Imam Jalaluddin al-Mahalli [W 864 H] dalam “Kanzu al-Raghibin” mengomentari [syrh] “Minhaj al-Tholibin” yang ditulis Muhyiddin Yahya bin Syaraf al-Nawawi [W 676] membagi pendapat ulama dengan 12 kategori berdasarkan kualitas/bobot pendapat tersebut, yaitu: “al-adzhar” [lebih jelas/terang], “al-masyhur” [populer], “al-qadim” [pendapat lama], “al-jadid” [pendapat baru], “fi qaulin” [dalam satu pendapat], “fi qaulin qadim” [dalam satu pendapat lama], “al-asoh” [lebih sahih], “al-sahih” [sahih], “al-nash” [dalam satu nash], “al-madzhab’ [dalam satu madzhab] —- Jika dianggap perlu lain kali akan dijelaskan satu-satu, insya Allah.
Enam kategori pertama ditunjukkan untuk menilai pendapat-pendapat al-Syafii, sedangkan sisanya untuk menyebut beragam pendapat ulama pengikut al-Syafii [ashab al-Syafii]
Jika pendapat [qaul] al-Syafii itu mapan dan kokoh [didukung dalil-dalil yang kuat], maka disebut “qaul al-adzhar”. Jika kualitas dan bobotnya lebih rendah maka cukup dikatakan “masyhur”. Jika perdebatan di antara pengikut al-Syafii itu kuat disebut “al-asah”, namun kalau biasa-biasa saja dikategorikan “sahih”.
Ini menunjukkan, al-Syafii saja mempunyai banyak pendapat [al-aqwal]. Masing-masing pendapat memiliki dimensi dan gradasinya sendiri-sendiri. Juga ketika pendapat-pendapat itu dipahami oleh pengikut-pengikut al-Syafii akan memunculkan banyak pendapat pula [al-awjuh].
Oleh kalangan NU — komunitas yang biasa bergumul dengan kitab kuning — perbedaan pendapat itu disikapi dan diperlakukan wajar-wajar saja. Bahkan, dalam konteks Ijtihad, semuanya dianggap benar.
“Barangsiapa berijtihad dan ijtihadnya benar, ia mendapat dua pahala. Dan barangsiapa berijtihad dan ijtihadnya salah, ia mendapat satu pahala,” begitu kata Nabi SAW. Benar-salah dalam ijtihad sama-sama mendapat bonus pahala.
Orang NU dalam melihat sesuatu tidak dengan kaca mata kuda. Mereka bisa meminjam dan menggunakan beragam kaca mata untuk melihat keragaman realitas ini. Bagi mereka perbedaan pendapat itu rahmat bukan laknat.
Karena itu, dalam menilai al-Maidah 51, misalnya, orang NU aseli tidak kagetan menyikapi perbedaan penafsiran atas ayat tersebut. Ada kubu Kiai Miftahul Akhyar. Juga kubu Kiai Ishomuddin. Semuanya bisa diikuti.
Yang kagetan itu orang-orang non-NU yang tidak terbiasa dengan perbedaan pendapat. Mereka umumnya tidak tumbuh dalam tradisi bermadzhab, bahkan anti-madzhab. Mereka memotong tradisi intelektual Islam yang panjang itu dengan membuat tradisi baru. Akibatnya kering, dangkal, jumud, dan berakhir jumawa [merasa paling benar sendiri].
Buat santri-santri NU yang baru dan masih ibtidaiyyah, baiknya waspada dan jangan sampai terpancing apalagi sampai ikut-ikutan kelompok anti madzhab ini [ikut-ikutan menghujat kiai-kiai kita].
Dalam soal berpendapat dan menyikapi banyak pendapat, kiai-kiai NU berpijak pada petuah Imam al-Syafii: “Qawluna sawab yahtamilu al-khata. Wa qawlu ghairina khata yahtamilu al-sawab” [pendapat saya benar, tapi mungkin saja salah. Pendapat orang lain salah, tapi mungkin saja benar]. Dan, biasanya, diakhir pendapt mereka selalu dipungkasi dengan Wallahu a’lam bi sawab.
salam,
Jamaluddin Mohammad