.“Jawaban saya seperti Abdul Somad, Pak. Apakah saya harus meminta maaf untuk sebuah kebenaran yang saya yakini? Abdul Somad kan juga jawab yang sama, Pak,” kata Paul Zhang.
Statemen diatas saya kutip dari sebuah media online saat pewarta bertanya kemungkinan dia untuk meminta maaf atas perbuatannya.
Sebagai seorang muslim saya cukup tersentak atas jawaban Josep Paul Zhang alias Shindy Paul Soeryomoelyono, pelaku penodaan agama dalam video yang di unggah dalam satu akun Youtube beberapa hari lalu.
Kita ketahui bersama dalam Video yang diunggahnya itu, Paul secara seronok menyampaikan pengakuannya sebagai nabi ke 26, sesuatu yang diyakini mustahil oleh umat islam, Paul juga menambahkan banyak kalimat-kalimat yang menohok, terdengar satir yang bernada penghinaan atas Nabi Muhammad SAW.
Apakah sebagai muslim kita boleh merasa tersinggung? Tentu saja secara manusiawi boleh. Lalu setelah itu, apakah boleh marah? Lalu kemarahan seperti apa yang harus kita timpakan kepadanya?
Sebelum mengambil keputusan akan jenis kemarahan yang kita pilih, mari sejenak menengok kejadian-kejadian sebelum ini yang boleh jadi menjadi pemicu dari perbuatan Zhang itu.
Jawaban paling nyata ada pada statement diatas, dimana dia dengan percaya diri meminjam jawaban seorang da’i terkenal saat dimintai keterangan atas statement kontroversial yang diduga telah menyinggung perasaan umat kristiani.
Boleh jadi ini adalah titik puncak kegeraman Zhang –atau bisa jadi banyak non muslim– atas statement-statement oknum pemuka agama kita sebelumnya yang melukai perasaan umat beragama diluar Islam.
Ini adalah sebuah pembuktian spiritual, Alquran pernah dengan tegas melarangnya, tapi kejadian seprti ini kerap berulang.
وَلَا تَسُبُّوا الَّذِيْنَ يَدْعُوْنَ مِنْ دُوْنِ اللهِ فَيَسُبُّوا اللهَ عَدْوًاۢ بِغَيْرِ عِلْمٍۗ كَذٰلِكَ زَيَّنَّا لِكُلِّ اُمَّةٍ عَمَلَهُمْۖ ثُمَّ اِلٰى رَبِّهِمْ مَّرْجِعُهُمْ فَيُنَبِّئُهُمْ بِمَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ
“Dan janganlah kamu memaki sesembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa dasar pengetahuan. Demikianlah, Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan tempat kembali mereka, lalu Dia akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka kerjakan” (QS Al-An’am: 108).
Dan kejadian Paul zhang seperti pembuktian nyata akan pesan Alquran di atas.
Lalu bagaimana sikap nabi kita yang welas asih saat mengalami perlakuan penghinaan disertai kekerasan seperti diriwayatkan dalam Shahih Bukhari-muslim, saat dalam perjalanan di wilayah Thaif, kaki beliau terluka terkena lemparan batu setelah melewati aneka cemoohan dan penghinaan, bahkan sahabat lain ada yang hingga berdarah di kening. Hingga malaikat jibril berseru, andaikata nabi berkenan, jibril akan memerintahkan malaikat penjaga dua gunung aby qubaisy untuk menimpakkan dua gunung itu kepada penduduk Thaif.
Alih-alih mengamini kesempatan itu, Rosul kita yang welas asih malah memilih berdoa untuk kebaikan penduduk thaif yang menghinanya, berharap suatu saat anak cucu para penghinanya bisa beriman kepada Allah.
Ini adalah sebuah pesan cinta dari Sang uswatun hasanah.
Statement Paul Zhang bukanlah sebuah pernyataan ilmiah yang patut dijadikan bahan telaahan oleh kita, itu tak lebih dari olok-olok semata yang boleh jadi bertujuan memancing kegaduhan diantara umat beragama.
Saya teringat dengan kutipan seorang tokoh Atheis barat Richard Dawkins dalam bukunya Outgrowing god, dia menyatakan kurang lebih bahwa orang yang memeluk agama adalah orang yang gagal dewasa. Walau statement ini masih bisa dibantah dengan ilmiah, tapi lagi-lagi setelah kejadian ini boleh jadi Richard Dawkins terkekeh-keleh seraya berkata:
“Tuh kan, gue kate juga ape!”
Jika kita tak mau menjadi bahan olok-olok orang lain, berhentilah memperolok sesembahan umat beragama lain.
Alih-alih melakukan olok-olok serupa terhadap Paul Zhang yang belum mendapat “cahaya iman”, bagaimana kalo kita ikuti sikap Rosul di atas.
Mendoakannya, semoga mendapat hidayah, siapa tahu Cahaya Iman akan datang dari anak keturunannya kelak.