“Orang tua yang sangat pandai ini adalah seorang yang genius. Ia mampu berbicara dan menulis secara sempurna, sedikitnya dengan sembilan bahasa. Kelemahannya hanya satu: ia hidup melarat.” Begitulah komentar untuk Haji Agus Salim dari seorang pejabat Belanda bernama Willem Schermerhorn dalam salah satu catatan hariannya, Het dagboek van Schermerhorn.
Bukan hanya Schermerhorn saja yang berkomentar demikian. Muhammad Roem juga memiliki kesan yang sama. Dalam bukunya yang berjudul Haji Agus Salim, Memimpin adalah Menderita mengisahkan, suatu hari, dalam sebuah acara perkumpulan para diplomat dunia yang diselenggaran di Eropa, hampir semua orang berpakaian rapi dan necis.
Di antara perkumpulan orang-orang necis tersebut, terselip orang tua berjenggot yang berpakaian agak lusuh. Dandanannya tidak seperti para diplomat kebanyakan yang hadir di sana. Jas yang digunakan terdapat jahitan di sana-sini. Penampilan Haji Agus Salim di kancah dunia ini sangat kontras dan menjadi perhatian banyak orang. Menurut Muhammad Roem, hal ini merupakan implementasi dari prinsip ‘Leiden is Lijden‘, memimpin adalah menderita.
Prinsip ‘Leiden is Lijden‘ ini dikutip dari ucapan yang dipopulerkan oleh Kasman Singodimejo. Menurut Muhammad Roem, penderitaan yang dialami oleh Haji Agus Salim bukan hanya karena dipenjara atau diasingkan, tetapi juga karena kemelaratan hidupnya. Penderitaan Haji Agus Salim ditunjukkan dengan hidup sederhana, bahkan hampir mendekati kekurangan.
Sebagai seorang pejabat, seharusnya ia bisa saja hidup bermewah-mewahan, berpakaian serba mahal dan keren, memiliki aset miliaran, namun itu semua tidak dipilih oleh Haji Agus Salim. Ia memilih untuk hidup sederhana dari pada bermewah-mewahan.
Haji Agus Salim, nama hajinya memang sebuah gelar haji yang ia dapatkan saat menjadi salah satu penerjemah Konsulat Belanda di Jeddah pada tahun 1906. Jeddah ini lah menjadi awal karir baginya. Dari tempat ini, ia belajar banyak bahasa asing, mulai dari bahasa Belanda, Inggris, Jerman, Prancis, Turki, Jepang dan pastinya Arab.
Haji Agus Salim juga ikut berkontribusi menjadi bagian dari perjuangan kemerdekaan bersama Serikat Islam pada tahun 1915. Ia juga ikut aktif menjadi anggota Volskraad 1921-1924 dan berlanjut di Jong Islamieten Bond (JIB). Selain sebagai politisi, Agus Salim juga menjadi seorang jurnalis di Harian Neratja, Hindia Baroe, dan mendirikan surat kabar Fadjar Asia.
Pasca Kemerdekaan, Agus Salim pernah diamanahi untuk menjadi menteri muda luar negeri muda pada kabinet Sjahrir I dan II. Dan puncaknya menjadi Mentri Luar Negeri pada kabinet Amir Sjarifuddin (1947) dan Hatta (1948-1949).
Haji Agus Salim lahir dengan nama asli Musyudul Haq di Koto Gadang, Sumatera Barat, 8 Oktober 1884 dan meninggal di Jakarta pada 4 November 1954 dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata.
Pengalaman dan prinsip Agus Salim ini bisa ditiru oleh siapa saja yang ingin menjadi pejabat pemerintahan, bahwa menjabat adalah menderita dan melarat, bukan malah jadi ajang untuk memperkaya diri dan mendapatkan banyak fasilitas negara dari uang rakyat. (AN)