Apa barang bawaan calon jemaah haji paling sering bermasalah? Bahan makanan adalah satu dari sekian banyak muatan dalam tas para jemaah haji yang kena razia dari para petugas. Bahkan, sebagian jemaah haji ada yang membawa beberapa peralatan dapur, seperti cobek. Apa alasan mereka? Kita yang belum berangkat haji mungkin mempertanyakan urgensi tersebut.
Saya pernah mendengar cerita soal perbincangan alot antara Kyai saya dan petugas pemeriksa barang bawaan calon jemaah haji, terkait bahan makanan dan peralatan dapur yang dibawa Kyai saya. Argumen Kyai saya terkait barang bawaannya tersebut adalah jemaah haji itu perlu tenaga, dan menurutnya itu diberikan oleh makanan.
Mungkin jawaban Kyai saya itu tidak mewakili argumen seluruh jemaah haji. Tapi, makanan dalam prosesi haji memiliki banyak cerita dan kompleksitas yang tak kalah rumit dari benang kusut. Cerita soal makanan haji bisa kita mulai dari menelusuri urgensi barang bawaan yang terkait makanan dan peralatan dapur tersebut. Selain dalih tenaga, alasan kejemuan terhadap makanan yang tersedia di tanah Suci tersebut sebenarnya cukup populer di kalangan jemaah haji.
Sebelum ada pengaturan catering di Mekah dan Madinah, dulu jemaah haji harus mengurus makanan mereka sehari-hari secara mandiri. Jelas kondisi ini menuntut banyak uang dan menyita waktu, terlebih juga sangat tidak praktis. Berhadapan dengan kondisi tersebut, sebagian besar jemaah haji kemudian memutuskan untuk membawa beberapa jenis rempah dan peralatan dapur.
Keputusan tersebut tentu melahirkan banyak cerita. Seorang ulama pernah diajak serta makan bersama beberapa jemaah haji yang dibimbingnya. Menunya saat itu hanyalah ikan asin yang dimasak khas Kalimantan Selatan. Mereka pun makan dengan sangat lahap karena kerinduaan yang membuncah pada makanan yang biasa disantap saat di tanah air, dapat dinikmati di tanah suci dan kerinduaan akan santapan khas masyarakat Banjar.
Selesai makan, mereka pun berangkat bersama untuk salat Jumat. Beberapa saat setelah selesai, sang Kyai menggamit seorang jemaah yang mengajaknya makan tadi, untuk mengajaknya segara pulang ke kediaman mereka. Mereka pun pulang. Rupanya kyai tersebut masih ingat dengan sisa ikan yang disantap tadi. Takut dibuang karena hanya tersisa bagian kepala saja, Kyai tersebut pun mengaku masih terbayang dengan ikan tersebut saat salat jumat.
Pernah juga, seorang saudagar kaya berangkat haji tanpa membawa bahan makanan dan peralatan dapur tersebut. Dia bersama istrinya memutuskan untuk keperluan makan dengan membeli di sekitar tempat tinggal atau masjid saja. Setelah seminggu sejak tiba di tanah suci, si saudagar dan istrinya tersebut mulai merasakan kebosanan atas menu makanan yang dijajakan di sana.
Bayangkan, menu makanan di tanah suci yang cukup kental dengan warna Timur Tengah dan Asia Selatan tentu sangat tidak familiar di lidah kita dari Asia Tenggara ini. Terlebih, porsi makanan mereka jauh lebih banyak yang tentu menambah kesulitan kita untuk beradaptasi. Akhirnya, sang istri saudagar itu pun sakit karena kurang makan.
Ketika mencium bau makanan dari salah satu dari sesama jemaah haji memasak menu khas Banjar, sang istri saudagar pun sangat ingin menyantapnya. Sang saudagar pun mau tidak mau harus mengikuti keinginan istrinya, dan meminta makanan tersebut pada jemaah yang memasaknya. Istri saudagar itu langsung memakan dengan lahap, bahkan nafsu makannya langsung pulih dan dapat langsung beraktivitas seperti sedia kala.
Beragam cerita, seperti kisah di atas, terkait dinamika memasak di kalangan jemaah langsung berubah, pasca pemerintah Indonesia memberlakukan sistem katering untuk memenuhi keperluan makan jemaah haji. Niat baik pemerintah Indonesia menjamin makan seluruh jemaah demi kenyamanan beribadah di tanah suci tentu harus mendapatkan penghargaan.
Namun, beragam kisah dan pengalaman di atas langsung berubah ketika Negara hadir lewat pelayanan katering. Layanan ini menjadi babak baru dalam hal makanan di musim haji. Pemerintah mulai memberikan makanan lewat model katering kepada seluruh jemaah haji, disebut ingin permasalahan makanan yang dilihat sebagai sesuatu yang menyita waktu beribadah mereka. Ditambah larangan memasak di kamar hotel yang disewa Pemerintah juga turut mewarnainya.
Menariknya, pasca kehadiran katering bagi jemaah haji, persoalan barang bawaan berupa bahan makanan dan peralatan dapur masih saja terjadi. Mungkin alasan “ketidaktahuan” para calon jemaah haji selalu dikedepankan. Padahal, jika kita melacak banyak cerita dikisahkan saat kepulangan jemaah haji adalah soal makanan.
Jadi, makanan adalah hal yang unik dalam seluruh proses haji. Ia bukan hanya soal penambah energi, sebagaimana disebutkan oleh kyai saya, namun di sana banyak cerita yang terselip di dalamnya. Katering mungkin menyelesaikan permasalahan waktu, namun di saat bersamaan ia belum menjadi jawaban yang tepat untuk “kerinduan” atau “selera” yang beragam di seluruh jemaah. Semoga pemerintah dapat mengambil “Jalan Tengah” di antara tarikan soal makanan di musim haji.
Fatahallahu alaina futuh al-arifin