Perlu diingat bahwa dalam hukum Islam (fikih) tidak dikenal istilah “LGBT”. Baik secara bahasa (lughatan) dan terminologi (syar’an), LGBT tidak dikenal dalam kitab-kitab fikih. Namun seringkali “LGBT” diterjemahkan dalam bahasa Arab sebagai “al-mitsliyyah al-jinsiyyah” (homoseksual). Istilah ini tidak populer dalam kitab-kitab fikih. Istilah “al-liwath” lebih sering digunakan untuk perbuatan seks sejenis (sodomi) dan pelakunya disebut “luthi”, mengacu pada Nabi Luth dan kaum Sodom yang dikisahkan dalam Al-Qur’an.
Ada tiga kategori penting dalam merumuskan fatwa hukum Islam mengenai LGBT: anatomi seksual, orientasi seksual, dan perilaku seksual. Tiga masalah ini dapat memberi kesimpulan fatwa yang berbeda. Namun pada tulisan ini, saya hanya akan membahas mengenai orientasi seksual (lesbian, gay, dan biseksual) dan perilaku seksual.
Hukum Islam (fikih) secara umum hanya mengatur perilaku manusia. Yang jika kita terjemahkan dalam konteks ini, maka fikih hanya mengatur perilaku seksual dari LGBT. Suatu perilaku seksual dihukumi halal jika berdasar pada salah satu akad: akad nikah dan akad perbudakan—yang kedua sudah tidak dijumpai lagi. Hubungan seksual yang tidak berdasar pada akad tersebut hukumnya adalah haram (zina). Akad nikah sesama jenis dalam Islam adalah tidak sah. Sehingga tidak ada celah untuk menghalalkan hubungan seksual sesama jenis.
Sekali lagi perlu digarisbawahi: fikih mengatur perilaku seksual. Lesbian, gay, dan biseksual adalah orientasi seksual. Transgender adalah anatomi seksual. Orientasi seksual tidak mesti terlibat langsung dalam “perilaku seksual” yang dilarang, sama seperti seorang heteroseksual yang tidak serta-merta melakukan zina.
Sesuai dengan ruang lingkup fikih, orientasi seksual itu tidak dapat dihukum, karena bukan merupakan perilaku namun terdapat dalam pikiran. Misalnya, orang berhubungan badan ketika puasa maka puasanya batal, namun kalau hanya memikirkan soal hubungan badan maka tidak batal. Memiliki perasaan suka pada sesama jenis, selama tidak terlibat dalam perilaku seksual, maka tidak menjadi objek hukum Islam.
Orientasi seksual merupakan takdir bawaan lahir. Banyak ahli mengatakan bahwa orientasi seksual bukanlah sebuah pilihan dan tidak dapat diubah. Seseorang yang merasa ia menjadi gay atau lesbian karena pengaruh lingkungan, bisa jadi ia adalah biseksual sejak lahir. Sama seperti ketika seorang yang mengklaim ia gay atau lesbian kemudian mengaku “sembuh”. Seorang heteroseksual tidak akan bisa menjadi homoseksual, begitu sebaliknya. Memaksa mengubah orientasi seksual seseorang justru dapat menyebabkan kerusakan—baik mental maupun fisik—pada orang tersebut. Banyak orang yang belum mengerti hal ini.
Jika seseorang ditakdirkan memiliki orientasi seksual yang “berbeda” dengan orang pada umumnya, namun tidak pernah melakukan hubungan seksual yang dilarang, maka seorang Muslim tidak boleh mengucilkannya. Sebab jika sudah ditakdirkan seperti itu, manusia tidak bisa berkehendak apa-apa. Bahkan seorang LGBT yang selalu menjaga diri selama hidupnya dapat dinilai sebagai jihad fisabilillah.
Dikisahkan oleh K.H. Bahauddin Nursalim, yang akrab dengan sapaan Gus Baha bahwasanya pernah suatu ketika seorang LGBT meninggal dunia kemudian masyarakat tidak mau mengurus jenazahnya. Sehingga hanya ibunya sendiri yang mengurus hingga menguburkan jenazahnya. Kemudian Allah mengutus salah seorang wali abdal untuk mensalati orang tersebut. Secara tidak langsung, Allah menerima jenazahnya melalui utusan wali abdal.
Pesan moralnya, dalam membuat sebuah fatwa yang komprehensif dan manusiawi, fikih perlu membuka diri dan tidak memvonis mentah-mentah halal dan haram. Masalah LGBT lebih rumit dari soal haramnya sodomi atau legalitas pernikahan sesama jenis.
Seseorang yang mempunyai perasaan suka pada sesama jenis, namun selalu menjaga dirinya dan tidak pernah melakukan hubungan seksual terlarang, maka wajib dihormati oleh seorang Muslim. Inilah akhlak kita sebagaimana diteladankan oleh Nabi Muhammad, sang pembawa cahaya yang mengeluarkan kita dari zaman kegelapan, dengan risalah Islam rahmatan lil alamin. (AN)