Musim haji telah usai. Tanggal 13 Agustus lalu adalah kepulangan haji terakhir. Di musim haji kali ini, orang tua saya berkesempatan berangkat ke tanah suci setelah menanti 10 tahun. Seharusnya berangkat tahun 2019. Namun karena di tahun itu kita semua dihantam pandemi, pemerintah menunda jadwal keberangkatan haji sampai situasi dan kondisi membaik.
Melalui tulisan ini saya ingin membagikan pengalaman tentang bagaimana melepas dan menanti orang tua yang sedang menunaikan ibadah di tanah suci.
Orang tua saya dijadwalkan berangkat pada 26 Juni 2022. Nahas menimpa bapak saya di awal Juni. Beliau kecelakaan lalu lintas saat hendak pergi manasik haji terakhir di Ciamis. Tidak seperti biasanya, bapak dan ibu memilih naik motor untuk bisa sampai ke kabupaten. Tidak terlalu jauh memang. Namun, tak disangka, keputusan ini membawa kemalangan bagi keluarga kami. Bapak harus dioperasi saat itu juga karena kaki bagian lutut patah. Bapak tidak bisa jalan.
Pertanyaan apakah jadi berangkat haji tahun ini atau tidak adalah pertanyaan yang ada di banyak anggota keluarga, teman, dan kolega kami. Bapak sempat pesimis. Tapi sejak sebelum operasi dokter menyarankan untuk berangkat. Sehingga layanan operasi, obat, dokter pun kami memilih yang terbaik. Targetnya dapat berangkat haji. Setelah operasi, bapak harus menggunakan jangka. Sedangkan untuk mobilitas jarak jauh bapak menggunakan kursi roda.
Saat itu, tekad bapak bulat untuk berangkat haji. Saya melihat tekad bapak sebagai obat penyembuh paling mujarab. Saya sempat melontarkan penundaan keberangkatan haji, namun hal ini ditolak bapak. Dukungan moral dari pemerintah dan kolega jadi penguat bapak untuk berangkat. Dalam hal ini panitia haji kabupaten mulai dari KBIH dan Dinas Kesehatan tidak melarang untuk berangkat. Mereka mendampingi bapak, mengurus hal-hal administratif seperti surat keterangan dokter. Artinya kondisi bapak tidak menggugurkan keberangkatan bapak ke Tanah Suci. Hanya saja pemerintah meminta penyandang disabilitas ini didampingi oleh keluarga atau siapa pun yang bertugas. Dalam hal ini status Ibu berubah menjadi pendamping bapak secara administratif.
Sebagai anak yang sudah terlatih memastikan berbagai fasilitas untuk kebutuhan kerja, saya langsung berburu informasi tentang keberangkatan haji orang berkebutuhan khusus, seperti hak dan kewajiban peserta haji. Saya download aplikasi haji dari Kementerian Agama. Salah satu hak yang akan didapatkan penerima haji adalah mendapatkan pelayanan khusus bagi jemaah haji penyandang disabilitas. Layanan apa sajakah yang dimaksud? Dari aplikasi tersebut saya tidak mendapatkan titik terang. Saya juga mencari nomor customer service Kementerian Agama, tapi tak saya dapatkan.
Pesismis dengan keterebukaan informasi layanan haji, saya langsung saja berburu informasi dari youtube dan google. Di youtube ditemukan beberapa review hotel bagi jamaah haji Indonesia, review bus khusus penyandang disabilitas milik pemerintah Arab, layanan kursi roda listrik untuk ibadah Tawaf dan Sai di Masjidil Haram. Sejak dua tahun yang lalu, Kepresidenan Saudi Arabia untuk Urusan Dua Masjid Suci, yakni Masjidil Haram di Mekah dan Masjid Nabawi di Madinah telah berkomitmen untuk menjadikan Makkah dan Madinah lebih inklusif. Sehingga berbagai fasilitas bagi penyandang disabilitas pun dibuat. Bagi penyandang disabilitas pendengaran telah disediakan kartu dengan tanda dan symbol untuk penutur non-Arab. Kartu petunjuk ini terdiri dari lima bahasa. Ada juga buku dengan huruf Braille bagi penyandang disabilitas netra. Sementara untuk jamaah disabilitas fisik disediakan kursi roda elektrik. Kursi roda elektrik ini dapat digunakan untuk beribadah Tawaf dan Sai.
Tempat salat untuk tiga jenis penyandang disabilitas pun disediakan. Ada akses ke tempat salat khusus bagi peyandang disabilitas fisik. Akses khutbah juru bahasa isyarat pun tersedia bagi penyandang disabilitas tuna rungu setiap hari Jumat. Tidak banyak media yang memberikan informasi ini, saya mendapatkannya dari sebuah liputan/berita di Tempo.
Saya lega karena Pemerintah Arab telah memiliki komitmen ini. Tapi jelas, saya meragukan komitmen pemerintah Indonesia. Untuk memastikan ini saya menghubungi customer service layanan haji Indonesia yang berada di Makkah langsung. Custemer servis ini gercep juga menjawab berbagai pertanyaan saya. Saya memastikan bus solawat milik Indonesia ramah difable atau tidak. Lalu memastikan layanan pendorong bagi difable yang menggunakan kursi roda. Tidak ada agen resmi yang menyediakan layanan pendorong kursi roda ini. Layanan ini datang dari perorangan. Muncul berdasar inisiatif pribadi saja. Tarifnya sekitar 200 real untuk melaksanakan ibadah Tawaf dan Sai.
Lagi, saya masih belum menemukan kepastian layanan akses difable Jemaah haji di Indonesia. Saya bertanya-tanya tentang bus apa yang digunakan oleh para Jemaah haji yang berangkat dari daerah khususnya Ciamis. Seumur hidup naik bus rasanya tidak pernah ada bus khusus difable di negara ini. Sarana transportasi yang berkomitmen untuk menyediakan layanan khusus yang ramah pun belum banyak. Pada tahun 2019 tercatat ada 23 layanan jasa transportasi yang berkomitmen untuk menyediakan transportasi yag ramah difable. Di antaranya adalah Perum Damri, Primajasa, dan Garuda. Tapi, saat orang tua saya berangkat dari Ciamis tidak menggunakan salah satu jasa transportasi itu.
Saya pun tidak mendapatkan informasi terkait akses inklusif di setiap asrama haji Indonesia. Informasi yang muncul ketika saya memasukkan kata kunci fasilitas haji untuk difable adalah baru berupa himbauan dari Kemenag untuk membangun asrama haji yang dapat diakses oleh para penyandang disabilitas.
Ketika sudah tidak mendapatkan informasi dari internet, saatnya bertanya langsung ke bapak dan ibu saya. Mereka ternyata tidak mendapatkan informasi pasti juga tentang pesawat apa yang akan menerbangkan mereka. Pun informasi hotel yang akan mereka tempati. Sungguh, mereka sangat percaya kepada panitia haji.
Semua kolega bapak serta keluarga yang pernah ke tanah suci mengatakan, “Berangkatlah!”. Mereka juga membagikan pengalaman dan beberapa tips yang bisa dilakukan di sana. Motivasi tersebut bekerja untuk orang tua saya, tidak untuk saya. Akal dan hati saya tetap saja menolak bapak untuk berangkat haji. Dalam hal ini orang-orang menggunakan keimanan dan kepasrahannya kepada Allah SWT, sementara saya menggunakan tolak ukur fasilitas yang tidak memadai bagi penyandang disabilitas saat ibadah haji. Sungguh nilai keimanan dan kepasrahan saya nol besar.
Bapak yang pensiunan PNS dan Ibu seorang guru PNS mengatakan kepada saya jangan suudzon sama pemerintah. Mereka pasti sudah menyiapkan segalanya. Saya malah ketawa mendengar ini. Lah, saya sudah bukan suudzon lagi sama pemerintah tapi ada di tahap tidak percaya sama pemerintah dari berbagai layanan apapun. Lah wong bantuan sosial bagi masyarakat aja di korupsi loh. Padahal kita semua sedang dalam kondisi darurat. Apalagi ini, dana masyarakat yang mengendap di pemeritah itu lama dan banyak.
Sesampainya di Tanah Suci, bapak dan ibu hampir setiap hari mengabari kondisi mereka di sana. Wajah bapak selalu terlihat segar, bahagia, dan tenang. Mereka pun mengabarkan banyak kemudahan yang didapatkan di sana. Kesehatan bapak semakin baik. Progress kesembuhan kakinya sangat cepat. Di sana bapak mulai bisa berdiri sendiri dan melakukan solat lebih tumaninah.
Wah senang sekali mendapatkan kabar ini. Doa kami terkabul. Doa saya semoga diberi kemudahan, kelancaran, dan dikelilingi orang-orang baik. Benar saja, bapak di sana bersama orang-orang baik. Bahkan para pendorong bapak yang dari Indonesia enggan mendapatkan imbalan. Susah payah sekali ibu saya memberikan imbalan kepada para pendorong tersebut.
Kita pasti sering mendengar kan di Tanah Suci kita akan mendapatkan imbalan atau gambaran tentang apa yang biasa kita lakukan sehari-hari di lingkungan kita. Bapak dan ibu saya adalah orang yang senang berbagi. Ikhwal bersodaqoh saya tidak mendapatan teori saja, tapi teladan langsung dari orang tua. Teladan ini saya lihat sejak kecil. Bahkan ketika SD saya selalu mendapatkan hadiah buku tulis karena juara tabungan dan juara kelas di sekolah setiap tahunnya, ibu menganjurkan untuk membagikan buku tulis tersebut ke tetangga yang membutuhkan. Tentu, setelah kebutuhan buku saya terpenuhi. Ya di kelilingi orang-orang baik dan kemudahan-kemudahan yang bapak ibu saya dapatkan, barangkali itu adalah bentuk kemurahan Allah kepada orang tua saya.
Kami juga menggelar ngaji rutinan setiap kamis malam untuk mendoakan orang tua yang sedang di Baitullah. Sekarang mereka sudah berkumpul lagi di rumah bersama saya dan keluarga lainnya. Bapak semakin sehat. Bahkan setelah bertemu dokter satu minggu setelah tiba dari Baitullah, dokter meminta bapak untuk melepas jangka. Bapak sudah bisa berjalan tanpa bantuan. Sekarang sudah dapat pergi ke masjid dan melakukan aktivitas domestik di rumah. Keimanan dan kepasrahan saya meningkat beberapa persen. Lumayan.