Pak Soeraja, pemilik pabrik rokok kretek nomor satu di Indonesia, sedang sekarat. Dalam prosesnya menunggu waktu terakhirnya, ia mengigaukan satu nama yang jadi kunci kotak pandora di balik kesuksesan kretek ‘Djagad Raja’: Jeng Yah.
Sang Ibu terbakar cemburu sebab permintaan terakhir suaminya ingin bertemu perempuan yang pernah menjadi kekasih di masa mudanya. Sementara, tiga anaknya, Lebas, Karim, dan Tegar, terliputi kegundahan. Mereka harus berpacu dengan malaikat maut, pergi ke pelosok Jawa untuk mencari sosok ‘Jeng Yah’ tersebut.
Pengembaraan itu ternyata merupakan penyusuran sejarah kretek Djagad Raja di masa lalu, yang ujungnya mengantarkan mereka pada sosok Jeng Yah, pemilik Kretek Gadis, kretek lokal kota M yang masyhur di zamannya.
Siluet situasi di atas merupakan penggalan cerita yang tertuang dalam Novel Gadis Kretek (2011) karya Ratih Kumala. Pemaparan narasi cerita menggunakan banyak sudut pandang dari beberapa tokoh yang ada di dalam tulisan. Meski begitu, lokus cerita tetap berpusat pada karakter Jeng Yah. Ia notabene anak seorang pemilik pabrik rokok terkenal di Kota M.
Sejak kecil, ia telah akrab dengan aroma tembakau dan cengkeh yang menguar dari pabrik kretek ayahnya, Idroes Moeria. Jeng Yah mencurahkan jiwa dan raganya untuk kretek. Pun banyak yang menisbatkannya sebagai titisan Roro Mendut, yang konon memiliki liur yang manis, sehingga membuat kretek lintingan (tingwe) yang direkatkan dengan ludahnya jadi terasa nikmat.
Di dalam buku digambarkan bahwa Jeng Yah merupakan representasi dari sosok perempuan yang berdikari dan mampu menjadi rekanan ayahnya yang setara sebab memahami regulasi dan cara pemasaran sebuah produk kretek. Selain itu ia juga mengetahui formula kretek yang nikmat dan bisa dicintai oleh masyarakat.
Jeng Yah dalam Gadis Kretek: Representasi Perempuan Berdikari
Idroes Moeria tak lagi khawatir ketika istrinya, Roemaisa, tak melahirkan anak laki-laki. Ia cukup punya Dasiyah, gadis itu meski sama sekali tak tomboy, tapi punya energi layaknya anak laki-laki keluarga yang mengambil alih tanggung jawab. Anak gadisnya itu juga dinilai punya naluri dan kebijaksanaan yang bagus jika berkaitan dengan usaha dagang kretek keluarga (Kretek Gadis, halaman 176).
Lewat penggalan di atas, Ratih Kumala sukses menggambarkan citra Jeng Yah sebagai sosok gadis kretek yang berdedikasi dan cerdas. Jeng Yah juga mampu bekerja dan mengatur laju produksi rokok kretek yang menjadi tumpuan perekonomian Kota M di masa itu. Ia adalah sosok alami pemimpin perempuan yang mumpuni. Hal ini tertuang dalam halaman 140:
Dasiyah praktis menjadi kepercayaan Idroes Moeria. Gadis itu mendapat kecerdasan dari ibunya dan keuletan kerja dari ayahnya. Selain itu, karena sikap Idroes Moeria yang cenderung memberi kebebasan bagi putrinya, telah menjadikannya gadis yang mandiri, berani berpendapat. Sebuah kombinasi yang unik untuk perempuan di zaman itu.
Dari karakter Jeng Yah terlukis bahwa sosok perempuan yang mampu menopang tubuhnya sendiri merupakan pribadi yang memiliki ketajaman pikir dan keluasan hati. Oleh sebab itu, musykil kiranya jika karakter dengan pembawaan tersebut mampu melakukan perbuatan yang hanya berdasar pada kebutaan nafsu tanpa melihat konsekuensi yang menghadang di masa depan.
Indonesia dan Budaya Rokok Kretek
Novel ini mengajak para pembaca menyusuri lika-liku sejarah rokok kretek Indonesia. Mengambil latar babak di masa penjajahan Belanda sampai pasca reformasi, serta latar tempat yang berpindah dari Jakarta, Kota M, Kudus, dan Magelang, sang penulis menjelaskan bagaimana suatu evolusi terjadi di dunia rokok Indonesia. Juga, bagaimana mulanya rokok tingwe (ngelinting dhewe) yang menggunakan klobot beralih jadi rokok kretek yang menggunakan kertas papir.
Uniknya, novel ini juga menyelipkan beberapa ilustrasi bungkus rokok yang ada dalam cerita. Hal ini tentu memudahkan imajinasi pembaca menggambarkan bagaimana bentuk dan rupa kemasan rokok di zaman dulu.
Ratih secara jelas menggambarkan bagaimana rokok menjadi budaya yang telah lama mengakar dalam sendi kehidupan sosial masyarakat Indonesia. Jadi, aktivitas rokok yang masif dilakukan penduduk di negara ini sejatinya bukan karena kampanye industri rokok saja.
Merunut catatan sejarawan Belanda, Dr. H. de Haen, pada tahun 1622-1623 seorang utusan VOC pernah berkunjung ke Mataram dan mencatat kebiasaan ‘merokok’ raja paling agung Mataram yaitu Sultan Agung, yang merupakan perokok ‘kelas atas’.
Di waktu itu, merokok sudah bukan hanya kesenangan pribadi belaka, namun juga jadi menu hidangan penting, tak ubahnya buah pinang dan sirih yang disajikan kepada tamu kerajaan. Kebiasaan menyajikan rokok pada tamu-tamu kehormatan juga tercatat dalam ensiklopedia Jawa yaitu Centhini yang disusun pada tahun 1814 sebagai perintah raja yaitu Sunan Pakubuwana V.
Rokok menjadi barang konsumsi yang dapat dinikmati oleh siapa pun baik laki-laki dan perempuan. Selain itu, saat pasca kemerdekaan Indonesia, masyarakat masih memercayai bahwa rokok merupakan obat bagi mereka yang memiliki penyakit pernapasan atau istilahnya bengek.
… ambil satoe batang KRETEK MERDEKA! dan njalakan api dari geretan. Minoemlah dalam-dalam, biarkan asap itoe masoek dan menjerep di toboeh Toean dan Njonja, setelah itoe keloearken asapnja pelan-pelan. Nistjaya Toean dan Njonja punya fikiran akan lebih segar. Djoega tjojtok oentoek jang poenya bengek. (Gadis Kretek, halaman 124).
Sebuah paradigma rokok yang berlawanan dengan masa sekarang, mengingat bagaimana gencarnya kampanye anti rokok yang menempatkan rokok sebagai ‘musuh’ kesehatan manusia. Dengan demikian, membaca buku ini akan menambah pengetahuan dan perspektif tentang industri rokok kretek yang ada di Indonesia.
Selain itu novel yang juga telah dialih-bahasakan ke dalam bahasa Arab, Inggris, dan Jerman ini akan segera mendapat adaptasi filmnya oleh Netflix. Dengan bahasa yang ringan dan cerita yang ‘padat berisi’, tentunya novel ini layak menjadi salah satu daftar dalam keranjang bacaan Anda.
Data Buku
Judul : Gadis Kretek
Pengarang : Ratih Kumala
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta (2011)
ISBN : 978-979-22-8141-5