Islam sebagai agama (kepercayaan dan keyakinan yang memberikan petunjuk pada asas kebenaran) yang komprehensif telah memandu umat manusia secara aktual mengikuti perkembangan zaman yang dituntun melalui Al-Qur’an dengan memberikan kemerdekaan kepada pemeluknya, dalam istilah Mohammad Arkoun sebagai tindakan sukarela dalam menyandarkan diri kepada Allah dan merasakan getaran cinta.
Sebuah kebanggaan menjadi manusia yang ditakdirkan beragama Islam, agama paripurna) sebagai pedoman hidup untuk memperoleh kebahagian dunia dan akhirat. Islam tidak hanya sebatas simbol keyakinan dan spritual, melainkan simbol kemerdekaan dan cinta, terukhusus bagi kalangan perempuan yang status kemanusiaannya terangkat setara dengan laki-laki sejak pertama diproklamirkan oleh baginda Nabi Muhammad SAW.
Makna Islam sejatinya adalah kepatuhan dan kepasrahan kepada Allah dengan segenap jiwa dan raga, maka aktualisasi nilai keislaman bagi seorang perempuan dalam kehidupan sehari-hari seharusnya bersifat mutlak.
Keislaman perempuan yang seharusnya teraktualisasi kembali dengan meniru seorang sahabiyat bernama Ummu Sulaim, perempuan cantik yang memiliki keteguhan jiwa, ketulusan dan keikhlasan ketika menerima dan beragama Islam di tengah badai keluarga jahiliyahnya.
Ketika memantapkan keyakinan masuk Islam, suaminya telah menuduhnya sebagai kafir. Sebagai perempuan tegas, ummu sulaim menjawab dengan lantang, “Aku tidak musyrik tetapi aku telah beriman.”
Sikap tegasnya juga ditunjukkan ketika menolak lamaran Abu Thalhah yang saat itu masih kafir, seraya berkata: “Tidak pantas orang yang sepertimu akan ditolak wahai Abu Thalhah. Akan tetapi engkau seorang kafir sedang aku seorang Muslimah. Tidak pantas bagiku menikah denganmu. Aku tak ingin emas dan perak. Akan tetapi aku hanya inginkan islam darimu.” Bahkan Rasullullah bersabda “Aku belum pernah mendengar seorang wanita mana pun yang lebih mulia maharnya dari Ummu Sulaim karena maharnya adalah islam,” (Sunan Nasa’i VI/114).
Nilai keislaman yang diperlihatkan Ummu Sulaim memberikan penegasan bahwa perempuan yang berpegang teguh pada nilai-nilai keislaman akan dipandang terhormat dan bermartabat dan terhindar dari stigma buruk dan tindakan diskriminatif lainnya. Sehingga Islam sebagai simbol kesetaraan gender tidak perlu dicari titik celahnya, terlebih dikaitkan dengan status biologis yang memang tercipta secara berbeda.
Maka sudah saatnya kalangan perempuan berani mengambil sikap tegas untuk sebuah kebenaran, janganlah sampai menukar kebahagiaan hakiki dengan kebahagiaan sesaat, berpeganglah pada Islam sebagaimana yang dicontohkan Ummu Sulaim dengan mengabaikan nikmat-nikmat duniawi dan memilih bertahan pada Islam.
Dari nilai-nilai inilah, perempuan benar-benar setara dan akan dipandang sebagai perempuan yang memiliki kehormatan seperti penggambaran Al-Qur’an dalam QS. Al-Hujurat: 13
يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْا ۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْ ۗاِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ ١٣ ( الحجرٰت/49: 13)
Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan. Kemudian, Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Mahateliti. (Q.S Al-Hujurat/49:13)
Kedudukan laki-laki dan perempuan di sisi Tuhan adalah setara. Kemuliaan di sisi Tuhan bukan karena jenis kelamin, melainkan karena perbuatan manusia itu sendiri. (AN)