Mungkin sudah banyak di antara kita yang mengenal masa Jahiliyah sebelum Islam. Masa di mana perempuan diperlakukan secara tidak manusiawi. Begitu lahir, banyak yang dikubur hidup-hidup karena dianggap memalukan. Mereka yang selamat bisa mengalami perkawinan dan perceraian dini sebelum mengalami menstruasi, dipoligami dengan jumlah istri tak terbatas, dijadikan jamuan atau hadiah bagi tamu, dijadikan jaminan hutang, dan jika suaminya meninggal mereka diwariskan layaknya harta benda.
Lebih dari itu, tahukah anda bahwa pada masa itu, perempuan pernah dipertanyakan apakah mereka manusia atau bukan? Bolehkah mereka beribadah? Jika beribadah, apakah mereka bisa memperoleh pahala? Dapatkan mereka masuk surga?
Dalam QS. al-Hujurat (49:13), Allah Swt merespon keraguan tersebut dengan tegas:”Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian terdiri dari laki-laki dan perempuan dan menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Ayat di atas menegaskan beberapa hal terkait keraguan akan jati diri perempuan, yaitu bahwa mereka adalah manusia. Bahwa faktor yang menentukan kemuliaan seseorang di hadapan Allah Swt bukanlah status sosial maupun jenis kelamin, melainkan ketaqwaan. Sehingga perempuan yang bertaqwa tentu saja lebih mulia daripada laki-laki yang tidak bertaqwa. Penegasan ini diikuti dengan penegasan lainnya bahwa perempuan bisa beribadah, dapat pahala, dan bisa pula masuk surga. Sebagai sama-sama manusia, perempuan dan laki-laki sama-sama mengemban status sebagai hamba Allah Swt dan mengemban mandat sebagai khalifah fil ardl.
Berdasarkan hal ini, Islam pada dasarnya memberikan kewajiban yang sama pada laki-laki dan perempuan. Rukun Imannya sama-sama enam. Laki-laki dan perempuan sama-sama diwajibkan beriman kepada Allah, Malaikat, kitab-kitab Allah, Rasul-rasul Allah, Hari Akhir, dan Qadla Qadar.
Rukun Islamnya juga sama-sama lima. Laki-laki dan perempuan sama-sama wajib syahadat, mengerjakan shalat, membayar zakat, menjalankan puasa di bulan Ramadhan seperti sekarang, dan berhaji jika mampu. Demikian pula kewajiban-kewajiban sosial seperti memerintahkan kebaikan (al-amru bil ma’ruf) dan mencegah keburuhan (an-nahyu anil munkar).
Meskipun laki-laki dan perempuan punya kewajiban untuk beriman dan beramal shaleh, namun Allah Swt tetap mempertimbangkan alat, fungsi, dan masa reproduksi yang khas dimiliki perempuan. Mereka mengalami menstruasi, kehamilan, melahirkan, nifas, dan memberikan ASI. Sementara laki-laki sama sekali tidak. Atas dasar fungsi ini, perempuan diberikan keringanan-kerinnganan beribadah, atau yang disebut sebagai rukhshah.
Misalnya selama menstruasi dan nifas, perempuan dibebaskan dari shalat dan tidak diwajibkan menggantinya, dibebaskan dari puasa di bulan Ramadhan dan menggantinya di bulan lain, juga dijaga alat reproduksinya melalui larangan berhubungan seksual dengan mereka hingga selesai periode menstruasi tersebut.
Perempuan yang hamil dan sedang menyusui bayi juga diperbolehkan untuk tidak puasa di bulan Ramadhan. Ibu yang meninggalkan puasa karena kemaslahatan dirinya semata maka cukup mengganti (qadla) yang ditinggalkan di hari lain. Tanpa perlu membayar fidyah. Misalnya, sang bayi sebenarnya baik-baik saja ketika ibunya puasa sekalipun, tetapi justru ibu yang mungkin lemas dan sakit jika berpuasa.
Jika meninggalkan puasa untuk kepentingan bayinya, bukan untuk diri sang ibu, maka cukup membayar fidyah saja tanpa perlu mengqadla. Yaitu ketika sang ibu sebenernya kuat berpuasa tapi khawatir bayinya akan kekurangan gizi, rewel, atau bisa jatuh sakit. Tetapi jika meninggalkan puasa karena kemaslahatan untuk dirinya sekaliugs untuk sang bayi, maka ia harus mengqadla dan membayar fidyah juga.
Fidyah adalah sejumlah makanan pokok yang diberikan kepada orang miskin oleh mereka yang meninggalkan puasa. Sementara qadla mengganti puasa yang ditinggalkan pada bulan lain sebelum datang bulan Ramadan berikutnya.
Islam telah memberikan contoh kongkrit bagaimana mendudukkan perempuan sama dengan laki-laki tanpa mengabaikan kondisi-kondisi khusus yang mungkin dialami perempuan karena alat, fungsi, dan masa reproduksinya, juga karena status sosialnya. Hal ini mestinya menjadi inspirasi bagi setiap orang, keluarga, masyarakat, dan negara untuk memberikan perhatian khusus saat perempuan menjalankan masa reproduksinya. (FQH).
Tulisan ini sebelumnya dimuat di sini