Dalam proses administrasi, tanda tangan merupakan salah satu hal yang sangat penting. Seorang yang membubuhkan tanda tangannya bisa dibilang bertanggung jawab atas isi surat dan dampak-dampaknya. Semakin penting dan tinggi jabatan seseorang maka semakin penting pula goresan tanda tangannya. Namun, apa jadinya jika ada orang yang memalsukan tanda tangan?
Saat ini ada saja orang yang menghalalkan segala cara untuk mendulang keuntungan yang lebih besar, termasuk salah satunya dengan memalsukan tanda tangan. Ini tentu menjadi pertanyaan bersama,
“Bagaimana hukum memalsukan tanda tangan?”
Berbicara tentang pemalsuan tanda tangan atau stempel, ternyata Rasulullah pun pernah mewanti-wanti hal tersebut. Dalam beberapa riwayat disebutkan bahwa Nabi Muhammad SAW memiliki cincin yang tak hanya berfungsi sebagai perhiasan, namun juga sebagai stempel. Cincin yang juga stempel tersebut memiliki ukiran yang bertuliskan ‘Muhammad Rasulullah’.
Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dari Anas Ibn Malik ra. beliau berkata:
لَمَّا أَرَادَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَكْتُبَ إِلَى الرُّومِ قَالُوا إِنَّهُمْ لَا يَقْرَءُونَ كِتَابًا إِلَّا مَخْتُومًا فَاتَّخَذَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَاتَمًا مِنْ فِضَّةٍ كَأَنِّي أَنْظُرُ إِلَى وَبِيصِهِ وَنَقْشُهُ مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ
“Tatkala Nabi SAW ingin berkirim surat kepada Romawi, mereka ternyata tak mau membaca surat selain harus berstempel, maka Nabi SAW membuat cincin (stempel) dari perak, seolah-olah aku melihat kilauannya dan ukirannya bertuliskan ‘Muhammad Rasulullah’.” (HR: Bukhari)
Stempel ataupun tanda tangan berfungsi sebagai tanda pengenal atau identitas dari pengirim surat yang menjamin kebenaran isi dari dokumen atau surat tersebut. Maka tidak heran, di zaman Nabi pun stempel sudah menjadi hal yang penting dalam surat-menyurat. Hal ini untuk memastikan bahwa surat tersebut benar-benar datang dari Rasulullah SAW.
Kemudian dalam hadis shahih lainnya, yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Imam Abu Daud dan Imam Ibnu Majah dari Ibn Umar ra., diceritakan bahwa ketika membuat cincin tersebut Rasulullah SAW bersabda:
لَا يَنْقُشْ أَحَدٌ عَلَى نَقْشِ خَاتَمِي هَذَا
“Seorangpun tidak boleh memahat tulisan pada cincin seperti yang ada pada cincinku ini.”
Imam Nawawi dalam kitabnya Syarh Shahih Muslim, menjelaskan tentang sebab mengapa Rasulullah SAW melarang siapapun untuk mengukir cincin dengan ukiran yang sama seperti pada cincin beliau:
سبب النهى أنه صلى الله عليه وسلم إنما اتخذ الخاتم ونقش فيه ليختم به كتبه إلى ملوك العجم وغيرهم فلو نقش غيره مثله لدخلت المفسدة وحصل الخلل
“Sebab dari larangan tersebut bahwasanya Nabi SAW membuat cincin dan mengukirnya tidak lain tidak bukan bertujuan untuk memberikan stempel pada surat-suratnya yang ditujukan untuk raja-raja ‘ajam (non-arab) dan selainnya. Yang mana jika ada orang selain Nabi yang mengukir (cincin) persis seperti (ukiran cincin) Nabi, maka akan (ada kemungkinan) terjadinya kerusakan dan kekacauan (jika ada yang menyalahgunakan stempel tersebut).”
Maka dari itu, Nabi melarang agar tidak ada seorang pun, di zaman Nabi, yang mengukir cincin dengan ukiran ‘Muhammad Rasulullah’. Karena ukiran itu khusus untuk Rasulullah SAW sebagai stempel yang menunjukkan identitas beliau yang tidak boleh ada orang lain selain beliau yang memakainya. Sama seperti tanda tangan di zaman sekarang yang menjadi identitas masing-masing individu, maka tidak boleh ada yang memalsukannya. Ataupun stempel suatu lembaga tertentu, maka hanya lembaga itu yang boleh memiliki dan menggunakannya.
Lebih lanjut, Ibnu Umar (masih dalam hadis di atas) menjelaskan bahwa setelah Rasulullah wafat, cincin itu kemudian dipakai oleh Abu Bakar, Umar, lalu Utsman. Hingga suatu hari, cincin tersebut jatuh ke dalam sumur Aris. Karena orang-orang sudah mencari namun tidak menemukannya, maka Utsman pun membuat cincin lagi. Beliau memberi ukiran dengan tulisan yang sama, ‘Muhammad Rasulullah’. Itulah cincin yang dijadikan sebagai stempel oleh Nabi yang selanjutnya diwariskan kepada para sahabatnya yang menjadi khalifah setelah Rasulullah SAW wafat.
Maka dari kisah di atas, bisa diambil kesimpulan bahwa memalsukan tanda tangan orang lain tanpa izin adalah haram. Karena hal itu dapat merugikan orang yang dipalsukan tanda tangannya. Apalagi jika ternyata surat-surat yang ditanda tangani hanya menguntungkan si pemalsu tanda tangan.
Lalu bagaimana jika sudah diberi izin? Maka hukumnya diperbolehkan, dengan syarat pemilik tanda-tangan mengetahui semua isi surat atau berkas yang akan ditandatangani.
Pada dasarnya Islam melarang untuk melakukan sesuatu yang hanya menguntungkan diri sendiri dan dapat merugikan orang lain. Terlebih dengan cara memalsu dan berbohong. (AN)