Peristiwa hijrah Nabi bermula dari peristiwa ini. Sekitar 620 Masehi atau tahun ke-11 semenjak Nabi diutus, ada enam orang dari Yatsrib datang ke Makkah untuk berkunjung. Mereka semua sudah mengetahui pribadi Muhammad dari sebagian kaum Yahudi di Yatsrib. Akhirnya, Nabi Muhammad berjumpa dengan mereka di ‘Aqabah. Setelah terjadi pertemuan, semuanya memeluk Islam.
Setahun kemudian, ada sekitar 12 orang yang berkunjung untuk melakukan bai’at kepada Nabi. Di antara orang-orang itu, sebagaimana disebutkan dalam kitab-kitab sejarah, ‘As’ad bin Zarurah, Auf bin Harits, Rafi’ bin Malikm Qutbah bin Amir, Jabir bin Abdillah Ubadah bin Shamit dan Abul Haitsam. Adapula dua wanita yang ikut melakukan sumpah setia kepada Nabi, yaitu Nusyaibah binti Ka’ab dan Asma Amr bin Adiy. [al-Buti, Fikih Sirah: 130-137]
Hijrah dari Mekah ke Madinah
Masyarakat yang berbaiat kepada Nabi Muhammad sangat mengharapkan hijrah Nabi dari Mekah menuju Madinah. Mereka memiliki kepercayaan dan harapan kepada Nabi sebagai rekonsiliator antara dua suku yang sedang konflik internal. Karena di Madinah sendiri sedang mengalami instabilitas sosial, sebab konflik kesukuan yang berkepanjangan antara suku ‘Aus dan Khazraj. Mereka baru saja meghadapi perang Bu’ats. Maka, umat muslim hijrah secara sembunyi-sembunyi, kecuali Sayyidina Umar yang secara tegas menantang kaum musyrik Mekah. [al-Thabari, Sirah al-Thabari: 352/2]
Di Mekah hanya bersisa Nabi, Abu Bakar dan Sayyidina Ali. Tinggal menunggu wahyu turun untuk hijrah menyusul para sahabat yang sudah lebih dulu ke Madinah. Pada sore hari akhirnya Nabi berangkat menuju Madinah seraya ditemani Abu Bakar. Konon, beliau sempat dikejar oleh suruhan orang-orang Musyrik Mekah dan Nabi bersembunyi di gua Tsur selama tiga hari. Perjalanan Rasulullah ini mengandung banyak cobaan dan sekaligus fenomena ajaib.
Namun, rintangan itu berhasil dilewati sebab bimbingan Tuhan dan Nabi akhirnya sampai ke tempat yang menjadi tujuan, yaitu Madinah. Beliau tidak langsung ke Madinah, namun masih tinggal di Quba’ terlebih dulu, baru setelah itu pergi menuju Madinah menunggangi onta. Masyarakat, baik yang pribumi maupun yang asing menyambut beliau sangat antusias, banyak menawarkan tempat namun rumah Abu Ayyub menjadi pilihan singgah, sebagaimana dituturkan Ibnu Hisyam. [Ibnu Hisyam. Tarikh Ibnu Hisyam: 1/155]
Proyeksi Asas Negara Baru (Madinah)
Setelah hijrah, hal pertama yang dilakukan oleh Nabi di Madinah adalah menghapus fanatisme kesukuan yang berpotensi konflik. Oleh karena itu, Nabi memulai dengan mempersatukan dan mempersaudarakan antara masyarakat asing (Muhajirin) dan pribumi asli (Madinah; Anshar). Istilah Kesukuan itu lalu diubah menjadi bahasa yang lebih umum yaitu umat.
Ibnu Hisyam membeberkan beberapa orang yang dipersaudarakan oleh Nabi. Di antaranya, Jakfar bin Abi Thalib diersaudarakan dengan Mu’adz bin Jabal, Hamzah dengan Zaid bin Haritsah mantan budak Rasulullah, Abu Bakar dengan Kharijah bin Zuhair, Umar bin Khattab dengan Utban/Itban bin Malik dan Abdurrahman bin ‘Auf diersaudarakan dengan Sa’ad bin al-Rabi’. Mayoritas kalangan Anshar yang dipersaudrakan oleh Nabi yaitu dari bani Khazraj. [Sirah Ibnu Hisyam: 1/504]
Menurut laporan Muhammad Said Ramadhan al-Buthi, mempersaudarakan antara golongan pribumi (Anshar) dengan Muhajirin merupakan pondasi untuk membangun suatu Negara baru di Madinah. Karena setiap Negara tidak mungkin tegak dan eksis tanpa adanya persatuan umat. Sementara persatuan umat tidak akan tercapai kecuali ada hubungan kekeluargaan berupa persaudaraan dan cinta diantara sesama. Oleh karena itulah, tindakan mempersaudarakan ini merupakan salah satu prinsip penting untuk mendirikan suatu Negara dan umat muslim serta non-muslim. [al-Buti, Fikih Sirah, 162-163]
Lebih lanjut, Syekh al-Buthi mengatakan bahwa prinsip lainnya yang harus diproyeksikan adalah tempat perkumpulan, yaitu Masjid karena bisa dijadikan tempat untuk berdiskusi baik persoalan Agama maupun Negara. Di sini banyak pelajaran yang bisa kita ambil, mengingat akhir-akhir ini trend tentang masjid menuai perbincangan dan kegandrungan. Pertama, masjid memiliki fungsi tidak hanya spiritual melainkan juga sosial (negara dan kemasyarakatan). Kedua, masjid tidak melulu milik kaum laki-laki, perempuan punya hak setara, baik dalam memanfaatkan dan memelihara.
Hal ini, sebagaimana kisah yang tercatat sayup-sayup (baca: tanpa nama) dalam al-Sahih al-Bukhari bahwa salah satu pengurus masjid/takmir masjid Nabawi adalah perempuan. Sementara Ibnu Hajar memastikan bahwa perempuan itu dikenal dengan sebutan Ummu Mahjan yang mendedikasikan diri untuk ikut serta memelihara masjid tersebut, (Ibnu Hajar, Fath al-Bari, 1/553).
Sementara itu, tren masjid di Indonesia sendiri lebih menyoroti akan arsitektur yang mewah nan megah. Tentu, berbagai macam arsitektur tetap saja dibolehkan namun yang perlu diperhatikan adalah fungsi masjid itu sendiri jangan sampai hilang karena menitikberatkan arsitektur, sehingga hanya orang-orang tertentu yang mendapatkan akses.
Satu hal yang tidak kalah penting adalah undang-undang yang bisa mengakomodasi seluruh lapisan masyarakat, baik kaum protelariat dan bangsawan, ataupun umat islam dan non muslim, komunitas Yahudi dan kristen yang hidup di Madinah. Sebab, tak bisa dimungkiri setiap kehidupan menginginkan stabilitas sosial yang damai. Di sisi lain, setiap individu memiliki kepentingan yang berbeda dan terkadang bertentangan satu sama lain. Oleh sebab itu, perlu ada konstitusi yang menjadi perekat sosial sehingga tercipta tatanan sosial yang diinginkan.
Kelak, undang-undang yang berhasil mengakomodasi seluruh lapisan masyarakat tanpa memandang ras, suku maupun agama, yang mana Rasul sebagai ketua komisinya, dikenal dengan Piagam Madinah (Shahifatul Madinah). Di depan undang-undang Madinah inilah seluruh masyarakat semuanya sama tanpa pandang bulu, baik muslim maupun non-muslim. [al-Buti, Fikih Sirah, 162-163]