Satu hari, Uwaimir bin Malik al-Khazraji atau yang dikenal dengan Abu Darda kedatangan seorang utusan Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Tujuan utusan tersebut adalah menyampaikan pesan bahwa Mu’awiyah yang ingin meminang putri Abu Darda untuk dijadikan istri Yazid bin Mu’awiyah.
Yazid bin Mu’awiyah sendiri adalah putra Mu’awiyah bin Abi Sufyan sang pendiri Dinasti Umayyah. Dan, Yazid sendiri adalah pewaris tahta sang ayah, menjadi khalifah di usia 34 tahun. Dia adalah khalifah kedua Dinasti Umayyah.
Sebagai seorang anak raja, Yazid lahir dan besar dalam lingkup istana yang penuh kemewahan. Maklum saja, sebelum menjadi khalifah pertama Dinasti Umayyah, Mua’wiyah adalah seorang Gubernur Syam (Syiria). Muawiyah juga seorang sahabat Nabi Muhammad SAW yang memiliki harta melimpah, dan saudara tiri Ummu Habibah yang merupakan istri Rasulullah SAW.
Secara kontras, Abu Darda sendiri adalah salah seorang sahabat Nabi SAW yang dikenal sangat zuhud dalam kehidupannya. Bahkan, dia rela meninggalkan hidup bermewah-mewahan karena dinilai akan melalaikannya dari Allah SWT.
Sebagaimana dijelaskan oleh Ibnul Jauzi dalam kitabnya ‘Uyun al-Hikayat, bahwasanya pinangan dari Yazid bin Mua’wiyah untuk putri Abu Darda ternyata mendapat penolakan dari sang ayah. Kemudian salah seorang teman duduk Yazid berkata kepadanya, “semoga Allah memperbaikimu! Apakah engkau mengizinkanku untuk menikahinya?”
Mendengar temannya berkata seperti itu, Yazid bin Muawiyah pun menjawab, “enyahlah engkau dari tempat ini! celaka engkau!”
Kemudian teman duduk Yazid bin Muawiyah kembali berkata, “izinkanlah! Semoga Allah memperbaikimu.” Akhirnya, Yazid pun menjawab “ya, saya izinkan.”
Orang itupun kemudian menemui Abu Darda dan meminang putrinya. Dan Abu Darda akhirnya menikahkan putrinya dengan orang tersebut. Orang yang biasa-biasa saja, bukan anak pejabat dan tidak kaya raya.
Tidak lama kemudian, kabar Abu Darda yang memilih menikahkan putrinya dengan orang biasa saja dan menolak besanan dengan Muawiyah bin Abi Sufyan yang kaya raya dan memilih mempunyai menantu yang tidak kaya raya pun tersebar luas di masyarakat.
Kabar bahwa Abu Darda menolak pinangan Yazid bin Muawiyah untuk menikahi putrinya yang tersebar luas membuat banyak orang heran. Hingga akhirnya ada seseorang yang mendatangi Abu Darda dan menanyakan perihal keputusannya tersebut.
Abu Darda yang mendapat pertanyaan tersebut lalu menjawab, “aku hanya memilih yang terbaik untuk Darda.” Orang yang bertanya pun berkata, “bagaimana caranya?”
Abu Darda kemudian menjawab, “apa yang kau bayangkan bila Darda menikah dengannya. Bila Darda berdiri dimana di hadapannya banyak para pelayan yang melayaninya. Berada di dalam istana di mana setiap mata merasa ingin mendapatkan kenikmatan darinya? Jika dia menikah dengan orang seperti itu, bagaimana dengan agamanya?”
Apa yang dilakukan oleh Abu Darda adalah bentuk kekhawatiran orang tua terhadap anaknya, jika dipinang oleh orang kaya yang bisa membuat sang anak lalai dengan agamanya. Apalagi Muawiyah bin Abi Sufyan dalam sejarahnya juga dikenal dengan sosok kontroversial, termasuk dalam mengangkat putranya untuk meneruskan tahtanya.
Oleh sebab itulah, Abu Darda lebih memilih menolak pinangannya. Karena harta dan kekayaan memang bisa membuat manusia mendapatkan apa yang diinginkan, namun harta juga seringkali membuat manusia lupa dengan Tuhannya dan abai dengan sesamanya. Hal tersebutlah yang membuat Abu Darda yang merupakan ahli hikmah lebih memilih menikahkan putrinya dengan pemuda biasa saja, namun mempunyai akhlak dan agama yang baik dibanding dengan calon menantu yang bergelimang harta, yang berkemungkinan dapat melalaikan Darda dari agamanya. Apalagi dengan orang yang sejak kecil hidup dengan kemewahan dari sang keluarga.
Bisa jadi, dengan harta yang melimpah seseorang mudah hilang respectnya kepada sesama manusia, bahkan terhadap pasangan dan juga sanak saudaranya. Padahal harta adalah sesuatu yang fana. Ia bisa hilang kapan saja, sebagaimana yang dikatakan oleh Zainuddin al-Malibari dalam Fathul Mu’in;
أن المال زائل ولا يفتخر به أهل المروأت والبصائر
Artinya: bahwasanya harta itu bagaikan bayangan yang dapat hilang (fana). Sehingga orang-orang ahli muru’ah dan orang-orang bijak tidak pernah berbangga dengan harta.
Sehingga ketika kekayaan berupa harta tersebut tiba-tiba hilang di saat menjalani behtera rumah tangga, justru berpotensi melahirkan rasa kecewa karena tidak sesuai dengan ekspektasi yang diinginkan sebelumnya. Oleh sebab itulah, Nabi Muhammad saw berpesan kepada umatnya yang mau menikah, agar dalam memiliih pasangan hal yang paling utama untuk dijadikan pertimbangan adalah yang baik agama (akhlaknya).