Yogyakarta—Laboratorium Studi al-Qur’an dan Hadis (LSQH) Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga bersama dengan Penerbit Mizan mengadakan Diskusi Buku Islam karya Fazlur Rahman yang menghadirkan Prof. Dr. Syafi’i Ma’arif dan Dr. Abdul Mustaqim. Acara dimulai dengan sambutan direktur LSQH, Ahmad Rafiq, Ph.D. Dalam sambutan singkatnya Ahmad Rafiq menekankan bahwa hampir semua buku Rahman ditulis sebagai hasil kontemplasi beliau.
Oleh karena itu, membaca buku Rahman tidak cukup hanya sekali. Dengan kata lain, ia selalu memberikan kebaruan bagi atau mengajarkan satu hal baru kepada pembacanya. Inilah yang membuat buku Rahman bahkan sampai sekarang masih layak untuk dibedah dan didiskusikan sepanjang waktu. Segera setelah itu, tepatnya pada pukul 9.22, Rafiq membuka acara dengan resmi.
Acara kemudian dilanjutkan dengan diskusi buku yang dipimpin oleh moderator, Dr. Ali Imron, salah seorang dosen di Program Studi Ilmu Hadis UIN Sunan Kalijaga. Diskusi dimulai dengan paparan dari pembedah pertama, Dr. Abdul Mustaqim. Dalam paparannya, Mustaqim mengatakan bahwa ada dialog yang sangat tajam dalam buku Rahman, karenanya membaca bukunya tidak cukup hanya sekali, harus diulang-ulang. Beliau lalu mengutip salah satu ungkapan Buya Syafi’i Ma’arif tentang Rahman, ‘Salah satu orang yang paling serius memikirkan al-Qur’an dalam dunia kontemporer adalah Rahman.’
Beliau juga mengatakan bahwa pengaruh Rahman di ranah pemikiran Islam di Indonesia sangat besar, dibuktikan dengan banyaknya riset yang bersinggungan dengan, membahas, atau menerapkan metode berpikir Rahman. Kebesaran nama Rahman dan pemikirannya adalah buah dari penguasaan rahman yang sangat hebat di bidang bahasa. Belaiu menguasai dengan sangat baik bahasa persia, urdu, yunani, perancis, dll. Beliau juga mengutip perkataan Buya Syafi’i “bila bahan bakar minyak bumi lenyap dari dunia, mungkin ada gantinya. Tetapi bila Islam yang lenyap, gantinya tidak akan ada lagi,” untuk mengawali betapa Islam dan Rahman penting untuk dikaji.
Beliau mengatakan bahwa al-Qur’an tidak bisa dikerdilkan menjadi hanya dokumen hukum (disini, Mustaqim juga bersinggungan dengan watak kontekstual metode tafsir Rahman yang dikenal dengan double movement); tidak bisa Islam dikerdilkan ajarannya menjadi hanya perang (dalam penjelasan ini beliau mengutip penafsiran lain tentang al-Hajj 39-40, ayat terkait perang yang pertama turun); bahkan pernikahan Nabi Muhammad dengan banyak perempuan pun memiliki makna yang jauh lebih besar dari kelihatannya (Mustaqim menegaskan bahwa prinsip pernikahan dalam Islam adalah monogami dan juga mengutip penjelasan Ali al-Shabuni dalam menjelaskan hikmah pernikahan Nabi yang mencakup psikologi, pendidikan, dan politik). Penjelasan atas ketiga hal ini menekankan bahwa umat Islam harus memiliki kesadaran sejarah dan nalar kritis dalam memahami apa yang mereka miliki dan hadapi.
Diskusi kemudian dilanjutkan dengan paparan Buya Syafi’i Ma’arif. Beliau memulai dengan menjelaskan hal-hal yang membuat Rahman menjadi kontroversial. Salah satunya adalah gagasan Rahman bahwa “Qur’an itu sepenuhnya kalam Allah, namun dalam memformulasikannya ke dalam Bahasa Arab Nabi Muhammad ikut serta. Ini yang bikin heboh,” kata Buya. Sejak itu kemudian kecaman terhadapnya semakin besar sehingga akhirnya dia keluar dan akhirnya menghabiskan masa hidup di Chicago.
Buya lalu menjelaskan bahwa sifat al-Qur’an yang multi-tafsir inilah yang menjadikan al-Qur’an salih li kulli zaman wa makan. “Kalau kita takut berbeda pendapat, atau takut masuk dalam kontroversi, ya lebih baik menjadi fosil aja,” tegas beliau. Juga beliau katakan bahwa al-Qur’an adalah satu-satunya kitab pada masa itu yang membebaskan audiensnya untuk mengingkarinya dan bahkan menantang mereka untuk menandinginya.
Buya lalu mengatakan bahwa sektarianisme dalam Islam berawal dari sengketa para elit politik Arab, yang berkat mereka sejarah awal Islam dipenuhi oleh bercak darah. Untuk itu, diperlukan nalar kritis dalam membaca sejarah Islam awal. Dalam perang Shiffin, yang terlibat adalah sahabat-sahabat yang merupakan kader inti Nabi; Aisyah, Ali, dan Tholhah. “Ada apa itu?” tanya Buya. Nalar kritis yang sadar historis ini juga harus dikembangkan dalam membaca al-Qur’an dan hadis.
Buya memberikan beberapa hadis yang perlu dikaji kembali dan ‘ditundukkan’ pada al-Qur’an yang al-Furqan (pembeda), terutama hadis yang bersifat ramalan. Beliau menyatakan bahwa Nabi Muhammad bukan peramal dan tidak pernah meramalkan sesuatu, kecuali yang diramalkan oleh wahyu (misalnya tentang penaklukan Roma). Beliau menegaskan lagi bahwa Nabi tidak bisa meramalkan masa depan, karena memang tidak diberi hak oleh Allah untuk melakukan itu.
Islam, lanjut Buya, harus dipahami dengan mendalam dan benar-benar. Islam tidak seharusnya dibonsai. Banyak orang saat ini yang tidak mengerti dan akhirnya hanya mengambil ‘Islam-Islam’ yang muncul belakangan, tanpa memahami unsur klasiknya. Rahman juga melakukan itu, pemikiran kritis terhadap warisan Islam “yang saya rasa ada ‘misguided arabism’.” Banyak unsur dari Islam yang diwarisi Muslim sekarang ini yang merupakan hasil pertikaian elit politik Arab pada masa awal Islam.
“Kalau islam tidak kita bebaskan dari ini, saya rasa tidak ada harapan,” tambah Buya lalu menyinggung tentang sebuah agenda para intelektual Muslim Indonesia untuk menunjukkan pada Barat bahwa wajah islam itu bukan hanya Arab.
Paham Islam-Arab ini juga mengarahkan orang untuk bersikap anti terhadap Barat. Ini menurut Buya bertentang dengan pemikiran Rahman. Lebih lanjut, Buya mengatakan bahwa sikap politik dan keagamaan yang dibangun berdasarkan sikap anti, tidak akan menjadi sikap yang sehat. Buya kemudian mengutip ungkapan di kitab Nahj al-Balaghah yang dinisbatkan pada Ali bin Abi Thalib, “ambillah hikmah walaupun ia berasal dari seorang munafik.”
Buya kemudian melontarkan anekdot serius, “kalau ada iblis buka sekolah tinggi dengan kurikulum yang hebat, saya masuk kesana.” Sikap anti tadi menurut Buya akan berkembang menjadi sikap yang menolak introspeksi.
“Mengapa barat menghancurkan kita, karena kita rapuh dari dalam. Kita dipermainkan orang lain krena kita memang pantas dipermainkan. Mengapa umat islam dijajah, karena mereka memang menderita mentalitas yang pantas dijajah.”
Rahman mempersilakan kita untuk berfikir bebas namun dalam saat yang sama menuntut untuk kritis, baik terhadap Barat maupun terhadap warisan Islam. Sikap kritik terhadap warisan Islam harus ditumbuhkan dari kesadaran sejarah agar tidak mudah dikelabui dalam memahami dasar ajaran Islam; al-Qur’an dan hadis. Al-Qur’an harus dipahami dengan tuntas dan baik, dengan kesadaran sejarah, agar tidak mengarah pada kesimpulan-kesimpulan yang malah bertentangan dengan ideal moral al-Qur’an itu sendiri.
“Buat al-Qur’an bersahabat dengan kita.” Dalam usaha itu, mengutip Amin Ma’sum, seorang tokoh Islam dari Klaten, umat Islam harus membaca al-Qur’an dengan ‘aqlun sahih’ dan ‘qalbun salim’. “Tanpa itu, al-Qur’an tidak mau bersahabat dengan kita,” tutup Buya. [] ()