Kita kesampingkan dulu soal narasi-narasi yang selama ini sudah sering terdengar, mulai dari narasi perebutan lahan, narasi teologis, narasi kemanusiaan dan narasi penderitaan. Bukan berarti ini tidak penting, tapi saya ingin membahas tentang bagaimana vulnerabilitas Palestina yang mampu dieksploitasi oleh Israel sehingga mereka unggul saat ini.
Yang pertama adalah strategi stabilitas kawasan. Ini sangat penting. Israel mengerti betul bahwa stabilitas adalah investasi yang sangat penting, yang punya implikasi kepada kepentingan nasional negara-negara kawasan — Arab — maupun negara-negara investor.
Dia memosisikan diri sebagai partner strategis yang bisa dipercaya karena memenuhi unsur-unsur demokrasi khususnya kepastian hukum, transparansi dan akuntabilitas. Oleh karena itu maka “investasi pertemanan” dengan Israel itu jauh lebih terjamin karena ada kepastian tadi.
Hal ini berbeda dengan model pemerintahan kawasan yang autokrasi dan rentan perubahan radikal kepemimpinan, karena memang basisnya adalah pemerintahan berdasarkan suku/keluarga. Ini membuat negara lain akan lebih memilih untuk dekat dengan Israel dibanding Palestina.
Sebaliknya, Palestina belum mampu menunjukkan hal itu. Kondisi pemerintahannya, bukan hanya sekarang tapi dari diberlakukannya UN Partition Plan itu tidak solid, banyak faksi yang mengatasnamakan Palestina, dan hampir tidak satu komando. Ini kerentanan pertama yang selalu dieksploitasi oleh Israel.
Yang kedua adalah penetrasi bilateral. Israel sangat mengerti bahwa mereka akan kalah jika menarik isu ini sebagai isu agama. Walaupun kedua pihak saling memainkan perang psikologis dengan agama, tapi sudah pasti Israel akan kalah jumlah. Jadi apa yang dipakai sebagai ganti? Dia menggantikan dengan isu survival.
Isu survival ini secara psikologis masuk ke struktur pemerintahan negara-negara kawasan. Mereka adalah negara-negara yang bukan juara dalam soal penegakkan hak asasi manusia, sebaliknya, kepentingan domestik dan kekuasaanlah yang menjadi fokus utamanya. Diplomasi bilateral inilah yang terjadi di balik layar selama ini, dan sekarang mulai dibuka ke publik.
Sebaliknya hal yang sama tidak bisa diberikan oleh pemerintahan Palestina. Fakta-fakta dukungan faksi-faksi bersenjata di Palestina yang mendukung atau berhubungan dengan aksi teror yang terjadi di negara lain membuat ketidakpercayaan terhadap Palestina semakin gampang dieksploitasi. Ini vulnerabilitas kedua.
Yang ketiga adalah Israel mengerti betul apa itu ‘risk threshold‘. Apa itu risk threshold? Itu adalah titik batas — dalam konteks perang — korban yang masuk dalam kategori wajar, sebagai akibat dari sebuah operasi militer. Contohnya begini: setiap hari ada orang yang meninggal karena kecelakaan lalu lintas, tapi bagi kita, itu adalah sebuah kewajaran, tapi jika ada kecelakaan pesawat terbang dengan korban ratusan sekaligus, maka secara psikologis orang akan terganggu.
Sama juga dalam konteks operasi militer. Jika korbannya tidak terjadi secara eksponensial, maka itu adalah ‘sebuah kewajaran’ dan bisa diterima oleh dunia internasional. Jadi, sepanjang jumlah korban berada dalam batas kewajaran sebuah operasi militer, maka itu tidak akan berpengaruh.
Yang terakhir adalah soal politisasi korban. Israel mengerti betul bahwa korban dari tragedi kemanusiaan itu bukan hanya terjadi di Palestina saja. Jadi tragedi kemanusiaan di Palestina itu bukan satu-satunya tragedi yang terjadi di dunia ini. Jadi taktik yang dipakai dengan menunjukkan korban-korban meninggal, korban kehilangan hak, properti dan harta benda lah itu bukan monopoli dari Palestina saja. Dunia akan memilih sesuai dengan kepentingan politik domestik mereka.
Ini adalah tiga vulnerabilities milik Palestina yang selama ini selalu berhasil dieksploitasi oleh Israel, dan itu menciptakan kenormalan yang dinikmati oleh Israel selama ini.
Jadi pertanyaannya adalah apakah Palestina bisa menang, atau paling tidak memiliki power relations yang sama dengan Israel? Tentu bisa.
Caranya yaitu Palestina harus menutupi vulnerabilitas mereka tadi. Memakai taktik korban saja tidak cukup, karena ini bukan pertama kali. Memainkan isu agama pun tidak mempan karena dunia tidak melihat ini sebagai isu agama— kecuali mungkin Indonesia, dan melakukan aksi militer bukan opsi yang cerdas karena kekuatan yang tidak berimbang.
Yang perlu dilakukan oleh Palestina sekarang adalah bersatu dulu. Hanya dengan bersatu maka Palestina bisa memposisikan dirinya sebagai ‘partner worth investing‘.
Kalau tetap memakai taktik dan strategi yang lama, perjuangannya tidak akan ke mana-mana, karena Israel dan negara-negara kawasan juga tidak akan ke mana-mana.
Palestina harus kembali ke prinsip dasar survival bahwa keamanan dan keselamatan diri itu dimulai dari diri sendiri, dan itu hanya bisa diperoleh lewat persatuan. Ini dulu. []
*) Alto Luger, pemerhati konflik dan Timur Tengah