Laman Business Insider pada tahun 2014 lalu meliris beberapa bahasa yang dianggap paling sukar untuk dipelajari. Bahasa Arab menempati posisi tertinggi karena struktur bahasa yang rumit dan banyaknya kosakata yang memiliki varian makna dan terkadang tidak tunggal. Penulis sendiri sedari kecil mempelajari hal itu. Mulai dari Majelis Diniyah sampai kitab kuning semasa Aliyah (SMA) di Pesantren, dan sampai sekarang masih belum juga mampu menguasai bahasa yang jadi medium kitab suci Al-Quran tersebut. Bagi mereka yang ingin mempelajari islam dengan serius, belajar bahasa arab merupakan keharusan.
Proses mempelajari bahasa arab juga panjang dan harus melalui beberapa tingkat. Untuk itulah, tidak gampang menjadi ahli bahasa, apalagi menjadi ahli tafsir maupun ahli hadis yang dituntut bukan hanya sekadar mengandalkan gramatikal dan teks arab belaka, melainkan juga konteks (asbabun nuzul dan asbabul wurud) dan khatam ragam tafsir para pendahulu. Tapi, penulis kira, tidak perlu menjadi mahir bahasa arab untuk sekadar melihat bahwa kasus AgnezMo—yang memakai pakaian bertuliskan arab yang berbunyi Almuttahidah dalam sebuah konser di teve swasta—bukanlah sebuah pelecehan, apalagi terhadap islam.
Tulisan itu sendiri bermakna persatuan atau serikat, muasal katanya adalah wahada. Jadi, apa yang harus ditakutkan? Jika merunut KBBI sendiri, melecehkan memiliki arti: memandang rendah (tidak berharga); menghinakan; mengabaikan. Pertanyaannya kemudian, siapa yang merasa dipandang rendah? Siapa yang merasa dihina?
Jika kita melihat pada perdebatan di media sosial yang ramai terkait kasus ini, mereka yang menganggap kasus AgnezMo sebagai pelecehan terhadap islam biasanya adalah mereka yang kurang mengerti bahasa arab. Ini bisa jadi adalah asumsi, tapi jika ia tahu makna tulisan itu, tentu ia akan bersikap biasa saja. Toh, nukilan tersebut bukanlah dari ayat suci, atau pun bila lebih cermat lagi, kata tersebut bukanlah kata Alhamdulilah seperti yang mereka utarakan.
Islam bukan Arab
Islam datang pertama kali memang dari Jazirah Arab dan menggunakan bahasa arab sebagai mediumnya. Tapi harus juga diperhatikan bahwa tidak segala sesuatu yang berbau arab adalah bagian dari islam. Sebagai muslim, kita harus bisa memilah hal itu dan tentu saja menggunakan nalar yang sehat untuk menelaah. Konsep pribumisasi islam yang dicanangkan oleh Gus Dur sejak tahun 80-an sebenarnya adalah respons terhadap pola arabisasi yang mulai meruyak dalam tatanan masyarakat. Belakangan, di era internet, hal serupa juga menjangkiti masyarakat muslim kita.
Ariel Haryanto dalam disertasinya bertajuk Identitas dan Kenikmatan (2015) melihat pola itu sebagai bentuk kegamangan identitas muslim, khususnya mereka yang tinggal di kota. Ariel menyebutnya sebagai bentuk post islamisme, politik dan kultural. Sebagai sebuah konsep, post islamisme memiliki arti kemunculan kembali simbol arab secara kebudayaan sebagai representasi islam. Secara politik, post islamisme ini hanya mampu bergerak di wilayah Timur Tengah dan sukar masuk ke Indonesia, tapi secara kultural perkembangannya cukup signifikan.
Bukti kemunculan pola ini dapat dilihat dari budaya populer yang berkembang. Kita bisa mengambil contoh dari gimmick para ustadz di televisi yang dicitrakan sebagai sosok ganteng-cantik, atau juga para artis yang kerap menggunakan citraan budaya arab semisal gamis atau hal-hal yang berbau arab lain sebagai representasi keislaman mereka.
Keberadaan mereka tentunya akan berpengaruh ke masyarakat dan membentuk budaya populer. Padahal, hal itu belum tentu bagian dari islam, bisa jadi hanyalah budaya arab belaka. Budaya yang dibungkus lewat pola industri atau mode dan menjadikan islam hanya sebagai komoditas belaka.
Muslim Kagetan
Entah sejak kapan hal ini ini mula diperkenalkan, tapi saya kira istilah ‘kagetan’ ini sangat pas untuk melihat bagaimana seorang muslim dengan sangat gampang terkejut atas segala sesuatu, khususnya fenomena yang terjadi di luar pemahaman yang ia tahu.
Gus Mus dalam sebuah kesempatan memberikan petuah tentang bahaya menjadi muslim yang kagetan. Menurut pengasuh PP Raudlatut Thalibin Rembang ini, salah satu cirri orang adalah mereka yang kurang berilmu. “Ciri-ciri orang memiliki ilmu yang nyegoro (luas laksana lautan) salah satunya adalah tidak kagetan. Ada syiah kaget, ada Ahmadiyah kaget,” tutur beliau dalam kesempatan 7 hari wafatnya K. H. Sahal Mahfudz di Kajen, Pati (28/1).
Ilmu atau pengetahuan memberikan kita cara pandang terhadap segala sesuatu. Pikiran kita akan bisa melihat segala sesuatu bukan hitam-putih belaka. Akan selalu ada ruang negosiasi dan verifikasi dalam tempurung kepala seseorang jika ia memiliki pengetahuan yang cukup terhadap segala sesuatu, atau jika tidak, ia akan terus mencari. Termasuk pada perkara yang berbeda di luar dirinya.
Kesalahan seseorang adalah jika ia berhenti belajar dan mencari, lalu akhirnya memberikan justifikasi dan labelling terhadap sesuatu yang tidak ia ketahui. Buruknya lagi, jika ia hanya ikut-ikutan belaka. Kasus AgnezMo dengan pakaian bertuliskan Almuttahidah itu penulis kira kelak akan mengalami pola yang berulang.
Perulangan ini tentu saja agak menyedihkan mengingat sebenarnya pintu untuk mempelajari islam di era internet sebenarnya jauh lebih mudah. Cuma, memang harus lebih jeli dan teliti terhadap sumber bacaan. Jika tidak, maka kasus mudahnya menyebut pelecehan terhadap akan terjadi lagi.
Tentu saja kita tidak lupa, misalnya, lihat beberapa waktu lalu saat ramai penggunaan langgam Jawa pada pembacaan Al-Quran yang dianggap melecehkan islam, padahal itu diperbolehkan oleh ulama. Atau pun kasus yang terjadi pada Kristen koptik yang menggunakan bahasa arab di Mesir. Apakah tidak boleh menggunakan bahasa arab padahal mereka tinggal dan memakai bahasa arab sehari-hari? Tentu saja nalar sehat kita menolak itu.
Jika Gus Dur menyebut guru terbaik bagi dirinya dalah realitas, tentu saja kita bisa juga mempelajarinya. Dari realitas pula kita akan memahami pola yang terjadi dalam masyarakat keagamaan kita, yang begitu gampangnya mengikuti arus tanpa mengulik sumber terlebih dahulu. Padahal, dalam bermasyarakat kita tidak sendirian, ada ragam tipe manusia dan agama.
Di era banjir informasi seperti saat ini, sebagai muslim kita harus cermat dalam memilah segala sesuatu. Jika tidak, maka akan gampang sekali ikut arus dan menjadi muslim kagetan. Apakah anda begitu? Semoga saja tidak.
*Dedik Priyanto, alumni pp. Attanwir Talun, Sumberrejo Bojonegoro. Aktif di The Wahid Institute.