Imam Al-Baidhowi bernama lengkap Abdullah bin Umar bin Ali al-Baidhowi al-Syirazi al-Syafi’i. Nama al-Baidhowi dinisbatkan kepada daerah yang bernama Baidho`, sebuah daerah di wilayah Persia. Tidak diketahui tahun kelahiran beliau, karena tidak ada sumber yang menjelaskannya. Adapun tahun wafatnya masih diperselisihkan. Satu versi menyebutkan beliau wafat tahun 685 H, versi lainnya menyebutkan tahun 691 H.
Imam al-Baidhowi merupakan seorang hakim agung (qadhi al-qudhat) di wilayah Syiraz. Beliau dikenal sebagai ulama penganut mazhab Syafi’i di bidang fikih dan Ahlu as-Sunnah Asy’ariyah di bidang kalam. Al-Baidhowi juga dikenal sebagai ulama yang berwawasan luas. Beliau menguasai Ilmu Tauhid, Fikih, Ushul Fikih, Tafsir, hingga Mantik. Berbagai karya lahir dari buah pikirannya, antara lain: Minhajul Wushul ila ‘Ilm al-Ushul di bidang Ushul Fikih, Thawali’ul Anwar di bidang Ilmu Tauhid, Anwarut Tanzil wa Asrarut Ta`wil di bidang Tafsir, dan masih banyak lainnya.
Salah satu karya Imam al-Baidhowi yang banyak mendapat apresiasi adalah kitab tafsirnya yang berjudul Anwarut Tanzil wa Asrarut Ta`wil atau yang juga dikenal sebagai Tafsir al-Baidhowi. Kitab ini, menurut Husain al-Dzahabi dalam kitab at-Tafsir wal Mufassirun merupakan kitab yang berukuran sedang. Sang pengarang mengumpulkan tafsir ayat dan takwilnya yang tetap didasarkan pada kaidah-kaidah bahasa Arab. Barangkali hal itulah yang membuat kitab Tafsir al-Baidhowi diterima di kalangan ulama, karena tetap mendasarkan penakwilannya kepada kaidah bahasa Arab.
Keistimewaan yang dimiliki Tafsir al-Baidhowi membuat kitab itu menjadi salah satu rujukan utama umat muslim. Bahkan, telah banyak kitab-kitab Hasyiyah yang ditulis untuk menjelaskan kitab itu. Menurut Ali Iyazi dalam al-Mufassirun Hayatuhum wa Manhajuhum, terdapat sekitar 83 kitab Hasyiyah yang ditulis untuk menjelaskan kitab tersebut. Di antara kitab Hasyiyah yang masyhur adalah Fathul Jalil bi Bayani Khofiyyi Anwar al-Tanzil karya Zakariya bin Muhammad al-Anshori dan Nawahidul Abkar wa Syawaridul Afkar karya Imam as-Suyuthi.
Satu hal yang menarik adalah ketika Imam al-Baidhowi yang notabene penganut mazhab Asy’ariyah, justru menyandarkan penafsirannya pada tokoh Mu’tazilah. Husain al-Dzahabi menyebutkan bahwa al-Baidhowi dalam kitab tafsirnya meringkas kitab al-Kasysyaf karya Imam al-Zamakhsyari. Sebagaimana diketahui, Al-Zamakhsyari merupakan salah seorang tokoh Mu’tazilah di abad ke-5 hingga ke-6 Hijriah.
Meski Imam al-Baidhowi menyandarkan penafsirannya pada tokoh Mu’tazilah, beliau tetap berpegang pada prinsip-prinsip mazhab Asy’ariyah. Di satu sisi, Al-Baidhowi meninggalkan penafsiran-penafsiran Imam Al-Zamakhsyari yang ‘berbau’ Mu’tazilah. Dan di sisi lain, beliau tetap menyandarkan penafsirannya pada penafsiran Al-Zamakhsyari, khususnya terkait dengan metode penafsirannya.
Sikap yang diambil oleh Imam al-Baidhowi tersebut dapat menjadi pelajaran bagi umat muslim bahwa belajar kepada mereka yang berbeda mazhab bukanlah suatu hal yang buruk. Kita semua bisa belajar kepada siapapun tanpa memandang latar belakang mereka. Dengan belajar kepada mereka yang berbeda, kita bisa memperoleh sudut pandang yang baru. Dan melalui sudut pandang yang baru, cakrawala pengetahuan menjadi semakin luas dan tidak mudah menyalahkan orang lain yang berbeda pandangan. [NH]