Ketika saya lahir 50 tahun silam di Turki, itu adalah momen paling digdaya bagi sekularisme sebagai tren politik. Saya tetap memutuskan untuk menjadi seorang Muslim dan merasakan diskriminasi struktural dari rezim sekuler Turki. Istri saya, sebagai wanita berjilbab, juga menghadapi diskriminasi.
Oleh karena itu, kebangkitan agama di ruang publik di banyak negara belakangan ini membuat saya senang di satu pihak. Harapannya, saya bisa melihat lebih banyak lagi kebebasan berekspresi, termasuk dalam hal ini adalah kebebasan beragama.
Apalagi secara global dunia ini telah mengalami transformasi. Misalnya adalah Revolusi Iran pada tahun 1979, kemudian runtuhnya Uni Soviet dan runtuhnya komunisme di seluruh dunia, lalu kebangkitan Evangelis dalam politik Amerika, partai-partai sayap kanan di Israel, dan BJP di India. Itu semua merupakan bagian dari transformasi sosial dengan penekanan yang lebih religius. Bangkitnya keberagamaan, dengan demikian, memperluas visibilitas publik terhadap agama mayoritas di banyak negara.
Hari ini kita berada di momen puncak keberagamaan. Dan itu membuat saya justru sedikit khawatir di pihak yang lain. Faktanya, banyak anak muda yang tidak senang dengan kebangkitan agama-agama di ruang publik. Dalam struktur masyarakat Amerika, persentase orang yang tidak terafiliasi melonjak dari 15 persen menjadi 25 persen 10 tahun terakhir. Di Iran, menurut survei terbaru The Conversation, separuh masyarakatnya tidak lagi mendefinisikan diri mereka sebagai Muslim. Di Turki, Direktorat Agama, Diyanet, mengakui bahwa deisme menjadi tren, bahkan di sekolah-sekolah Islam.
Mengapa demikian?
Jawaban singkat saya adalah karena faktor politisasi agama. Sejumlah pemimpin agama telah membentuk aliansi politik dengan penguasa otoriter. Akibatnya, ini menggiring pihak oposisi semakin larut dalam arus sekularisme.
Masalah yang saya sebut sebagai aliansi ulama-negara memiliki akar sejarah yang dalam. Di dunia Muslim, aliansi antara ulama dengan negara memungkasi masa kejayaan sains dan filsafat Muslim di kurun abad kedelapan dan kesebelas.
Belakangan ini, masalah aliansi ulama-negara juga semakin kuat. Di Amerika Serikat, Presiden Trump menggunakan dukungan Injili; di Turki, Diyanet menjadi mitra politik Presiden Erdogan; di Iran ulama memerintah negara; di Mesir, al-Azhar dan Grand Mufti adalah mitra politik Presiden Sisi; di India, BJP memobilisasi nasionalis Hindu, dan bahkan di Rusia Presiden Putin menggunakan Gereja Ortodoks dalam serangannya ke Ukraina.
Singkatnya, banyak kelompok agama telah menjadi bagian dari populisme sayap kanan. Mereka menggabungkan agama, nasionalisme, dan pemimpin demagog.
Ketika pemerintah sayap kanan ini mempersekusi agama-agama minoritas, kelompok sekulerlah yang paling utama dalam membela hak-hak mereka yang tertindas. Di AS, misalnya, ACLU turut menentang sentimen Trump terhadap kelompok Muslim; di India sekularis juga membela hak-hak minoritas Muslim. Dan ketika China menganiaya minoritas Muslim Uyghur, tidak ada pemerintah Islam yang mendukung mereka, baik Turki, Iran, Arab Saudi, maupun Pakistan.
Pada gilirannya, hal ini menciptakan citra bahwa para pemimpin agama lebih memedulikan kepentingan mayoritas dengan mengabaikan hak-hak minoritas. Konteks inilah yang membuat arus sekularisasi dianggap relevan.
Berangkat dari latar belakang di atas, saya terus terang sangat senang berada di salah satu panel R20 ini. Di sini kita mengajukan pertanyaan yang tepat, seperti “nilai-nilai apa yang harus dilepaskan oleh tradisi kita masing-masing, untuk memastikan bahwa agama berfungsi sebagai sumber solusi sejati, dan bukan masalah, di abad ke-21?”
Saya kira, para panelis telah memberikan jawaban yang tepat. Masing-masing dari mereka memberikan komentar yang berani dan berwawasan luas tentang bagaimana mereformasi tradisi Yahudi, Mormon, Katolik, dan Muslim dalam kriteria mereka sendiri, khususnya dalam masalah hak-hak minoritas.
Mereka menekankan bahwa agama-agama yang menjadi mayoritas di sebuah negara harus berada di garda depan dalam membela hak-hak kelompok minoritas. Laku keberagamaan seperti itu akan membantu pembentukan kewarganegaraan yang setara.
Misalnya adalah Rabi Prof. Alan Brill dan Rabi Silvina Chemen yang merujuk pada dokumen reformis berjudul “Status Non-Yahudi dalam Hukum dan Pengetahuan Yahudi Hari Ini.” Dokumen ini sangat penting untuk kerangka relasional masa depan antara orang Yahudi dan non-Yahudi, khususnya Arab Muslim dan Kristen.
Juga, Imam Addaruqutni menjelaskan bagaimana Muhammadiyah telah mengejar agenda reformis dalam pemikiran Islam.
Selain itu, Ulil Absar Abdala menjelaskan bagaimana Nahdlatul Ulama (NU) di Indonesia telah melakukan banyak hal, utamanya terkait inisiatif historis pro-kemanusiaan. Ini, misalnya, dilakukan NU dengan berfokus pada wacana “rahmah,” yang jika diterjemahkan secara bebas memiliki arti cinta dan kasih sayang.
Apa yang dilakukan oleh NU mereformasi pemikiran Islam tentang isu-isu kontroversial, termasuk kewarganegaraan yang setara dan hubungan dengan non-Muslim.
Fokus diskusi dalam panel ini adalah reformasi tradisi keagamaan, khususnya tentang hak-hak minoritas. Bagi saya itu cukup menjanjikan dan memotivasi. Ini adalah arah yang benar untuk menjadikan fungsi agama sebagai sumber solusi, alih-alih masalah, di abad ke-21.
*Artikel ini merupakan terjemah dari makalah Prof Ahmet T. Kuru berjudul “Religion and Politics in the 21st Century: Defending Minority Rights” yang disampaikan di Forum R20.