Waktu awal pandemi dulu, para ulama meminta kita shalat Jumat diganti dengan shalat Zuhur di rumah. Itu terjadi selama bebarapa pekan. Lambat laun, para ulama dan pemerintah sudah mulai melonggarkan shalat Jumat di masjid dengan protokol yang disarankan para dokter dan pemerintah.
Waktu awal pandemi, bahkan ada yang mengadakan shalat Jumat virtual via Zoom atau Google Meeting. Bukan shalat Zuhur 4 rakaat seperti biasa. Teman-teman yang shalat Jumat via Zoom itu berargumen dengan dalil dari buku karya ulama hadis Maroko, Syekh Abdullah Shiddiq al-Ghumari.
Nama bukunya itu Al-Iqna’ bi Shihhati Shalat al-Jum’ah fil Manzil Khalfal Midzya’. Di masa Syekh Abdullah Shiddiq, yang dipraktikkan itu shalat Jumat via radio, yang tidak ada visualisasi, hanya mengandalkan suara. Zoom atau Google Meeting tentu sdh lebih maju dari radio.
Ada beberapa poin yang saya baca dari buku yang berjumlah 73 halaman tersebut. Pertama, hal yang utama dalam shalat Jumat itu ya terletak pada khutbahnya. Menggunakan radio itu khutbah Jumat dapat tersampaikan. Ini juga sama menggunakan Zoom atau Google Meeting, khutbah Jumat tersampaikan.
Untuk konteks itu, ketika jaringan internet bagus dan kuat, tentu pesan khutbah Jumat akan lebih terdengar dan mengena ke telinga para jemaah. Kedua, shalat Jumat itu boleh dilakukan di rumah, atau tempat apapun yang suci di selain masjid.
Syarat utama dalam shalat Jumat itu hanya terletak pada harus berjemaah dan harus ada khutbah Jumatnya. Pertama kali shalat Jumat dilakukan itu di rumah Sa’d bin Khaitsamah. Ketiga, shalat Jumat itu tidak harus berdekatan jarak.
Dalam hal ini, Syekh al-Ghumari berdalil dengan hadis-hadis mengenai malaikat yang mengamini bacaan Alfatihah orang-orang yang shalat secara berjemaah. Yang berbeda alam saja bisa, apalagi yang masih sama-sama satu alam, walaupun berbeda jarak negara sekalipun.
Selain itu, ulama Maroko ini mengilustrasikan shalat jenazah yang bisa dilakukan secara ghaib. Misalnya, jenazah ada di Amerika, tapi kita menyalatinya dari Indonesia. Tapi ada tiga syarat dari Syekh al-Ghumari mengenai kebolehan shalat Jumat virtual.
Pertama, khatib dan jemaah itu sama-sama pas di waktu zuhur, walaupun berbeda jam, dan berbeda daerah atau negara. Kedua, wilayah atau rumah jemaah itu berada di belakang wilayah atau rumah khatib. Depannya Tangsel itu Jaksel, belakangnya Tangsel itu Tangerang.
Biasanya di setiap daerah itu ada plang selamat datang, ini pertanda kita masuk di bagian depan. Bagian belakang wilayah biasanya ditandai plang selamat jalan. Ketiga, jemaah harus ada teman lain yang berada dalam satu shaf, tidak boleh sendirian.
Pendapat ini memang tidak banyak diikuti. Tapi bila seumpama memang masih benar-benar merasakan kekhawatiran terkena covid-19 yang sangat besar mungkin bisa mengambil alternatif pendapat ini. Mayoritas ulama berpandangan, shalat Jumat itu harus offline, tidak boleh virtual