Saat kita membaca terjemahan Al-Qur’an, mungkin di antara kita pernah menemukan kata tandingan Allah. Jika ditarik ke definisi bahasa Indonesia, sebagaimana yang dijelaskan oleh KBBI, bahwa tandingan adalah sesuatu yang seimbang dengan yang lain; imbangan, lawan yang seimbang.
Kata andād (tandingan) bisa kita temukan dalam surat al-Baqarah ayat 22 berikut:
الَّذِيْ جَعَلَ لَكُمُ الْاَرْضَ فِرَاشًا وَّالسَّمَاۤءَ بِنَاۤءً ۖوَّاَنْزَلَ مِنَ السَّمَاۤءِ مَاۤءً فَاَخْرَجَ بِهٖ مِنَ الثَّمَرٰتِ رِزْقًا لَّكُمْ ۚ فَلَا تَجْعَلُوْا لِلّٰهِ اَنْدَادًا وَّاَنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ ٢٢
Artinya: “(Dialah) yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dialah yang menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia hasilkan dengan (hujan) itu buah-buahan sebagai rezeki untukmu. Karena itu janganlah kamu mengadakan tandingan-tandingan bagi Allah, padahal kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 22)
Juga dalam surat al-Baqarah ayat 165 berikut ini:
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَّتَّخِذُ مِنْ دُوْنِ اللّٰهِ اَنْدَادًا يُّحِبُّوْنَهُمْ كَحُبِّ اللّٰهِ ۗ وَالَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَشَدُّ حُبًّا لِّلّٰهِ ۙوَلَوْ يَرَى الَّذِيْنَ ظَلَمُوْٓا اِذْ يَرَوْنَ الْعَذَابَۙ اَنَّ الْقُوَّةَ لِلّٰهِ جَمِيْعًا ۙوَّاَنَّ اللّٰهَ شَدِيْدُ الْعَذَابِ ١٦٥
Artinya, “Dan di antara manusia ada orang yang menyembah tuhan selain Allah sebagai tandingan, yang mereka cintai seperti mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman sangat besar cintanya kepada Allah. Sekiranya orang-orang yang berbuat zalim itu melihat, ketika mereka melihat azab (pada hari Kiamat), bahwa kekuatan itu semuanya milik Allah dan bahwa Allah sangat berat azab-Nya (niscaya mereka menyesal).” (Surat al-Baqarah 165)
Baca juga: Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 143: Menjadi Umat yang Moderat
Dengan demikian, apakah yang dimaksud dalam frasa tersebut lawan yang seimbang bagi Allah? Tentu tidak. Karena Allah Maha Kuasa atas segala hal, tidak ada sesuatupun yang menyerupai-Nya, apalagi menandingi-Nya.
Kata tandingan di dalam Al-Qur’an disebutkan dengan kata andād yang merupakan bentuk jama’ dari kata niddun. Adapun kata niddun menurut kamus Lisan al-Arabiy, niddun berarti serupa dan kawan. Ada juga yang mengatakan bahwa niddun adalah lawan atau sesuatu yang serupa.
Selanjutnya, arti niddun secara istilah yaitu sesuatu yang berbeda dengannya dan berlawanan dengannya. Dan yang dimaksud tandingan oleh mereka adalah sesuatu yang dijadikan sebagai tuhan selain Allah SWT. Akan tetapi, pemahaman tandingan Allah, tidak cukup dengan arti yang diuraikan dari kamus-kamus Arab. Perlu dilihat bagaimana pendapat para mufassir terhadap kata tersebut.
Menurut Thabathaba’i kata nidd bermakna semisal atau hal yang sepadan dengan Allah SWT. Yang dimaksud semisal Allah Swt di sini adalah setiap sesuatu yang memiliki kemungkinan untuk dijadikan sekutu Allah SWT.
Selanjutnya, dalam menafsirkan al-Baqarah ayat 165, at-Thabataba’i menambahkan bahwa pada hakikatnya, semua manusia mengetahui bahwa tiada Tuhan selain Allah SWT dan hanya Allah SWT lah yang berhak mereka sembah. Namun, karena ada beberapa faktor lain seperti halnya hawa nafsu, maka atas dasar itulah akhirnya mereka menjadikan tandingan bagi Allah SWT.
Selanjutnya, dalam ayat ini beliau juga memberikan analogi kecil tentang arti tauhid melalui kata cinta; “Barang siapa yang mencintai sesuatu maka ia akan patuh dan taat terhadap sesuatu itu dan ia tidak mungkin menduakan sesuatu yang ia cintai dengan sesuatu selainnya”.
Dalam tafsir al-Kabir, Fakhruddin ar-Razi menjelaskan, kata andād berasal dari bentuk tunggal nidd yang memiliki makna setiap sesuatu yang diserupakan kepada Allah SWT dan menjadi tandingan atas kekuasaan mutlak-Nya.
Ar-Razi menyebut, berdasarkan buku-buku sejarah, ada tiga hal yang bisa menjadi tandingan Allah, yakni bintang-bintang, salib dan patung-patung. Bintang-bintang adalah tandingan yang dijadikan sesembahan oleh kaum Shaibah atas kekeliruan mereka dalam memaknai hakikat ke-Tuhan-an. Kemudian, salib merupakan simbol suci para kaum nasrani. Sedangkan patung-patung menjadi sesembahan kebanyakan orang Arab pada zaman awal datangnya Islam, juga merupakan sesembahan masyarakat Yunani kuno yang juga diyakini sebagai Tuhan mereka.
Sedangkan saat menafsirkan ayat 165, karena ada perbendaharaan kata yang baru dan berbeda dengan ayat sebelumnya, Ar-Razi membagi tandingan itu dari sisi yang berbeda menjadi dua bagian. Pertama, tandingan Allah SWT berbentuk patung (benda mati) yang tidak bisa memberikan manfaat ataupun madharat kepada penyembahnya. Kedua, tandingan Allah SWT berupa para raja dari golongan manusia (benda hidup) yang menghalalkan hal yang Allah haramkan dan mengharamkan hal yang Allah halalkan.
Dalam ayat 165 terdapat dhamir atau kata ganti هم dalam kata يحبونهم. Dalam ilmu nahwu dijelaskan bahwa dhamir هم hanya untuk makhluk yang berakal, hal ini menjadi dalil ar-Razi untuk menyebut bahwa tandingan dalam ayat tersebut adalah termasuk para raja dari golongan manusia.
Selain pendapat di atas, ada juga pendapat dari kaum sufi dan ahli hikmah yang mengatkan bahwa tandingan Allah SWT adalah hawa nafsu manusia yang selalu membuat lupa keberadaan Allah SWT.
Dengan demikian, memang tidak ada lawan yang sepadan bagi Allah, tandingan-tandingan diciptakan oleh manusia sendiri, sehingga menjadikan mereka melakukan dosa besar, yakni syirik. (AN)
Wallahu ‘alamu bi ash-Shawâb