Kabupaten Boyolali merupakan sebuah kabupaten yang berada di kaki gunung Merbabu dan Merapi. Sebuah wilayah yang memiliki potensi agrikultur yang besar, mengingat Boyolali yang notabene berada pada wilayah dataran tinggi. Selain terkenal sebagai wilayah dengan produksi susu dan daging sapinya, Boyolali juga pernah dijuluki sebagai New Zealand van Java. Selain kedua hal disamping, Boyolali juga memiliki potensi alam di bidang pertanian, terutama pada komoditas tembakau dan sayur-sayuran.
Masyarakat agraris petani Boyolali punya cara yang lain daripada yang lain dalam memeriahkan bulan Muharam. Coba anda tanya orang di sekitar tentang bulan Muharam. Saya yakin anda akan mendengar banyak orang menganggapnya sebagai bulan angker dan mistis. Ditambah lagi, bulan Muharam dalam tradisi Jawa acapkali disebut dengan bulan Suro. Barangkali anggapan angker dan mistis ini makin kuat berkat film horor yang laris manis.
Bagi orang Muslim-Jawa, bulan ini memang memiliki keramat, namun dalam artian menyimpan berkah tersendiri dan mereka merayakannya dengan aneka tradisi. Seperti halnya yang dipahami oleh masyarakat kabupaten Boyolali, terutama di wilayah kecamatan Selo, terkhusus di kelurahan Senden.
Masyarakat desa Senden yang mayoritas beragama Islam menggelar satu acara yang saya lihat amat unik. Lain halnya dengan sebagian Muslim yang memaknai bulan Muharam sebagai momen berduka atas gugurnya cucu Rasulullah Sayyidina Husein, masyarakat Muslim Senden memaknai bulan ini sebagai bulan yang penuh riang gembira. Sebab, di bulan-bulan ini masyarakat petani berada pada fase panen tembakau. Tembakau memang menjadi salah satu komoditi pertanian utama yang digarap oleh warga desa Senden, walapun petani di wilayah kecamatan Selo tidak hanya terfokus pada tembakau saja, tapi juga pada komoditi sayur mayur lainnya.
Setiap menjelang panen raya tembakau masyarakat desa Senden menggelar syukuran atas apa yang telah diberikan oleh Allah SWT. Dalam proses tasyakuran ini masyarakat bersama tokoh adat atau pemuka agama melakukan ritual doa bersama di satu tempat dengan membawa makanan dari rumah. Hal ini sudah sejak lama dilakukan masyarakat Senden secara turun temurun dari generasi ke generasi. Tradisi ini oleh masyarakat disebut sebagai Tungguk Tembakau.
Dengan memakai pakaian tradisional, masyarakat lereng Gunung Merbabu ini dengan riang gembira untuk mengikuti dan menyaksikan ritual petik daun tembakau, sebagai tanda syukur atas hasil panen tembakau tiap tahunnya. Tradisi Tungguk Tembakau ini diawali dengan kirab budaya yang membawa hasil bumi dan gunungan tembakau, diiringi sejumlah kesenian tradisional, mengelilingi sepanjang jalan desa.
Masyarakat agraris desa Senden tak luput dari cengkeraman modernisasi. Selama 4 tahun terakhir ini, pelaksanaan tasyakuran telah disesuaikan dengan kehidupan modern, hal ini semata-mata untuk menyesuaikan tradisi untuk mampu bersanding dengan kehidupan masyarakat yang sudah serba praktis dan maju. Sehingga masyarakat tidak semerta-merta menganggap tradisi doa bersama dan makan bersama di satu tempat yang terbuka adalah hal yang kuno, namun dengan berbagai macam inovasi seperti pertunjukan kesenian, pelaksanaan jalan sehat, hingga pemberian hadiah bagi masyarakat merupakan bentuk kampanye menjaga tradisi terhadap kaum muda. Hal ini sejalan dengan prinsi al-muhafadhah ‘ala qadim al-shalih wa al-akhdzu bil jadid al-aslah, yang menjadi ciri prinsip Muslim di Nusantara dalam menjaga tradisi dan agama.
Menurut salah seorang penduduk yang saya temui, beliau berkata bahwa tradisi Tungguk Tembakau ini merupakan bentuk rasa syukur masyarakat Muslim kepada Allah SWT dan alam semesta. Selama satu musim tembakau ini, atas kehendak Allah SWT, alam dan lingkungan telah memberikan hasil yang dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat, dan ini disimbolkan dengan membawa makanan, disuatu tempat dan memanjatkan doa bersama.
“Iya mas, satu musim panen ini alam telah memberikan banyak sekali manfaatnya, dan dari situ sebagai sesama mahluk ciptaan Allah SWT. Kita patut bersyukur dan berterimakasih kepada alam”, Kata salah satu warga Senden yang saya temui.
“Jangan sampai, kita sebagai manusia yang memiliki kelebihan dibanding mahluk lain, hanya bisa mengambil banyak dari alam, tanpa memberikan tanda terimakasih”. Demikian lanjutnya.
Dari obrolan singkat yang saya lakukan dengan salah satu tokoh muda masyarakat desa Senden, saya sadar bahwa masyarakat sebenarnya sudah paham dengan konsep hablun min al-‘alam, dimana relasi kehidupan antara manusia dan alam semesta haruslah senantiasa dijaga keseimbanganya. Pada hakikatnya, manusia dan tumbuh-tumbuhan di lingkungan sekitar adalah sama-sama mahluk ciptaan.
Manusia memang mahluk ciptaan Allah yang paling sempurna, namun ia juga harus secara arif memposisikan diri secara seimbang dengan alam sekitarnya. Ali Syariati, dalam bukunya Tugas Cendekiawan Muslim, menyebutkan bahwa manusia adalah mahluk superior yang diciptakan oleh Allah SWT. Syariati menyebutkan bahwa hal yang menandai superioritasnya adalah kekuatan kemauan, kehendak atau iradahnya.
Lain halnya dengan hewan, manusia adalah mahluk yang mampu bertindak melawan dorongan instingnya. Sesuatu yang tidak dapat dilakukan oleh hewan maupun tumbuhan. Dengan sifat iradahnya, hanya manusia lah yang dapat menentukan sikap kehidupan. Ia dapat memilih menjadi jahat atau baik, rasional atau irasional, mau jadi seperti malaikat atau seperti hewan. Kehendak bebas ini merupakan sifat manusia terpenting dalam menjadi penghubung kedekatan kepada Sang Pencipta, dan idealnya sebagai khalifah pengelola bumi, manusia menggunakan iradahnya untuk bersinergi dengan alam semesta.
Saya membayangkan bagaimana kalau pemahaman relasi kehidupan antar sesama mahluk ini dapat dipahami sepenuhnya oleh manusia. Sebagaima yang disebutkan oeh Ali Syariati di atas bahwa pemahaman atas superioritas manusia dapat dikelola dengan baik. Terutama bagi masyarakat Muslim itu sendiri dalam mengelola alam semesta. Hal ini sangatlah menguntungkan bagi semua makhluk, dalam artian manusia menjaga alam dan alam memberikan kemanfaatan balik untuk manusia. Islam senantiasa selalu mengingatkan utuk sesama mahluk saling menjaga, merawat demi keberlangsungan kehidupan keduanya.
Al-Quran telah memberikan peringatan kepada manusia agar senantiasa menjaga alam. Telah banyak yang Alllah SWT firmankan dalam kitab suci, salah satunya terdapat dalam QS. Surat Al Baqarah ayat 205. Untuk itu sebagai mahluk yang menyandang gelar khalifah di muka bumi tentulah berkewajiban untuk selalalu menjaga alam. Dalam hal ini menghormati, memberikan ucapan terima kasih kepada alam, dan merawat alam adalah bagian dari menjaga keseimbangan kehidupan. Sebagaimana halnya masyarakat desa Senden dengan tradisi Tungguk Tembakau mereka.