Peristiwa teror yang terjadi di Sarinah, Thamrin pada Kamis, 14 Januari lalu menjadi peringatan kalau ancaman terorisme tidak benar-benar surut, hanya berganti nama dan afiliasi. Setelah Alqaeda dan Jamaah Islamiyah, kini muncul Islamic State of Iraq and Syiria (ISIS). Kemudian di Indonesia, organisasi internasional ini berafiliasi dengan beberapa sel atau kelompok teroris, seperti Mujahidin Indonesia Timur.
Secara organisasi, sel atau kelompok yang berafiliasi dengan Alqaedah atau Jabhat Al Nusra di Suriah dengan kelompok yang berafiliasi dengan ISIS, memang berbeda. Namun secara ideologi dan cita-cita dalam penegakan khilafah islamiyah memiliki kesamaan. Salah satunya adalah motif yang melatarbelakangi aksi terorisme ini sama-sama dipicu oleh pemahaman jihad yang keliru. Seperti dalam penelitian penulis tentang pemahaman jihad Tim Ightyalat Klaten.
Konsep jihad yang mereka pelajari berkaitan dengan perang melawan orang kafir. Kemudian Tim Igthyalat ini menganggap pemerintah Indonesia dan aparat penegak hukum sebagai thaghut yang harus diperangi. Pemahaman ini kemudian dijadikan alasan untuk melakukan aksi terorisme. Roki Aprisdianto sebagai pimpinan kelompok mengumpulkan teman-temannya untuk mengamalkan konsep jihad yang mereka pelajari. Kemudian kelompok ini dibentuk untuk dijadikan tim Ightiyalat, yaitu jihad membunuh dengan cara sembunyi-sembunyi di wilayah Klaten. Tujuannya adalah melakukan pembunuhan secara diam-diam terhadap orang yang mereka anggap kafir.
Kasus ini merupakan bukti nyata kalau proses ideologisasi yang dilakukan kelompok teroris di Indonesia masih berjalan massif. Penangkapan dan pelumpuhan sel jaringan teroris besar seperti Saefudin Zuhri, Azhari, Noordin M Top, ternyata tidak serta merta memutus rantai ideologi teror yang meresahkan itu. Munculnya kelompok baru, seperti jaringan Alqaeda Indonesia, HASMI, Tim Hisbah Solo, Tim Iqhtiyalat Klaten, Mujahidin Indonesia Timur pimpinan Santoso, dan terakhir adalah beberapa organisasi yang menyatakan baiat pada ISIS, merupakan fakta yang harus disikapi.
Secara organisasi dan jaringan beberapa kelompok ini berbeda, akan tetapi secara ideologi sama-sama kerap mengkafirkan kelompok lain yang dianggap tidak sepaham.
Dari fakta ini, setidaknya ada dua hal yang perlu ditekankan dalam penanggulangan terorisme di Indonesia. Pertama, penanganan terorisme tidak cukup hanya dengan melakukan penangkapan dan penindakan hukum, namun juga harus ada upaya preventif agar ideologi teror ini tidak menyebar dan berkembang biak. Kedua, penanganan terorisme harus menyentuh akar persoalannya, yaitu memutus ideologi dan pemahaman jihad menyesatkan yang dikembangkan oleh kelompok takfiri ini.
Dua hal ini harus sinergi dan segera dilakukan agar kita dapat memutus ideologi teror. Pasalnya, saat ini untuk mendapatkan pemahaman dan terpapar ideologi terorisme tidak perlu jauh-jauh datang ke markas ISIS di Suriah.
Kita dengan mudah dapat menemukan ide-ide dan propaganda terorisme di internet. Bahkan, ceramah agama yang mengobarkan kebencian dan pemahaman jihad yang keliru kerap menghiasi ruang-ruang publik. Karena itu, perlu terobosan-terobosan baru dalam upaya preventif agar pemahaman agama dan jihad yang keliru tidak menyebar luas, khususnya bagi generasi muda yang masih labil.
Selain itu, karena penyebaran ideologi kekerasan yang mengarah pada aksi teror ini berkembang luas, laten, dan lebih cepat dari yang diduga, maka peran tokoh agama sangat signifikan dalam memutus ideologi teror ini.
Dalam konteks ini, para tokoh agama harus berperan lebih aktif melakukan upaya-upaya preventif yang lebih nyata, tidak hanya terjebak pada kegiatan yang bersifat seremonial. Karena yang kita hadapi saat ini adalah kelompok teror yang propagandanya massif, baik melalui halaqoh-halaqoh yang sifatnya tertutup, door to door melalui pertemanan, kekerabatan, bahkan melalui media internet.
Tokoh agama memiliki peran strategis untuk memberikan pencerahan, khususnya bagi remaja agar tidak mudah terjebak oleh doktrin keagamaan yang kerap dijadikan pembenar dalam melakukan aksi teror.
Sekali lagi, dalam hal ini tugas tokoh agama adalah menjadi benteng pemahaman umat, terutama generasi muda agar tidak mendapat input-input agama dan pemahaman jihad yang keliru. Sekaligus memotong proses ideologisasi ini agar tidak berkembang, dan merajalela.[]
Abdul Aziz adalah pegiat Peace Bulding. Penulis buku Terorisme: Aku Tahu, Aku Hindari (2012).