Masa pandemi, ibadah di Masjidil Haram dan Nabawi tak semudah biasanya, harus berebut izin (tasrih) melalui aplikasi.
“Ya Tuhan, sungguh aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tak ditumbuhi tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dimuliakan, ya Tuhan (yang demikian itu) agar mereka melaksanakan salat. Maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan berilah mereka rezeki dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur.”
Kota Mekkah, pada awalnya hanya sebuah lembah tandus tak berpenghuni. Di tengah hamparan luas gurun yang kering, lembah-lembah seperti itu tersebar hampir di setiap sisi. Pasti ada sesuatu, hal istimewa yang menghidupkan sepetak tanah gersang di punggung bumi, menjadi salah satu pionir yang menggerakan lebih dari tiga atau bahkan empat milenium sejarah umat manusia di dunia.
Do’a ayahanda kita Nabi Ibrahim alaihi al-salam bisa dikatakan sebagai salah satu sebabnya. Karena tak selang berapa lama, mata air penuh berkah menyembul begitu deras dari bawah tumit salah satu keturunannya. Air adalah napas kehidupan. Dengan air yang menjadi salah satu tanda keagungan Tuhan di dalamnya, Mekkah tumbuh dan merekah layaknya bunga yang mengundang hati seluruh pengembara di padang pasir yang kering kerontang.
Begitulah kiranya cerita yang melatari jutaan manusia dari penjuru dunia mendatangi negeri yang kita sebut dengan Kerajaan Saudi saat ini. Mekkah dengan Ka’bah dan sejarah peradabannya terus menjadi pusat perhatian, bukan hanya bagi mereka yang jauh dari sana, melainkan juga bagi orang-orang yang telah lahir dan hidup menahun di dalamnya. Maka tak perlu heran jika banyak yang mendamba hidup di Mekkah, atau paling tidak dekat kota-kota di sekitarnya demi iming-iming dapat berhaji setiap tahun atau berumroh sekehendaknya.
Karena itulah kebijakan diberlakukan. Agar kesempatan berhaji merata terbagi ke setiap umat muslim yang mampu melakukannya di dunia, pemerintah kerajaan membatasi setiap warganya untuk hanya berhaji maksimal satu kali dalam setiap lima tahun. Dari sana, istilah tasrih mulai terdengar akrab di telinga para penduduk dan ekspatriat di Saudi. Tasrih pada awalnya hanya menjadi ijin yang mengatur prosesi ibadah haji.
Baca juga: Di Masa Pandemi Ibadah Umrah Dibatasi Tiga Jam
Namun dua tahun silam, pandemi covid-19 menjadi titik balik yang luar biasa bagi dunia. Dan Saudi tak termasuk pengecualian. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, masjid haram Nabawi ditutup untuk kegiatan apapun bagi orang luar. Dan ibadah umrah otomatis dihentikan sampai waktu yang tak ditentukan. Roda ekonomi lumpuh bahkan sekarat di banyak tempat. Karantina total sampai jam malam mulai diberlakukan dengan sangat ketat. Tak pandang bulu, denda sebanyak 10 ribu real dibebankan pada siapapun yang melanggar aturan.
Awal tahun ini, prosedur new normal mulai diterapkan. Pelan-pelan Kerajaan Alu Suud membuka diri untuk beberapa pendatang dan peziarah. Masih dengan berbagai aturan dan ketentuan pencegahan yang ketat, ibadah umroh secara berangsur kembali dipulihkan. Satu dua rombongan dari Indonesia bahkan sempat menjadi bagian dari tahap ini. Meski kemudian ditemukan kasus positif, setidaknya prosesi ibadah di dua masjid suci tak ditutup kembali.
Kasus positif tak diabaikan begitu saja. Sebagai jawaban, tak selang enam bulan, kebijakan baru diterapkan. Segala macam ibadah yang dilangsungkan di dua masjid utama harus mendapat ijin atau tasrih yang dipesan sebelumnya melalui aplikasi milik pemerintah: Eatmarna. Shalat lima waktu di masjid al-Haram Mekkah, umroh, Raudhoh, bahkan ziarah sesaat ke makam ayahanda Nabi Muhammad SAW menjadi fokus utama dimana tasrih diberlakukan. Dan upaya untuk mendapat tasrih ini bukan main-main. Kita berebut dengan jutaan pengguna di seluruh Saudi yang acapkali mencoba memesan satu ijin.
Bahkan salah satu dari kita sempat berkata dengan nada pasrah “Mungkin mereka yang mendapat tasrih adalah mereka yang memang diundang oleh Allah.” Wajar saja, mengingat bagaimana kami yang sama-sama berada di Saudi dan berusaha sejak awal mendapat tasrih umroh, tak kunjung memperoleh hasil. Tak terhitung berapa percobaan dan kegagalan yang dilakukan. Tak lagi dipedulikan malam-malam tanpa tidur selama ada kabar bahwa di salah satu waktu itu ada kesempatan mendapatkan tasrih.
Menjelang Ramadhan persaingan semakin panjang, karena instruksi kerajaan meminta agar aplikasi etamarna itu tak bisa diakses kecuali bagi mereka yang telah mendapatkan vaksin. Alhasil kemelut tasrih ini beralih pada pemesanan janji mendapat vaksin. Tak terhitung pengguna yang frustasi karena tak mengerti cara kerja aplikasi dan bagaimana prosedur pemesanan vaksin ini dilalui. Hingga hari ini, bahkan penduduk yang jelas menetap di kota Mekkah sendiri masih ada yang belum bisa memperoleh tasrih.
Satu sisi, memang sedih melihat bagaimana kita bahkan perlu ijin untuk sekedar shalat lima waktu di masjid al-Haram Makki, atau berziarah sebentar ke makam nabi. Tapi di sisi lain nampaknya kita patut lega dan bersyukur bahwa antusiasme dan kesedihan bahkan segala drama yang menyertai aturan tasrih ini menunjukan betapa umat muslim masih begitu menaruh hati pada tanah suci dan pusara nabi. Betapa indahnya mengetahui bahwa keimanan dan semangat ibadah umat ternyata tak pernah mati. (AN)