Radikalisme agama dan kekerasan atas nama Islam, masih menjadi ancaman bagi utuhnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Keutuhan Indonesia diganggu oleh aksi-aksi kekerasan yang menggunakan simbol-simbol keagamaan. Radikalisme agama menjadi isu yang meluas sebagai ancaman transnasional, yang melintasi batas negara. Bom-bom meledak di berbagai negara, dengan isu global yang mengatasnamakan Islam sebagai pelaku terornya.
Lalu, bagaimana menyikapi hal ini? Bagaimana memaknai Islam sebagai agama anti-kekerasan? Di penghujung tahun, ramai diinformasikan tentang jaringan ormas radikal bernama Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar). Kelompok ini, merupakan salah satu sub-jaringan yang merekrut anggota dari professional muda, dengan fondasi Islam yang lemah, namun memiliki semangat melimpah.
Rektrutmen anggota kelompok ini, menggunakan kekuatan komunikasi inter-personal yang berusaha memisahkan korban dari keluarganya, untuk kemudian dicuci otak dan mendalami program training jihad.
Gafatar: Jaringan Teroris?
Hilangnya dokter Rica Tri Handayani di Yogyakarta sejak 30 Desember 2015 lalu menjadi fenomena penting dalam persebaran jaringan ormas radikal. Dokter muda tersebut akhirnya ditemukan di Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah, pada Senin 11 Januari 2016. Sedangkan, di Surabaya, seorang mahasiswa bernama Eri Indra Kausar juga meninggalkan rumah sejak empat bulan lalu. Mahasiswa yang bermukim di Jalan Suripto, Kenjeran, Surabaya diduga ikut kelompok Gafatar.
Ajaran Gafatar memiliki kesamaan dengan al-Qiyadah al-Islamiyyah, lantaran memiliki rujukan ideologi yang sama, yakni dari Ahmad Musadeq. Anggota Gafatar dilantik setelah mengucapkan persaksian di hadapan Musadeq. Prosesi pelantikan menjadi bagian penting dari rekrutmen anggota Gafatar. Musadeq menyampaikan inti ajaran Millah Ibrahim yang mengajak setiap penganutnya mengikuti ajaran Ibrahim.
Dalam penyampaikan ideologinya, Musadeq berprinsip bahwa Nabi Muhammad bukanlah Nabi terakhir setelah hancurnya Islam pasca perang Salib di abad ke-13. Ahmad Musadeq mengklaim dirinya sebagai Messiah baru, yang akan membawa kaum muslim menuju era pencerahan baru. Selain itu, pada masa ini, dalam pandangan Musadeq, juga mencerminkan fase penanaman ideologi dan akidah, hingga tidak diperlukan beribadah.
Menyusupnya jaringan radikal, tentu saja menjadi keprihatinan bersama. Status darurat radikalisme di negeri ini, tentu harus dibarengi dengan tindakan pencegahan dan solusi integratif untuk melumpuhkan jaringan radikal di pelbagai daerah. Bahkan, di kampus-kampus juga sudah mulai dimasuki jaringan ormas radikal yang merekrut anggota. Perlu ada upaya deradikalisasi dari lintas pendidikan.
Kurikulum ekslusif di kampus tidak cukup untuk mematikan sel-sel radikal di organisasi kampus, perlu ada deradikalisasi dan penyegaran ideologi berupa nilai-nilai agama yang ramah terhadap kultur. Bagi mahasiwa muslim, pemahaman atas ajaran Islam Indonesia yang rahmatan lil-alamin tidak cukup dengan teori di kelas, namun juga kegiatan di luar kampus berupa festival dan ritual untuk internalisasi nilai-nilai moderat.
Radikalisme, dalam pandangan Khaled Abou el-Fadhl (2005) berakar dari puritanisme. Ajaran kekerasan bersumber dari pemahaman yang tertutup dan tidak mengendaki dialog antar perspektif. Puritanisme merupakan kecenderungan ekslusif dan mengokohkan karakter absolut serta menolak kompromi dengan pemikiran dan tafsir yang beragam.
Salah satu solusi untuk meruntuhkan radikalisme keagamaan, yakni dengan menguatkan kembali tradisi lokal. Revitalisasi tradisi Islam berbasis kebudayaan lokal, sangat penting untuk menghadirkan Islam ala-Indonesia yang ramah dan berwajah teduh. Pemahaman atas pengetahuan lokal (local knowledge) yang terkandung dalam tradisi lokal, dalam spektrum keagamaan tentu akan memberikan sentuhan positif berupa keterbukaan pemikiran dan lenturnya dialog antar perspektif.
Islam Cinta
Salah satu strategi untuk menolak radikalisme agama, adalah memahami inti terpenting dari setiap agama: mengajarkan kasih sayang dan keindahan. Islam mengajarkan moral sebagai bagian terpenting misi Nabi. Dengan demikian, akhlak atau perilaku baik, menjadi tujuan utama dari risalah Muhammad. Beragama dengan cinta, yakni menghadirkan nilai-nilai kebaikan dari agama untuk berinterksi dengan sesama pemeluk agama dan lintas agama. Memahami agama sebagai makarimal akhlak (memuliakan akhlak), adalah bagian dari mengukuhkan nilai humanisme ajaran agama. Bahwa, agama sejatinya menjadi bekal untuk berbuat baik kepada sesama manusia, alam dan mengabdi kepada Sang Pencipta.
Pada titik ini, seluruh argumentasi untuk menghadirkan agama dalam lensa kekerasan akan luruh seketika. Agama, dalam wujud apapun, pada intinya menghadirkan kasih sayang. Islam, dalam konteks ini, secara jelas telah menyajikan spektrum yang sangat luas tentang ajaran-ajaran Nabi Muhammad yang menguatkan nilai cinta. Berislam dengan cinta, adalah beragama dengan semangat kasih sayang, dengan pesan moral dan kebijakan.[]
Munawir Aziz, Dosen dan Peneliti, Twitter: @MunawirAziz