Fatimah al-Daqqaqiyah atau Fatimah binti Abu Ali al-Daqqaq dilahirkan pada tahun 391 H di Naisabur. Perempuan yang juga dikenal sebagai al-Hurrah al-Daqqaqiyah ini adalah putri Imam Abu Ali al-Hasan al-Daqqaq, seorang ulama besar Naisabur yang menjadi rujukan para ulama pada masanya. Imam Abu ‘Ali juga merupakan seorang sufi yang menjadi guru Imam Abdul Karim al-Qusyairi.
Sebagai putri seorang ulama, Fatimah kecil belajar langsung ilmu-ilmu agama kepada ayahnya. Keistimewaan itu dimanfaatkan dengan baik olehnya, ia memiliki semangat belajar yang menggebu-gebu. Ayahnya juga memberikan pengajaran yang cukup intens kepadanya, mengingat Fatimah sendiri merupakan anak tunggal dalam beberapa tahun.
Fatimah al-Daqqaqiyah sering ikut serta dalam perjalanan dakwah ayahnya. Momen ini menjadi keistimewaan lain baginya yang tidak dimiliki oleh perempuan lain. Karena ia bisa memiliki kesempatan untuk bertemu banyak ulama dan belajar kepada mereka. Di antaranya adalah Abu Nu’aim al-Isfirayini dan Abu Abdurrahman as-Sulami.
Keistimewaan lain yang dimiliki oleh Fatimah al-Daqqaqiyah adalah ia diizinkan untuk meriwayatkan Hadis. Periwayatan hadisnya juga diakui oleh ulama, terbukti dengan banyaknya jalur periwayatan yang bersambung kepadanya, khususnya melalui jalur anaknya maupun cucunya. Sebagai contoh, sebuah jalur periwayatan yang terdapat dalam mukaddimah kitab Thabaqat as-Syafi’iyyah karya Imam as-Subki.
Dalam mukaddimah itu tertulis sebuah jalur periwayatan dari Abu al-As’ad Hibaturrahman bin Abdul Wahid bin Abdul Karim al-Qusyairi. Abu al-As’ad menyebutkan: ”Akhbaratna jaddati al-Hurrah Fatimah binti al-Ustadz Abi ‘Ali al-Daqqaq (Telah mengabarkan kepadaku nenekku, al-Hurrah Fatimah binti Ustadz Abu ‘Ali al-Daqqaq).”
Pernikahan dengan Imam Al-Qusyairi
Kekaguman Imam Abu ‘Ali al-Daqqaq terhadap Imam Abdul Karim al-Qusyairi membuatnya ingin menikahkan murid kebanggaannya tersebut dengan putrinya, Fatimah al-Daqqaqiyah. Keinginan tersebut dapat terwujud, Imam Al-Qusyairi bersedia memenuhi keinginan gurunya, mereka pun menikah. Para pengkaji masih memperselisihkan waktu pernikahan mereka, yakni apakah pernikahan tersebut berlangsung sebelum wafatnya Imam Abu ‘Ali atau sesudahnya.
Sungguh Al-Qusyairi dan Fatimah merupakah pasangan yang luar biasa. Keduanya sama-sama mewarisi kedalaman ilmu Imam Abu ‘Ali al-Daqqaq. Masing-masing juga memiliki kecerdasan dan semangat belajar yang tinggi. Hal ini juga didukung komitmen keduanya untuk saling mendukung satu sama lain untuk terus belajar. Mereka berdua juga menggantikan peran Imam Abu ‘Ali di madrasah yang didirikannya.
Sebagaimana saat masih bersama ayahnya, Fatimah al-Daqqaqiyah juga diberi keleluasaan oleh sang suami untuk bepergian dalam rangka menuntut ilmu. Selain menunjukkan kebijaksanaan dari seorang Imam Al-Qusyairi, hal itu beliau lakukan sebagai bentuk hormat kepada gurunya, Imam Abu ‘Ali al-Daqqaq.
Inilah yang kemudian membuat Fatimah tidak hanya menjadi sosok ibu, melainkan juga guru spiritual maupun intelektual bagi anaknya. Sehingga bukan hal yang mengherankan jika kelak keturunan dari pasangan ini juga mewarisi kehebatan ayah dan ibunya. Dalam pernikahannya dengan Imam Al-Qusyairi, ia dikarunai enam anak: lima laki-laki dan satu perempuan.
Imam as-Subki memberikan gelar kehormatan untuk Fatimah al-Daqqaqiyah. Gelar itu dapat ditemukan dalam biografi anak keturunan Imam al-Qusyairi dan Fatimah yang terdapat dalam kitab Thabaqat as-Syafi’iyyah. Yakni bintus sayyid (Putri sang baginda), sebagai putri dari Imam Abu Ali al-Daqqaq; zawjatus sayyid (Istri sang baginda), sebagai istri dari Imam al-Qusyairi, dan; ummus sadat (Ibu para baginda), ibu dari anak-anaknya yang nantinya juga menjadi ulama besar.
Demikianlah kisah perempuan hebat yang berada di tengah lingkaran para sufi besar. Perannya begitu besar dalam mentransmisikan keilmuan sang ayah, mendukung karir sang suami, serta mendidik anak-anak yang kelak melanjutkan perjuangannya. Fatimah al-Daqqaqiyah berusia cukup panjang. Ia wafat pada tahun 480 H saat berusia kurang lebih 89 tahun. (AN)