Tantangan saat ini datang dari media sosial dan transformasi digital yang semakin masif. Kanal-kanal publik yang semakin luas membuka ruang terhadap narasi-narasi intoleran yang bersifat halus dan bahkan seringkali tak disadari.
“Saat ini narasi intoleransi ataupun cara beragama yang keras tidak selalu menggunakan nama-nama Islami. Sering kali justru menggunakan nama-nama yang lucu dan imut,” tutur Kalis Mardiasih, peneliti dari Jaringan Nasional Gusdurian dalam Pra-Konferensi INFID bertajuk ““Sikap dan Pandangan Generasi Z dan Millenial di Indonesia terhadap Toleransi, Kebinekaan, dan Kebebasan Beragama.” (
Kampanye dan mobilisasi kesadaran religi tersebut memanfaatkan sentimen dan emosi sehari-hari seperti perasaan keterpinggiran, kesulitan ekonomi, enklav rasial, enklav religi ataupun perasaan sulit jodoh. Kalis melihat, kegalauan-kegalauan itu banyak dialami anak-anak muda.
“Pesan peperangan, pesan patriarkal, ataupun ajaran diskrimitatif disampaikan tanpa terlihat demikian, sehingga isinya sulit dikenali. Terlebih, piranti berpikir kritis adik-adik kita masih banyak yang perlu dioptimalkan,” pungkas Kalis.
Pendalaman intoleransi, radikalisme dan diskriminasi di era digital muncul dari pola konsumsi informasi di ruang gema (echo-chamber), di mana media sosial seseorang berisi konten-konten yang memuaskan rasa kecintaan, kecemasan dan kebencian seseorang pada suatu hal, sehingga ekstrimisme perasaan ataupun sikap rentan muncul.
Dwi Rubiyanti Kholifah, Direktur Eksekutif AMAN Indonesia, melihat bahwa apa yang terjadi pada pola konsumsi media di kalangan anak muda adalah bagian kecil dari kompleksitas lebih besar yang mereka alami di dunia nyata.
“Tantangan anak muda muncul bukan hanya soal ekstremisme dan intoleransi melainkan jika kita melihat kondisi di dunia maka kita bisa lihat bahwa anak muda kita saat ini tengah menghadapi banyak hal yang kompleks, mulai dari isu kemiskinan, hingga HIV/AIDS, sehingga sebenarnya kita tidak bisa melihat persoalan anak muda hanya dari satu sisi saja,” tegas Rubiyanti.
Berkaca dari beberapa pemilu yang telah dilakukan di tahun-tahun sebelumnya, anak muda dan sentimen kehidupannya sering dilibatkan dalam permainan elektoral. Di Amerika, Eropa, dan Indonesia, tren memainkan sentimen anak muda terjadi dengan variabel identitas yang berbeda, namun memiliki pola pecah-belah dan pola radikalisme yang sedikit banyak mirip.
Merespon kerentanan anak muda di jagat maya dan nyata, Rubiyanti menggarisbawahi pentingnya peran ruang perjumpaan antar identitas yang berbeda, khususnya dari generasi muda.
“‘Youth, peace and security’ dapat diterapkan sebagai bingkai pelibatan anak muda, karena anak muda adalah mata rantai aktif yang menentukan apakah perpecahan dari generasi sebelumnya berlanjut atau tidak,” ujar Rubi.
Keluarga juga dinilai sebagai pemain kunci yang mampu membentuk sikap-sikap toleran pada generasi muda.
“Ruang terkecil untuk membangun toleransi, kebinekaan dan kebebasan beragama dapat dimulai dari keluarga. Kunci utamanya ada di dialog, empati pada orang lain, tradisi saling mendengarkan, dan mau memahami orang dari latar, kelas, suku, agama yang berbeda. Kalau kita bisa menumbuhkan ini, dampaknya bagi dunia nyata dan dunia digital mungkin besar,” kata Andre Notohamijoyo, Asisten Deputi Mitigasi Bencana dan Konflik Sosial Kemenko PMK. (AN)