Shafiyah binti Huyay, putri penguasa Yahudi yang cerdas, berparas cantik dan memiliki nasab yang baik.
Putri Yahudi ini memiliki nama lengkap Shafiyah binti Huyay bin Akhthab bin Sa’yah bin Tsa’labah. Shafiyah lahir tiga tahun sebelum kenabian. Ayahnya bernama Huyay bin Akhthab, seorang pemimpin Yahudi bani Nadlir yang berkomplot dengan musuh-musuh Nabi untuk menyerang umat Islam. Sedangkan ibunya bernama Barrah binti Samuel dari kalangan Yahudi bani Quraidzah.
Bani Nadlir dan bani Quraidzah awalnya hidup berdampingan di sekitar kota Madinah, namun mereka kemudian diusir oleh Nabi karena sering mengadu domba dan melakukan banyak penghianatan.
Shafiyah Merupakan keturunan dari Nabi Harun AS yang tak lain adalah saudara kandung dari Nabi Musa AS. Garis keturunannya sampai pada Nabi Ishaq AS, melalui jalur Lewi, putra Nabi Ya’qub AS dengan istrinya yang bernama Lea.
Pada awal tahun ke 7 H, di penghujung bulan Muharram, Nabi Muhammad SAW memimpin sendiri pasukannya menyerang Khaibar. Khaibar merupakan markaz umat Yahudi yang hendak melakukan balas dendam setelah terusir dari Madinah. Tujuan Nabi menyerang Yahudi Khaibar adalah untuk menghentikan ancaman yang hendak menghancurkan umat Islam.
Secara logika peperangan yang terjadi di tanah yang subur ini, sangatlah tidak seimbang. Orang-orang Yahudi Khaibar memiliki jumlah tentara jauh lebih besar dibanding tentara umat Islam, di samping itu di tanah Khaibar terdapat pabrik metal yang memproduksi berbagai senjata tajam.
Namun dengan pertolongan Allah, umat Islam dapat memenangkan peperangan dahsyat ini. Nabi Muhammad beserta kaum muslimin mendapatkan harta rampasan perang yang sangat banyak dan para perempuan yang menjadi tawanan.
Shafiyah termasuk salah satu yang menjadi tawanan perang.
Salah seorang sahabat Nabi yang ikut berjuang dalam perang Khaibar yaitu Dihyah al-Kalby meminta salah satu perempuan yang tertawan untuk dijadikan budak. Nabi pun mempersilahkannya untuk memilih perempuan yang ia sukai. Dihyah memilih Shafiyah binti Huyay.
Mengetahui hal ini, sahabat yang lain pun protes dan memberitahu nabi bahwa Shafiyah adalah seorang bangsawan Yahudi dan hanya layak untuk Nabi Muhammad SAW. Nabi langsung mengatakan pada Dihyah, supaya dia mengambil perempuan tawanan yang lain dan memilih Sofiyah untuk Nabi sendiri.
Setelah peperangan selesai, Rasulullah SAW tidak langsung beranjak dari Khaibar, beliau menunggu sampai Shafiyah suci dari haid. Sebagaimana ketentuan Islam, seorang budak atau tawanan dapat digauli dengan iddah satu kali haid.
Rasulullah SAW membonceng Shafiyah dan membawanya ke Madinah. Ketika sampai di daerah Shahba’, Rasulullah beserta rombongan kaum muslimin beristirahat, mendirikan tenda dan bermalam di sana.
Di malam itu lah Rasulullah SAW mulai berbincang-bincang dengan Shafiyah binti Huyay. Tatkala memandanginya, Rasulullah mengetahui bahwa ada hal yang tidak wajar dengan matanya, Nabi pun bertanya, “Kenapa dengan matamu, Shafiyah?” Shafiyah menjawab, “Dulu aku pernah bermimpi melihat bulan di pangkuanku, lalu aku menceritakan hal tersebut pada suamiku, Kinanah. Dia langsung menamparku dan menuduhku telah menyukai pemimpin Madinah,” ungkap Sofiyah yang enggan mengucapkan secara langsung pada lelaki yang disebut oleh Kinanah.
Shafiyah berkata lagi pada Nabi, “Bagaimana mungkin aku bisa menyukai lelaki yang paling aku benci, dia telah membunuh ayahku, suamiku, dan tentu saja aku tidak akan pernah bisa memaafkannya.”
Mendengar hal itu, Rasulullah SAW secara perlahan dan lembut menjelaskan pada Shafiyah tentang perilaku ayahnya kepada Nabi dan kepada umat Islam.
“Shafiyah, ayahmu tidak henti-hentinya memusuhiku. Ia menghasut orang-orang Arab untuk menyerang kaumku. Ayahmu juga menghasut pemimpin bani Quraidzah untuk menghianatiku, kaummu telah melakukan hal ini, hal itu.”
Rasulullah menjelaskan semuanya pada Shafiyah secara detail sampai Sofiyah merasa tenang dan menghilangkan kebencian itu. Shafiyah bercerita dalam sebuah Riwayat, “Aku tidak bisa berkata apa-apa lagi, dan sejak saat itu tidak ada orang yang paling aku cintai melebihi cintaku pada Rasulullah SAW,” kenang Sofiyah. Ia menceritakan kejadian tersebut pada muridnya.
Melihat Shafiyah yang hanya diam tanpa komentar, Rasulullah langsung memberikan pilihan padanya, “Pilihlah, wahai Shafiyah. Jika engkau memilih Islam, maka aku akan menikahimu. Dan jika engkau tetap memilih Yahudi, maka aku akan tetap membebaskanmu sehingga engkau dapat kembali ke kaummu.”
“Wahai Rasulullah aku sudah lama menyukai Islam dan percaya padamu sebelum engkau mengajakku. Aku sudah tidak tertarik lagi pada agama Yahudi. Ayahku sudah tiada, saudara pun juga tidak ada, sedangkan engkau memberiku pilihan antara kafir dan Islam? tentu saja Allah dan Rasulnya lebih aku senangi dari pada kebebasan dan kembali pada kaumku,” jawab Sofiyah dengan penuh keyakinan.
Mendengar respon Shafiyah, Rasulullah merasa lega dan menepati perkataan beliau. Rasulullah terlebih dahulu memerdekakan Shafiyah, kemudian beliau menikahinya.
Para perempuan yang ikut dalam rombongan perang Khaibar mempersiapkan Shafiyah sebagai pengantin di malam itu. Salah satunya adalah Ummu Sinan al-Aslamiyah, sahabat Nabi yang menyediakan minuman dan mengobati para sahabat yang terluka dalam perang.
Ummu Sinan berkata, “Akulah yang menyisir rambutnya dan memberinya parfum, malam itu Shafiyah terlihat paling cantik dan bersinar di antara semua perempuan. Ketika sudah pagi, aku bertanya pada Sofiyah tentang malam pengantinnya,” Shafiyah menjawab, “Rasulullah sangat senang, kami tidak tidur semalaman dan terus berbincang-bincang sampai pagi,” ungkap Sofiyah dengan riang.
Keesokan harinya Rasulullah SAW mengumumkan pernikahannya pada para sahabat dan mengadakan walimah (resepsi) dengan membagi-bagikan kurma, keju, dan roti. Rasulullah mengumpulkan para sahabat dan berkata pada mereka, “Makanlah jamuan ini, ini adalah walimah dari ibu kalian (Shafiyah binti Huyay)”.
Rasulullah SAW bermukim di perjalanan menuju Madinah selama tiga hari tiga malam. Setelah itu beliau melanjutkan perjalanannya menuju Madinah bersama dengan kaum muslimin.
Anas bin Malik bercerita, “Aku melihat Rasulullah meletakkan pelana di untanya. Lalu beliau naik, dan membiarkan lutut beliau menjadi pijakan bagi Shafiyah, sampai Shafiyah naik dan dibonceng oleh Nabi. Saat itu Nabi menutupi Sofiyah dengan hijab, sebagai tanda bahwa ia adalah Ummul Mukminin,” kata Anas menceritakan kejadian yang dilihatnya sewaktu kecil pada perang Khaibar.
Peristiwa pernikahan Nabi dengan putri Yahudi ini terjadi pada tahun 7 H atau 629 M. Saat itu Shafiyah baru akan menginjak umur 17 tahun. Di usianya yang masih muda, Shafiyah telah menjadi janda sebanyak 2 kali. Suami pertamanya bernama Sallam bin Misykam, pernikahan itu berakhir dengan perceraian, kemudian Sofiyah kembali menikah lagi dengan Kinanah yang kemudian terbunuh pada perang Khaibar.
Menurut beberapa cendekiawan, mimpi Shafiyah melihat bulan di pangkuannya merupakan sebuah pertanda bahwa ia kelak akan menjadi wanita mulia. Di samping itu, Shafiyah adalah seorang perempuan yang cerdas, ia menjadi kebanggaan ayah dan keluarganya. Shafiyah telah mengetahui kebenaran Nabi Muhammad dari percakapan ayah dan pamannya. Ayahnya mengakui kebenaran Rasulullah yang sesuai dengan informasi dalam kitab Taurat, namun sang ayah bersikukuh untuk memusuhi nabi.
Berbeda dengan putrinya, Shafiyah. Kecerdasannya menuntun Shafiyah pada Islam dan menerima agama ini dengan mudah dan tanpa memiliki persyaratan apapun. Hatinya telah dipenuhi dengan kerinduan pada Islam bahkan sebelum Nabi mengajaknya. (AN)
Wallahu a’alam.