Terlalu panjang kita bisa membicarakan KH Hasyim Muzadi dalam kiprahnya di dunia keislaman Indonesia. Bagaimana tidak, beliau termasuk di antara orang yang bisa membawa Islam yang moderat, berbasis pesantren dan menyajikannya dengan pelbagai gaya dakwah yang menarik, tergantung situasi dan kondisi. Pemikiran dan ceramahnya bisa diterima mulai dari pengajian di kampung-kampung hingga kalangan akademisi berskala internasional.
Dalam rentang hidupnya, KH Hasyim Muzadi jarang menjadi tokoh berpolemik kontroversial. Beliau senantiasa berada di garis moderat, tidak terlalu ekstrim kanan dan minggir ke kiri yang berarti liberal.
Beliau begitu getol menyampaikan pandangan islam moderat, melawan radikalisme di Indonesia, yang sudah masuk agenda transnasional belaka, dengan tidak hanya barada di titik gagasan dan akidah namun sudah saatnya kita beraksi bersama. Ini terlihat dari berbagai statement yang ia sampaikan dalam berbagai forum, termasuk di antaranya seperti pada sambutannya di UIN Malik Ibrahim Malang pada 25/11/2015 silam
“Moderasi ini maknanya adalah secara komprehensi bukan hanya moderasi dalam bidang akidah, tapi juga syariah,” kata Kiai Hasyim.
Kiai Hasyim juga tokoh yang tidak antipati terhadap politik. Bagi beliau, politik hanya sebagai sarana untuk melanggengkan strategi dakwah Islam. Dengan begitu, ia bisa duduk dakwah, merangkul semua elemen mulai santri hingga pejabat negeri. Terbukti, hingga akhir hayat, dia masih memangku jabatan sebagai Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres).
Dalam kancah internasional, mantan Ketua Umum PBNU periode 1999-2010 ini juga menjabat sebagai Sekjen International Conference of Islamic Scholar (ICIS) yang mencover tidak kurang dari 67 negara muslim.
Dalam sejarah, sebagai Sekjen ICIS, Kiai Hasyim membela Iran atas haknya memproduksi nuklir untuk kepentingan sipil, bukan militer dan melobi dunia barat untuk menghentikan embargonya terhadap Iran dan berhasil walaupun itu menimbulkan fitnah bahwa ia adalah syi’ah.
Namun, anehnya di saat yang sama, saat itu Kiai Hasyim juga aktif sebagai pengurus Rabithah Alam Islami (Liga Muslim Dunia) yang berpusat di Mekkah Arab Saudi, negara dengan sebagian besar populasi penganut Wahabi. Ini artinya Kiai Hasyim bisa duduk berdampingan kepada dua kutub yang selama ini direpresentasikan saling bertentangan.
Bagi saya, di antara hal yang menarik bagi Kiai Hasyim adalah, dalam berbagai pertemuan, ia selalu saja bisa melontarkan humor yang cerdas. Dakwah ala Ahlussunnah wal jamaah. Itu yang pertama.
Yang kedua, meskipun ia hidup di tengah arus pemikiran modern, konsep aplikasi keilmuan ala pesantren salaf tetap ia emban dengan baik. Hal ini nampak dengan dirikannya Pesantren Mahasiswa Al Hikam di mana hanya menampung santri putra saja.
Artinya, sebagaimana ciri pesantren salaf yang sangat berhati-hati dalam merawat anak didik, kehati-hatian Kiai Hasyim sangat tampak di sini dengan tidak mencampurkan antara mahasiswa laki-laki dengan perempuan. Bagi kalangan pesantren, memandang hal ini adalah perkara yang sangat penting walaupun di luar sana itu tidak menjadi hal yang begitu berarti.
Jadi, Kiai Hasyim itu moderat, lentur kepada orang luar namun ketat untuk dirinya sendiri. Beliau adalah cerminan islam moderat di Indonesia, yang tidak hanya pandai dalam urusan agama belaka, melainkan juga memahami bahwa diri kita, islam Indonesia, merupakan bagian dari dunia internasional.
Selamat jalan, Kiai. Warisanmu abadi…