Segala hal di dunia ini akan mengingatkanmu pada sesuatu yang paling kau cintai. Demam Joji belakangan ini tentu membuat segenap insan perbucinan mafhum. Munculnya lagu ini ternyata mendapat sambutan yang cukup gempita dari publik. Tapi apakah lagu yang easy listening ini hanya demikian maknanya? Alias banyak yang merasa related karena lagu gubahan George Kusunoki Miller ini menjadi reminder terhadap dia yang telah berlalu menginggalkanmu.
Tulisan ringkas ini hendak mendekonstruksi makna The Glimpse of Us biar lagu ini bisa diputar bebas di manapun berada. Sekedar untuk menikmati suatu seni, bil khusus buat kamu, para cowok, agar ndak perlu sembunyi-sembunyi lagi.
Sebelum lanjut membaca, tulisan ini dapat disimak sambil mendengar lagunya, sila!! Tentu ini baru bisa terjadi jika kamu bukan orang yang mengharamkan musik. Karena tulisan ini juga dibuat sambil mendengarnya.
Secara garis besar maksud lagu Joji ini memang tidak lepas dari masa lalu, cintanya. Tetapi seni tidak bisa dibatasi hanya pada maksud pengarang. Interpretasi penikmat seni memiliki peran yang tidak kalah besarnya. Sebagus apapun kesenian, karya, dan sebagainya di tangan penikmat yang tidak kompeten ia hanya akan jadi angin lalu. Demikian menurut Ricoeur dalam Time and Narrative-nya bahwa suatu karya butuh pembaca atau penikmat yang kompeten untuk bisa sepenuhnya merasakannya.
Dalam kasus Joji ini, karena Muslim juga mendengarkan karyanya, maka subjektifitas seorang Muslim tentu dapat mempengaruhi outcome pemaknaan. Sementara si Joji tidak tahu menahu terkait keislaman, maka meminjam terminologi Derrida, tafsir seorang Muslim atas lagu Joji merupakan dekonstruksi makna. Di mana subjek penerima lebih kompeten dalam satu hal dibandingkan dengan subjek pemberi.
Pendeknya sah-sah saja seorang pembaca, penikmat, penerima, merasakan suatu yang diterimanya melalui penafsiran tersendiri meskipun itu melampaui apa yang dikehendaki penulis, seniman, atau pemberi. Kita sudah biasa saja kan memberi cinta namun dianggap teman biasa? Kan?
Kembali pada Joji, memaknai lagunya secara Qurani mungkin terlalu jauh bagi sebagian orang. Bahkan boleh jadi akan ada yang mengharamkan. Bagaimana bisa Al-Qur’an disejajarkan dengan lagu karya kafir non-Muslim. Tentu tulisan ini bukan bermaksud menyejajarkan yang suci-sakral dengan yang bercela-profan. Justru tujuan ditulisnya ini adalah untuk reminder (baca:dzikr) agar ingatan kita tidak terjebak pada yang profan semata.
Haishh… Mari mulai! Iya, lagunya mulai dari awal lagi ya!! Heheu.
She’d take the world off my shoulders / If it was ever hard to move // She’d turn the rain to a rainbow / When I was living in the blue // Why then, if she is so perfect / Do I still wish that it was you?// Perfect don’t mean that it’s working / So what can I do? //
Kesempurnaan dan keindahan apapun itu tidak akan memalingkan kita dari yang benar-benar kita cintai. Pada bait ini justru yang terbayang di benak adalah sebuah pertanyaan. Benarkah kita benar-benar sudah mencintai-Nya hingga pada titik kita melihat pelangi dan aurora justru yang kita ingat hanya Dia? Lihat Ali Imran: 14, sedemikian dunia diperlihatkan sangat menarik hati, tetapi lagi-lagi tempat kembali (baca: rumah) yang terbaik hanyalah Allah SWT. Apa yang bisa kita perbuat jika sudah begini?
When you’re out of sight / In my mind //
Sejak turun di dunia ini manusia tidak lagi bisa melihat Allah SWT secara langsung, kita hanya dapat merasakan dan memikirkan. Lihat al-Mulk: 23, bahwa Dia yang menciptakan untuk kita pendengaran dan penglihatan di mana keduanya berujung pada hati untuk merasakan, tetapi hanya sedikit dari kita yang bersyukur, sedikit dari kita yang merasakan hadir-Nya.
Oleh karenanya pernyataan afala ta’qilun sampai diulang 13 kali dalam Al-Qur’an. Bahwa apapun yang kita pikirkan jika tidak mengantarkan pada perasaan menuju-Nya, maka akal kita bertaut bukan pada pemiliknya. Ketika Dia tidak dapat kita lihat, namun tetap ada dalam pikiran.
‘Cause sometimes I look in her eyes / And that’s where I find a glimpse of us //
And I try to fall for her touch / But I’m thinking of the way it was //
Said I’m fine and said I moved on / I’m only here passing time in her arms / Hoping I’ll find / A glimpse of us //
Lihat Ali Imran: 191 dan Fushilat: 53, bahwa tujuan penciptaan semesta tidak lain adalah agar kita berpikir dan mengingat-Nya agar jelas yang hakikat dari segala adalah Dia.
Tetapi apakah cinta kita sudah sampai taraf ini untuk Dia yang selalu membersamai? Bukankah dunia menyentuh kita dan kita larut di dalamnya, terlupa bagaimana hati merasakan bahagia mengingat-Nya.
Dan kita benar-benar moved on dari-Nya, ingin hidup kekal selamanya, sehat, sejahtera, membenci pertemuan dengan-Nya, membenci mengingat kematian, sepenuh waktu bersandar pada dunia yang kita anggap rumah, tanpa pernah mengharapkan bertemu dengan ingatan akan-Nya.
Tell me he savors your glory / Does he laugh the way I did? //
Is this a part of your story? / One that I had never lived //
Maybe one day you’ll feel lonely / And in his eyes, you’ll get a glimpse //
Maybe you’ll start slipping slowly / And find me again //
Pernahkah kita benar-benar menikmati apa yang kita genggam jika kita tak mampu sadari bahwa itu dari-Nya, mensyukuri apa yang ada. Ataukah senyuman dunia lebih memikat dibandingkan dengan Dia yang selalu sabar memaklumi setiap polah kita? Dia Maha Penyabar tentu lebih sabar dari senyum ibu yang melihat anaknya bertingkah ini itu.
Siapapun di dunia ini hanya mengetahui sebagian dari kita, kecuali diri kita sendiri dan Dia. Adakah kita menciptakan ruang besar di hati untuk yang hanya tau sebagian, atau untuk-Nya yang selalu bersedia memaafkan?
Dan mengapa terkadang hati selalu merasa terasing, mencari-cari sesuatu yang hilang? Adakah benar pernyataan Syekh Abdul Qadir al-Jilani yang bilang bahwa itu pertanda rindu hati kita terhadap-Nya? Jika kita lihat al-Naba’: 39, bagi siapa pun yang menghendaki menuju-Nya, Dia kalamkan, selalu ada tempat kembali.
Demikian, Joji dan dunia, kita dan Dia. Kalau lagunya belum selesai bisa dilanjutkan, tapi jangan lupa ngaji hari ini.