Selain madzhab empat, ada juga mazhab Jaririyah yang telah kehilangan penganut.
Sebagaimana kita tahu, mazhab fikih yang familiar di telinga masyarakat Indonesia dan dunia adalah al-Madzhahib al-Arba’ah atau biasa diartikan dengan empat mazhab. Masing-masing dari mereka ialah mazhab Hanafi, yang mengacu kepada seorang ahli fikih asal kufah yang bernama Nu’man ibn Tsabit (Abu Hanifah), mazhab Maliki, mengacu kepada ahli fikih asal Madinah yang bernama Malik ibn Anas, mazhab Syafi’i, mengacu kepada ahli fikih asal Gaza dan mazhab Hanbali, mengacu kepada ahli fikih asal Baghdad, Ahmad ibn Hanbal.
Selain mazhab-mazhab tersebut, sebenarnya masih banyak mazhab lain, seperti mazhab Dzahiriyyah, mazhab yang mengacu kepada Abu Dawud adz-Dzahiri yang salah satu penganutnya adalah Ibn Hazm al-Andalusi, pengarang kitab fikih besar yang dinamainya dengan al-Muhalla. Namun, yang hilang dari sorotan dunia adalah mazhab Jaririyah, mazhab fikih yang sempat berjaya di daerah Tabaristan dan sekitarnya. Pertanyaannya adalah, siapa pencetus dari mazhab yang hilang ditelan bumi ini? Lalu, bagaimana bisa mazhab ini tidak dikenal oleh masyarakat dunia?
Pencetus Madzhab Jaririyah
Beliau adalah Ibn Jarir al-Thabari, Muhammad ibn Jarir ibn Yazid ibn Katsir ibn Ghalib al-Thabari. Ibn Jarir al-Thabari, lahir di kota Tabaristan pada tahun 224 Hijriah, ada juga yang mengatakan bahwa beliau lahir pada tahun 225 Hijriah. Beliau merupakan ulama dengan multi keahlian, seperti : Qiraat, Sejarah, Tafsir, Hadis, Fikih dan lain-lain. Namun, dari berbagai keahlian yang beliau miliki, Ibn Jarir lebih dikenal sebagai bapak sejarah dan bapak tafsir dalam Islam. Hal ini sebagaimana dituturkan oleh Muhammad Husain al-Dzahabi dalam kitabnya yang bernama al-Tafsir wa al-Mufassirun.
Baca juga: Ini Kitab Tafsir Al-Qur’an Terlengkap Pertama
Kepakarannya dalam dua bidang tersebut tidak bisa dipungkiri. Hal ini bisa dilihat dari karya beliau yang berjudul Tarikh al-Umam wa al-Muluk. Kitab ini merupakan kitab yang terbilang babon (induk) dalam kajian sejarah selain kitab al-Bidayah wa al-Nihayah karya Ibn Katsir dan al-Kamil fi al-Tarikh karya Ibn al-Atsir. Sebab, kitab ini panjang lebar mengurai tentang sejarah, mulai dari penciptaan waktu, kisah nabi dan lain-lain. Kitab yang ditulis oleh al-Thabari ini juga sudab diterjemahkan dalam bahasa Inggris yang tersedia dalam kurang lebih 30-an jilid.
Sedangkan, karya beliau dalam tafsir adalah kitab Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wili Ayi al-Qur’an, kitab yang digadang-gadang sebagai kitab terpenting dalam dunia tafsir.
Ada kisah menarik saat al-Thabari menulis kitab ini. Pada saat itu, beliau mengajak muridnya untuk menulis kitab tafsir yang kurang kebih berjumlah sebanyak 30.000-an lembar. Namun, anak didiknya ternyata tidak berkenan memenuhi ajakan gurunya itu, lantaran begitu banyaknya jumlah lembar kertas yang akan dipenuhi dengan tafsiran itu. Oleh karenanya, al-Thabari kemudian meringkas tulisan yang semula ditargetkan 30.000 lembar itu menjadi 3.000 lembar (halaman).
Kepakarannya dalam berbagai disiplin keilmuan ini menjadikan al-Thabari sebagai tokoh yang bisa menyandang gelar Mujtahid Mutlaq yang diartikan oleh Ibrahim al-Baijuri dalam kitabnya yang bernama Hasyiyah al-Baijuri sebagai orang yang berhak menggunakan teks (Al-Qur’an dan al-Sunnah) secara mutlak. Tentu bukan sembarang orang yang bisa menyandang gelar prestisius ini, untuk menjadi seorang yang mendapatkan gelar tersebut, setidaknya harus menguasai betul berbagai disiplin keilmuan sebagaimana yang dikuasai oleh al-Thabari tersebut.
Robohnya Madzhab Sang Ulama Tafsir
Dalam cerita otobiografinya, dikisahkan kejadian yang sangat menyedihkan. Cerita tersebut mengisahkan bagaimana al-Thabari yang merupakan seorang Mujtahid Mutlaq ditinggalkan oleh para pengikutnya. Dalam kitabnya yang berjudul al-Tabshir fi Ma’alim al-Din dikatakan, bahwa pada mulanya mazhab ini mempunyai banyak pengikut. Mereka berpegang teguh kepada pandangan-pandangan dan ijtihad yang dihasilkan oleh Ibn Jarir al-Thabari. Namun, cerita berbalik ketika al-Thabari mendapatkan label tasyayyu’ (sebuah tuduhan yang menyatakan bahwa orang tersebut menganut mazhab Syi’ah).
Baca juga: Cikal Bakal Munculnya Gerakan Politik Syiah
Fitnah (tuduhan) ini begitu melekat dalam diri al-Thabari. Lambat laun, beliau pun mulai ditinggalkan oleh beberapa pengikutnya. Bahkan, pendapat-pendapat dan ijtihadnya pun tidak dihiraukan lagi oleh para pengikutnya. Hal ini berlangsung sampai beliau wafat. Diceritakan, bahwa al-Thabari sengaja dimakamkan di waktu malam hari untuk menjaga keselamatan jasad beliau dari amukan para pengikutnya yang telah menganggap beliau pro terhadap mazhab Syi’ah. Demikianlah, kisah ulama yang cerdik cendekia, Ibn Jarir al-Thabari dengan segala lika-liku kehidupannya.
Semoga, kita senantiasa bisa mengambil hikmah dari kisah pendiri madzhab Jaririyah ini serta para kekasih Allah yang banyak mendapatkan ujian di dunia. (AN)