenarnya santri sudah memulainya dengan kebiasaan makan gembul atau makan bersama-sama dengan menggunakan wadah yang lebar. Juga karena wadah tadi bersifat tidak sekali pakai, maka akan meminimalisir sampah plastik tempat makanan.

Meski begitu, sampah lain misalnya bekas kemasan sabun atau shampo, camilan, dan bungkus minuman, masih menjadi Pekerjaan Rumah (PR). Santri bisa memulai dengan menggunakan tempat minuman yang sifatnya tidak sekali pakai ketika membeli minuman. Walau mungkin kebanyakan santri masih minum dari air kran. Tetapi, ada juga santri yang tetap membeli minuman di kantin pondok.

PR lainnya adalah limbah MCK atau limbah detergen. Dalam kenyataannya, beberapa pondok masih belum memiliki pengolahan limbah yang memadai dan cenderung membuang limbahnya secara sembarangan. Mereka mengalirkan limbahnya ke selokan alih-alih membuatkan tempat penampungan khusus. Jika hal itu dilakukan terus-menerus dengan debit limbah yang besar, maka akan menyebabkan pencemaran air tanah. Padahal air tanah menjadi sumber air minum masyarakat dan santri itu sendiri. Zat kimia dari limbah detergen secara tidak langsung akan bercampur dengan air tanah.

Selain itu, limbah detergen dapat memicu terjadinya eutrofikasi air atau kondisi perairan dengan pertumbuhan eceng gondok dan ganggang yang cepat. Dua jenis tanaman air tadi jika dibiarkan tumbuh liar, akan menyebabkan ketidakseimbangan ekosistem. Sirkulasi sinar matahari ke dalam air akan tertutup dan oksigen yang dibutuhkan biota di dalamnya akan berkurang. Jika dibiarkan seperti itu, maka dapat mengakibatkan biota air mati atau bahkan lebih parah lagi, yaitu punah.

Mungkin solusi dari permasalahan limbah tadi adalah dengan membuat kolam penampungan. Di dalamnya nanti dapat ditambahkan filter alami dari tanaman, yaitu Kiambang atau Kangkung. Jika sudah, air dari tampungan dapat dialirkan kembali ke tanah atau dibuang ke selokan. Sehingga pencemaran air atau air tanah dapat diminimalisir.

Selanjutnya, santri-santri yang sudah lulus dan berbaur kembali dengan masyarakat, selain berdakwah tentang syariat dan akidah, isu lingkungan juga dapat disisipkan di dalamnya. Tidak dapat dipungkiri, Islam yang dipelajari oleh santri sudah mengajarkan bagaimana mencintai alam dengan cara tidak merusaknya. Tetapi isu ekologi seringkali luput dari perbincangan santri dan materi dakwah.

Misalnya dalam khutbah Jumat. Dalam empat kali jumat, tiga kali khutbah bisa diisi dengan materi umum, lalu ditambah satu Jumat dengan materi khusus tentang lingkungan. Atau, jika ada santri yang memiliki pubic speaking yang bagus dan sudah mengisi ceramah-ceramah, bisa juga menyelipkan isu ekologi dalam ceramahnya. Dengan cara itu, isu lingkungan akan mudah diketahui oleh masyarakat luas.

Tentunya semua hal tadi akan mudah dilakukan jika pondok pesantren (ponpes) sebagai lembaga yang membawahi santri mengambil peran. Ponpes dapat memasukkan kurikulum tentang isu lingkungan di dalam pembelajarannya. Selain belajar agama, mungkin bisa ditambah sebuah kelas khusus atau sosialisasi dalam satu minggu sekali atau satu bulan dua kali. Selain itu, dapat juga langsung diajarkan cara-cara untuk merawat lingkungan. Misalnya memilah dan mengolah sampah, mengurangi konsumsi sampah plastik, menanam pohon, dan hemat menggunakan air.

Nantinya santri yang sudah lulus, selain pintar dan cakap dalam ilmu agama, juga menjadi santri yang sadar isu ekologi. Kesadaran tadi harapannya juga dapat ditularkan dan disebarkan kepada masyarakat sekitarnya. Berdakwah hari ini tak hanya melulu tentang surga atau neraka, tetapi tentang kelestarian alam.