Alkisah, Abu Sa’id al-Kharraz sedang berada di Mekkah. Di sana dia mempunyai seorang teman yang wira’i. Selama tiga hari, mereka menginap tanpa memakan sesuatu apa pun. Sementara itu, di hadapan mereka ada seorang lelaki fakir yang membawa mangkuk dan teko yang ditutupi dengan sepotong daun rami.
Sebagaimana dijelaskan oleh Ibnul Jauzi dalam Shifat Shafwah, setiap Abu Sa’id melihat orang tersebut, ia terlihat sedang memakan roti. Melihat hal tersebut, Abu Sa’id kemudian berkata kepada dirinya, “Demi Allah, aku akan katakan kepada orang ini bahwa pada malam ini kami berada dalam penjamuanmu.”
Abu Said yang saat itu mengatakan apa yang terbesit dalam hatinya, langsung dijawab oleh lelaki fakir, “Ya, sebuah kehormatan.”
Ketika tiba waktu makan malam, Abu Sa’id kembali memperhatikan lelaki fakir tersebut. Namun kali ini tidak seperti malam sebelumnya, karena dia tidak melihat apa-apa bersama lelaki fakir tersebut. Tiba-tiba lelaki fakir tersebut mengusapkan tangannya ke sebuah tiang. Tak lama kemudian setelah menggesek, ada sesuatu yang menempel di atas tangannya. Lelaki itu kemudian menyerahkan yang ada di tangannya kepada Abu Said. Subhanallah, ternyata yang diberikan adalah uang dirham yang tidak seperti uang dirham pada umumnya.
Setelah mendapatkan hadiah uang tersebut, mereka kemudian membeli roti dan lauk. Setelah berlalu beberapa saat, Abu Sa’id kembali datang dan mengucapkan salam kepada lelaki fakir tersebut. Kepada lelaki fakir tersebut, Abu Sa’id pun berkata, “Pada malam itu, aku senantiasa memperhatikanmu, dan sekarang aku ingin tahu dengan apakah kamu bisa sampai seperti itu-mendatangkan uang dirham?- Jika bisa dilakukan dengan satu amalan tertentu, maka beritahukanlah aku.”
Mendengar perkataan Abu Sa’id, lelaki itu menjawab, “Wahai Abu Sa’id, hanya satu kata saja.”
“Apa itu?” tanya Abu Sa’id dengan rasa penasaran.
Lelaki itu lalu menjawab, “Keluarkanlah kedudukan makhluk dari hatimu, niscaya kamu sampai kepada kebutuhanmu.”
Kisah di atas memberikan pelajaran penting, yaitu jangan berharap banyak kepada manusia. Apalagi sampai pada memberikan kedudukan istimewa di dalam hati kita. Karena berharap kepada manusia hanya melahirkan banyak kekecewaan, apalagi jika yang diharapkan tersebut tidak sesuai dengan keinginan kita.
Sebab, sebaik-baiknya berharap dan bergantung adalah kepada Allah swt. Adapun manusia hanyalah sebagai perantara untuk mewujudkan harapan tersebut. Sehingga ketika manusia telah menggantungkan diri kepada manusia, maka bersiaplah untuk kecewa.