Grup band BTS kemarin (09/06) mendadak menjadi perhatian di media dan publik akibat keruihan di beberapa kota, imbas dari sebuah retail makanan cepat saji mengeluarkan produk yang terkait grup tersebut. Efek domino kejadian tersebut, beberapa akun influencer Islamis mengunggah ulang (baca: repost) beberapa konten yang pernah mereka keluarkan untuk melawan popularitas K-Pop di kalangan anak muda muslim.
Fakta popularitas K-Pop di atas tidak bisa dibantah. Mereka sudah menjadi bagian dari identitas anak muda, termasuk yang beragama muslim. Walau beberapa ustadz masih melakukan perlawanan keras dengan menyebut K-Pop sebagai dosa, penyesatan, dan lain sebagainya. Namun, kebanyakan kelompok anak muda seperti masih berdiri dalam dua batas secara bersamaan, yakni keislaman dan K-Pop.
Meledaknya penjualan menu milik salah satu retail makanan cepat saji akibat memakai dukungan dari band Korea yang sedang terkenal tersebut, bagai sebuah hentakan bagi kita bahwa K-Popers di Indonesia tidak bisa dipandang sebelah mata. Serangan atas fenomena K-Pop yang dilancarkan kelompok Islamis masih belum mampu menghentikan “serangan” budaya populer Asia Timur tersebut di Indonesia.
Mungkin sebagian kita memiliki pertanyaan, bagaimana budaya populer Asia Timur ini sangat kuat dan memiliki dampak nyata khususnya di kalangan anak muda? Terlebih jika kita hubungkan dengan dinamika dakwah Islam di kalangan anak muda, maka pertanyaan tersebut semakin menarik diperbincangkan.
Saya mendapatkan penjelasan dari esai milik salah satu peneliti LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia), Ranny Rastati. Dalam esainya, Ranny menyebutkan bahwa K-Pop menemani pergulatan emosi masa remaja yang penuh dinamika. Masa-masa ketika tidak tahu harus bebicara kepada siapa, masa-masa ketika mengkhawatirkan banyak hal; mulai dari percintaan, masa depan, hingga cita-cita. K-Pop datang menjadi sahabat tanpa memberikan prasangka.
Adapun Ariel Heryanto dalam buku Identitas dan Kenikmatan, menambahkan bahwa ada dua model konsumen budaya populer Asia Timur tersebut. Dalam generasi yang lebih tua, yakni mereka yang sudah bekerja, maka pa yang dijelaskan Ranny di atas sangatlah tepat. Namun, untuk generasi yang lebih muda, Ariel menjelaskan kelompok ini memiliki waktu dan tenaga yang berlimpah serta jaringan penggemar lokal yang luas untuk membentuk kelompok-kelompok lokal di berbagai kota, atau jaringan maya lintas-daerah yang menjadi tempat mereka berbagi catatan, klip suara, dan video.
Jadi, perjumpaan dan percakapan yang intens di dunia maya dan rutinitas Kopi Darat yang digelar oleh kelompok K-Popers, menjadi ajang mereka saling merekatkan antar pribadi sekaligus menjadi kesempatan untuk mengungkapkan sentimen kolektif secara terbuka. Namun, di sisi lain perjumpaan dan aktivitas intens mereka di dunia maya tersebut juga menjadi sebuah ekosistem digital.
Ekosistem digital, menurut Ross Tapsell, adalah cara pemanfaat media baru oleh anak-anak muda sebagai bagian partisipasi mereka di ranah sosial-politik, lewat pemakaian microblogging, aplikasi percakapan, media sosial, dan lainnya. Tapsell menambahkan sebagai akibatnya kelompok anak muda memiliki corong yang dapat mereka gunakan untuk melantangkan suara mereka, di luar dari platform-platform media yang telah ada sebelumnya.
Di titik ini dapat membawa ingatan kita pada gerakan kelompok penggemar budaya populer Korea ketika aksi menolak UU (Undang-Undang) Cipta Kerja dua tahun lalu, atau gerakan filantropi mereka dalam merespon Covid-19 kemarin. Bahkan, fandom ini pernah beberapa kali membuat aksi sosial-politik secara digital.
Sedangkan, di ranah kesalehan atau keberagamaan, fenomena gelombang Korea memiliki titik persinggungan antara influencer Islamis, K-Pop, dan narasi keagamaan di media sosial. Dari titik persinggungan inilah, kita sebenarnya juga bisa melihat narasi keagamaan di media sosial yang digeluti oleh influencer Islamis tersebut dikemas dengan bungkus K-Pop yang kental. Jadi, budaya pop yang begitu kental dalam K-Pop dapat menjadikan dakwah Islamis menjadi lebih menarik secara visual dan dekat secara kultur, ketimbang dari kalangan moderat.
Padahal, influencer Islamis di saat yang sama juga mengampanyekan perlawanan atas kehadiran K-Pop. Jadi, influencer Islamis tersebut tidak benar-benar menjadikan K-Pop menjadi bagian yang berlawanan dengan dakwah yang mereka usung. Apakah terjadi kontradiksi dalam sikap influencer Islamis tersebut?
Jawabannya jelas saja tidak. Sebab, dengan memanfaatkan kondisi psikologis yang sedang galau atau sedang mengalami pergulatan emosi dan visualisasi yang akrab di kelompok anak muda, para influencer Islamis tersebut menjadi mendapat lahan pasar dakwah mereka yang begitu besar dan kuat.
Untuk lebih jelasnya kita perlu menengok penjelasan Azhar Irfansyah, editor Islam Bergerak, yang menyebutkan “hijrah” terbuka sebagai arena kontestasi pemaknaan. Secara rujukan metafora dapat dilihat pada bagaimana beberapa kelompok Islam menggunakan istilah hijrah secara sepihak. Narasi tersebut kemudian digunakan secara massif untuk memikat pengikut bagi kalangan Islamis.
Jadi penggunaan narasi dan pendekatan budaya K-Pop oleh influencer Islamis, macam Fuadh Naim dan Hawariyun, bukan sesuatu yang paradoks. Sebab, mereka mengetahui bahwa dengan “membajak” makna hijrah sebagai pemikat pada generasi yang sedang galau tersebut, bahwa “Islam model mereka” adalah jawaban paling pas untuk Tetap Menjadi K-Popers, namun tetap Islami.
Tawaran ini tentu menggiurkan bagi kalangan anak muda yang di saat yang sama sedang menghadapi perubahan keislaman yang lebih banyak mengadopsi model Islam pasar. Eko Saputra, penulis buku Gaul, Saleh, dan Modern, menjelaskan dalam bukunya bahwa ciri khas dari Islam pasar adalah melahirkan gerakan dakwah anak muda yang khas, yakni identitas keislaman anak muda yang hibrid.
Keislaman anak muda yang makin hibrid tersebut ditandai dengan minimal dua hal. Pertama, Islam yang sinkretis, bukan dalam makna menautkan Islam dengan berbagai budaya setempat. Namun, anak muda berislam dengan menyerap dari semua ideologi Islam yang ada, dengan pertimbangan kecocokan dengan kebutuhan keislamannya.
Kedua, mereka berislam dengan mengambil simbol-simbol budaya populer yang dianggap sejalan dengan budaya anak muda. Jadi, di saat yang bersamaan, menurut Eko, mereka ingin tampil religius, gaul, dan modern. Di titik inilah, wacana keislaman hari ini menjadi semakin hibrid.
Pastinya, fenomena UU Ciptaker dan pembelian satu menu makanan dari retail makanan cepat saji yang membuat keriuhan di mana-mana kemarin, sebenarnya mengetuk kesadaran kita semua bahwa narasi dakwah yang mereka serap bisa saja menjadi sangat besar dengan bantuan ekosistem digital yang besar di kalangan K-Popers tersebut. Bisa dibayangkan jika mereka menjadi konsumen aktif ideologi Islamis, apa yang bisa terjadi?
Fatahallahu alaina futuh al-arifin
Penulis: Supriansyah