Etika Berpuasa Menurut Syekh Abu Nasr al-Sarraj

Etika Berpuasa Menurut Syekh Abu Nasr al-Sarraj

Ada sepuluh etika berpuasa, apa saja?

Etika Berpuasa Menurut Syekh Abu Nasr al-Sarraj

Abu Nasr al-Sarraj al-Tusi (w. 378), seorang sufi besar Naisabur, dalam kitab al-Luma’, tentang adab dan etika berpuasa yang harus diperhatikan (Dzikr al-Shaum wa Adabuhum fih), (Al-Sarraj, al-Luma’, h. 217). Setidaknya jumlahnya ada sepuluh, antara lain:

Pertama, meluruskan niatnya. Maksud niat di sini adalah tujuan seseorang berpuasa. Orang yang berpuasa hendaknya menjadikan puasanya semata karena Allah. Karena, dengan niat yang lurus, seseorang tidak hanya terhindar dari puasa yang sia-sia, namun juga ia akan cenderung lebih menikmati dan ringan saat mengerjakannya.

Kedua, menjauhi hawa nafsunya. Yang dimaksud hawa nafsu di sini adalah segala dorongan negatif dari dalam diri yang dapat menjerumuskan kepada perbuatan maksiat. Puasa itu sendiri merupakan sarana bagi seseorang untuk melatih diri dalam mengontrol hawa nafsunya.

Ketiga, menjaga anggota badan. Maksudnya tentu menjaga anggota badan dari perbuatan tercela, seperti menjaga mata dari penglihatan yang buruk, menjaga telinga dari mendengar kata-kata kotor, menjaga lisan dari mengucapkan kata-kata yang dapat menyakiti orang lain, dan sebagainya.

Keempat, memerhatikan kesucian makanan. Kesucian makanan meliputi kesucian makanan itu sendiri, kesucian proses membuat makanan, dan “kesucian” dalam memperolehnya. Karena, makanan yang masuk ke dalam perut dan menjadi daging dalam tubuh kita, memiliki pengaruh yang cukup signifikan. Dalam sebuah hadis dikatakan bahwa makanan yang tidak baik dapat menghalangi terijabahnya doa.

Kelima, menjaga hati. Hati memiliki sifat mudah goyah. Saat puasa, keadaan perut kosong pada siang hari dapat membuat hati lebih sulit untuk dikontrol, mudah emosi, dan sebagainya. Apalagi ditambah pekerjaan yang berat atau cuaca yang panas, tentu kesabaran orang yang berpuasa semakin diuji.

Keenam, selalu berdzikir. Berdzikir selain membuat hati kita selalu terpaut dengan Allah Swt., juga dapat membuatnya menjadi tenang. Misalnya, kita mungkin sudah sering mendengar anjuran untuk beristighfar ketika kita mulai emosi dengan tujuan untuk meredakan emosi tersebut.

Ketujuh, tidak mengkhawatirkan rezeki yang telah dijamin. Namun, perlu diingat bahwa rezeki tidak selalu berupa materi, mungkin saja rezeki itu berupa kesehatan sehingga kita mampu berpuasa, mungkin juga seperti saat ini di mana penyebaran virus Covid-19 sudah mereda sehingga kita bisa sholat tarawih berjamaah kembali.

Tidak boleh mengkhawatirkan rezeki bukan berarti kita tidak berusaha untuk memperolehnya. Usaha tetap dilakukan, namun hasilnya kita serahkan kepada Sang Pemberi Rezeki.

Kedelapan, tidak membanggakan puasanya, sehingga dapat membuatnya merasa lebih baik dari orang lain hanya karena puasa yang ia kerjakan. Hal ini justru mencederai nilai puasa itu sendiri.

Kesembilan, menyadari keterbatasan. Sikap menyadari keterbatasan diri dapat memunculkan sikap rendah hati dan menghindarkan dari sikap sombong. Salah satu bukti keterbatasan itu adalah saat berpuasa, tenaga menjadi berkurang. Adapun ketika memiliki kekuatan lebih saat berpuasa, hal itu semata karena Allah Swt. mengaruniakan kekuatan kepada orang tersebut.

Kesepuluh, memohon pertolongan kepada Allah Swt. dalam mengerjakan ibadah puasa. Di samping berusaha memperbaiki kualitas puasa, jangan sampai kita lupa untuk berdoa agar Allah senantiasa menganugerahkan istiqomah kepada kita agar dapat terus beribadah, khususnya di bulan Ramadhan ini.

Demikianlah sepuluh adab dalam berpuasa menurut Al-Sarraj. Semoga segala doa dan usaha kita dalam memelihara puasa dapat mengantarkan kita kepada derajat orang-orang yang bertakwa. (AN)