Pada tahun ini dua organisasi masyarakat muslim Indonesia, NU dan Muhammadiyah berbeda dalam menentukan awal Dzulhijjah, termasuk bulan Ramadhan sebelumnya. Berdasarkan hasil penelusuran penulis, perbedaan antara NU dan Muhammadiyah terjadi sekitar delapan tahun lalu, tepatnya pada tahun 2014 atau 1435 Hijriah. Pada waktu itu, Muhammadiyah menentukan awal Ramadhan pada tanggal 28 Juni sementara NU, 29 Juni 2014.
Sebagai masyarakat awam, mungkin kita akan bertanya-tanya apa yang menyebabkan perbedaan penentuan awal Dzulhijjah dua ormas di atas? Padahal, sebagai muslim tentu keduanya sama-sama menggunakan perhitungan kalender Hijriah. Jawabannya adalah perbedaan metode dalam penentuan datangnya bulan baru qamariyah. NU menggunakan metode rukyat sementara Muhammadiyah menggunakan metode hisab.
Pengertian metode rukyat dan hisab
Rukyat secara bahasa artinya melihat, karena memang dalam metode ini masuknya bulan baru ditentukan setelah melihat hilal dengan pasti di ufuk dengan mata secara langsung atau menggunakan alat bantu seperti teropong. Sementara hisab secara bahasa artinya menghitung, metode ini mengandalkan perhitungan matematis ilmu falak alias astronomi untuk memastikan peredaran bulan.
Perbedaannya sudah mulai terasa, dalam metode rukyat bulan baru tidak bisa ditentukan kecuali setelah benar-benar melihat hilal pada bulan baru tersebut, sementara dengan metode hisab kita dapat memastikannya jauh sebelum memasuki bulan baru, bahkan dengan metode ini kita dapat menentukan masuknya bulan baru berikutnya.
Jika kita telisik lebih jauh perbedaan ini bukan hanya terjadi di era sekarang, melainkan sudah terjadi sejak berabad-abad lalu setua peradaban Islam itu sendiri. Secara umum menurut Ibn Rusyd dalam karyanya Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid adalah sahabat Ibn Umar yang berpegang metode rukyat, pada prinsipnya metode ini harus pasti melihat hilal, maka ketika hilal misalnya tidak bisa terlihat karena mendung, solusinya adalah cukup menyempurnakan bulan tersebut sampai 30 hari. Sementara itu salah satu tabi’in senior, Mutharrif bin Syikhir ketika situasi hilal tidak bisa dilihat lebih memilih metode hisab.
Selain itu tinggi derajat yang menjadi dasar dari Muhammadiyah dan NU juga berbeda. Muhammadiyah menganggap ketika tinggi bulan lebih dari 0 derajat, maka sudah masuk bulan baru. Sedangkan NU mengikuti pemerintah dan Mabims (Menteri Agama Brunai, Indonesia, Malaysia, dan Singapura) yang menetapkan tinggi imkanur rukyah (hilal memungkinkan untuk dilihat) adalah di atas 3 derajat.
Perbedaan dalam memahami hadis
Masih menurut Ibn Rusyd, perbedaan dua kelompok rukyat dan hisab karena berbeda dalam memahami hadis berikut :
صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته فإن غمّ عليكم فاقدروا له
“Berpuasalah karena melihat (hilal) dan berbukalah karena meihat (hilal) jika kalian terhalang mendung, maka hitung dengan tepat penentuannya”. (Hadis Riwayat Ibnu Majah)
Menurut sebagian ulama, perkataan hitung dengan tepat penentuannya adalah dengan cara menggenapkan sampai 30 hari karena hilal tidak terlihat. Sementara menurut sebagian lain justru karena tidak terlihat dengan mata kepala, hilal harus dihitung dengan ilmu matematis semacam falak dan astronmi karena hilal sebanarnya bisa jadi sudah wujud, hanya tidak terlihat.
Mana yang paling benar?
Baik metode rukyat maupun hisab tidak dapat kita pastikan kebenarannya di dunia. Kedua metode tersebut baru akan kita ketahui dengan pasti kebenarannya di “Mahkamah Agung” hari akhir kelak. Maka tidak sepatutnya sesama kelompok muslim saling menyalahkan atau merasa paling benar sendiri. Toh masing-masing dari kedua metode berdasarkan argumen yang kuat dan hasil ijtihad dari ulama terdahulu. Seperti kata Nabi, hasil ijtihad jika benar dapat dua pahala, jika salah masih dapat satu pahala. Artinya, meski salah, tidak akan masuk neraka. (AN)