“Mengapa kebanyakan ustadz-ustadz di Indonesia yang mengharamkan musik adalah ustadz-ustadz lulusan Arab Saudi?” tanya seorang teman kepada saya.
“Ya, nggak semua lulusan Saudi juga. Itu yang cuma lulusan LIPIA juga ada, hahaha,” saya menimpali. Kami berdua pun tertawa.
Teman saya membenamkan headset di telinganya, lalu melanjutkan pertanyaanya, “Lha, wong, adem begini, kok, diharamkan. Masa mereka (orang Saudi) gak punya akun Youtube atau Tiktok, gitu?”
Perkataan teman-teman saya ini mungkin ada benarnya. Beberapa ustadz yang dakwah di Youtube dan mengharamkan musik, sebagian besar adalah alumni Arab Saudi. Khalid Basalamah adalah salah satu contohnya. Ia merupakan lulusan S1 Universitas Madinah. Firanda Andirja juga sama. Dalam situs web resminya, ia disebut sebagai lulusan S1-S3 di Madinah. Jangankan fatwa musik, intro video-video dakwahnya pun tak ada musiknya. Namun benarkah semua alumni Saudi demikian? Saya rasa tidak juga. Duo Said Aqil: Said Aqil Siraj dan Said Aqil al-Munawar adalah dua alumni Saudi yang tidak mengharamkan musik. Said Aqil al-Munawar malah beberapa kali kita jumpai mendendakan lagu berbahasa Arab dan diiringi musik.
Baca juga: Catatan Untuk Pendakwah Salafi: Benarkah Mendengar dan Bermain Musik Haram?
Arab Saudi memang memiliki fatwa khusus tentang musik. Melalui Lembaga fatwa resminya, Lajnah Daimah lil Buhuts al-Ilmīyah wal Iftā’ pernah mengeluarkan fatwa tentang keharaman musik. Bahkan dalam sebuah fatwa disebutkan, mendengarkan musik tetap haram walaupun tidak ada unsur melalaikan, misalnya tetap menjalankan ibadah tepat waktu, walaupun setelah itu mendengarkan music lagi. Hal ini bisa dirujuk pada fatwa nomer 4579 berikut:
ج: العزف حرام كالغناء، ولو لم يشغل العازف ومن يصغي إليه بالفعل عاجلا عن الصلاة ولا عن أدائها في الجماعة فإنه في نفسه لهو، ومن شأنه أن يشغل عن الصلاة أو واجبات أخرى، وله تأثير على حياة القلب وعلى الأخلاق، وذريعة إلى الفساد بالتدريج
Jawab: musik seperti nyanyian itu haram. Meskipun tidak membuat sibuk dan mendengarkannya masih tetap melakukan shalat Jamaah, tetap haram, karena musiknya sendiri itu bersifat melalaikan (lahwun) dan dapat membuat lalai dari shalat dan kewajiban lain. Musik juga memiliki dampak pada hati dan akhlak, juga menyebabkan kerusakan yang perlahan-lahan.
Selain fatwa ini, masih banyak fatwa lain yang membahas penjelasan dalil Al-Quran dan hadisnya. Tulisan ini tidak akan membahas lebih banyak dalil Al-Quran atau hadis yang berkaitan dengan keharaman musik dan perdebatannya. Semua itu bisa dibaca lebih jelas dalam artikel-artikel tentang hukum musik di Islamidotco.
Penulis malah lebih tertarik untuk membahas ambivalensi masyarakat Saudi tentang musik. Disebut ambivalen karena fatwa resmi ulama negara mengharamkan, tetapi dalam tataran praktisnya, orang-orang di Saudi sepertinya tidak betul-betul mentaati. Berbeda dengan Indonesia, lembaga yang dianggap sebagai representasi lembaga fatwa, seperti MUI misalnya sama sekali tidak mengeluarkan fatwa keharaman music secara resmi. Pendapat keharaman music hanya disampaikan beberapa ustadz tertentu. Itu pun masih bisa dibantah oleh ustadz atau pendakwah yang lain. Jadi wajar jika pendengar musik atau pemusik sangat bejibun. Bahkan kita masih sering menemukan speaker masjid yang memutar pujian atau shalawat dengan menggunakan musik.
Bisnis Streaming Musik di Arab Saudi Meningkat
Laporan Statista menyebutkan bahwa pendapatan dari bisnis musik di Arab Saudi pada tahun 2021 diproyeksikan meningkat sekitar 15,8% dengan jumlah revenue sebesar US$ 80 Miliar. Jumlah ini hanya selisih 4 % dengan Indonesia (19,4 %), sebagai negara tanpa fatwa haram musik. Bukan hanya itu, pada tahun 2025 diproyeksikan penghasilan tersebut meningkat hingga US$ 116 Miliar. Angka-angka ini merupakan hasil penelitian dari beberapa aplikasi streaming musik, seperti Spotify, Deezer dan Apple Music, belum termasuk konten radio dan video, seperti aplikasi Youtube dan Instagram.
Dengan angka-angka ini, nampaknya pemerintah Saudi juga sangat serius untuk menggarap bisnis musik. Pada tahun 2018, Spotify diizinkan untuk mendulang pasar di beberapa negara Timur Tengah, salah satunya Saudi. Laporan BBC menyebutkan bahwa Spotify baru ada pada tahun 2018 setelah berhasil memastikan infrastruktur untuk memonetisasi bisnis streaming musik ini. Artinya, pemerintah Saudi sudah memberikan jaminan infrastrutur monetisasi untuk bisnis ini. Jika tidak, Spotify juga tidak akan berani membuka pasarnya. Pemerintah Saudi dalam hal ini setengah menafikan fatwa Lajnah Daimah dan sebagian besar ulama Saudi yang memfatwakan keharaman musik.
Beberapa aplikasi pemutar video seperti Youtube dan Tiktok juga menjadi aplikasi (web) yang paling banyak didownload di Saudi. Youtube, Netflix dan Tiktok termasuk 50 besar situs yang banyak dikunjungi berdasarkan laporan Alexa dan Similarweb.
Sekelas negara yang memiliki fatwa ketat tentang keharaman musik saja, dalam hal bisnis dan keuangan agak negosiatif dengan fatwa resminya sendiri. Ini saja sudah agaka aneh. Apalagi malah ada Tiktok segala. hehe
Musik Populer: Dari BTS sampai Dance Monkey
Bukan hanya pemerintah, masyarakat Saudi sepertinya juga setengah acuh dengan fatwa tersebut. Jangan dibayangkan, ketika Youtube dan Spotify masuk Saudi, maka tren musik atau video yang paling banyak ditonton adalah video pengajian atau lagu shalawatan. Ternyata kita mungkin terlalu husnudzan. Hal ini bisa dilihat dari tren musik dan video yang dirilis oleh Youtube dan Spotify.
Pada tanggal 1 Desember 2020, Spotify merilis Top Track 2020 Saudi Arabia yang berisi lagu-lagu yang sering diputar oleh pengguna di Saudi. Dan tahukah kamu, bahwa lagu yang paling banyak diputar bukan bacaan tilawah Syekh As-Sudais atau imam Masjidil Haram yang lain, melainkan lagu Dance Monkey. Jangankan musiknya yang haram, liriknya juga haram, karena mengajak orang untuk berjoget, yang juga diharamkan oleh lembaga fatwanya, Lajnah Daimah. Selain itu, lagu-lagu tren lain juga diiringi oleh musik. Walaupun liriknya berbahasa Arab, musiknya tetap ada. Bahkan ada lagu Señorita yang dinyanyikan Shawn Mendes dan Camila Cabello yang terselip di antara lagu-lagu populer tersebut.
Pada tahun 2019, Spotify menyebut bahwa Saudi menjadi pasar besar K-Pop. Boyband BTS bahkan pernah mengadakan konser pada musim panas 2019 di Saudi dan semua tiketnya ludes terjual. Arabnews menyebut, BTS menjadi boyband yang lagunya paling banyak diputar di Saudi.
Beberapa fakta di atas menunjukkan bahwa fatwa keharaman musik yang disampaikan kelompok salafi adalah fatwa yang tidak mudah diterima banyak orang, hatta pemerintah Saudi sendiri. Oki Setiana Dewi dalam disertasinya berjudul “Pengajian Selebritas Hijrah Kelas Menengah Muslim (2000-2019): Respon atas Dakwah Salafi dan Jamaah Tabligh” juga menyebut bahwa para artis yang menerima dakwah salafi juga melakukan negosiasi dalam penerimaan. Biasanya untuk materi kajian yang berkaitan dengan profesi dan kebutuhan hidup.
Jika, dakwah keharaman musik di Arab Saudi saja gagal karena Spotify, Tiktok, dan Youtube. Bagaimana dengan Indonesia? Saya rasa Anda yang bisa menjawabnya. (AN)