Apakah simpati kita hanya untuk saudara seiman? Pertanyaan ini mungkin terlihat emosional. Apalagi, jika melihat kejadian akhir-akhir ini, di mana perbincangan tragedi penembakan enam orang di Tol Cikampek membanjiri media massa dan linimasa media sosial. Banyak tokoh publik yang turut berkomentar dan mengutuk keras kejadian tersebut. Selain itu, mereka juga menuntut pengusutan tuntas dan transparan soal kasus yang masih menjadi misteri ini.
Ustaz Abdus Somad, Fatih Karim, Habib Ali al-Habsyi hingga politisi Fadli Zon adalah di antara publik figur yang bersuara lantang di akun media sosial mereka. Selain itu, juga ada para influencer Islamis, macam Fuadh Bakh, @predatorquran, atau @hannykristanto. Mereka semua memiliki kesamaan, yakni mengutip ayat dari Alquran dan hadis untuk memperkuat argumen mereka, entah secara tersirat atau tersurat.
Misalnya, UAS membuat satu konten khusus untuk menyikapi terbunuhnya enam laskar FPI kemarin. Dengan menyebut satu ayat dan dua hadis, UAS mengungkapkan bahwa kejadian tersebut adalah kejam. UAS juga berharap kasus tersebut harus diusut tuntas dan transparan.
Dalil yang paling populer beberapa hari ini dikutip adalah al-Maidah ayat 32, di mana disebutkan di sana bahwa pembunuhan seseorang maka seakan telah membunuh semua manusia. Mengatasnamakan simpati kemanusiaan, mereka mengutip ayat tersebut. Sayangnya, ayat yang sama tidak bergelora ketika melihat saudara kita di Sigi kemarin.
Padahal, tagar “Pray for Sigi” menggelora di berbagai platform media sosial pasca terjadinya tragedi Sigi dalam beberapa waktu lalu. Ayat yang sama dapat menjadi legitimasi bersimpati pada korban tragedi Sigi. Alangkah disayangkan, hal tersebut tidak terlihat kemarin di saat terjadi tragedi yang mengakibatkan beberapa orang tewas mengenaskan. Apa sebab?
***
Tragedi kemanusiaan yang terjadi di Sigi atau terbunuhnya enam orang manusia di tol Cikampek kemarin sebenarnya memiliki irisan yang sama, nyawa manusia. Kehilangan nyawa manusia adalah persoalan universal, bukan soal apa agama, ras, golongan atau kelompok tertentu. Oleh sebab itu, dalam surat al-Maidah ayat 32 tersebut tidak disebutkan pengelompokan atas nama apapun.
Sebuah unggahan status dari salah seorang teman saya di akun Facebook miliknya. Di sana dia mengomel tentang sikap pasif atau bungkam masyarakat muslim atas kejadian yang menewaskan empat orang secara mengenaskan. Dia juga menambahkan daftar alasan klise yang sering dipakai oleh mereka yang memilih bungkam ketika tragedi seperti di Sigi kemarin terjadi.
Salah satu alasan yang menarik perhatian saya kala membaca status tersebut adalah sikap bungkam atau diam atas aksi teror. Dia memasukkan diam sebagai pengkhianatan atas nilai kemanusiaan.
Saya setuju dengan sikap teman saya tersebut. Bungkam atas tragedi kemanusiaan lain hanya dengan alasan perbedaan agama atau kelompok, adalah sebuah pengkhianatan atas kemanusiaan itu sendiri.
Namun, pembelaan mereka berlatar asumsi bahwa simpati memang lebih mudah keluar dari diri kita jika kita memiliki ikatan tertentu dengan korban tragedi. Sebab, ungkapan rasa simpati juga menjadi bagian dari identitas kita.
Mungkin kita sering menjumpai pernyataan sarkas seperti ini, “Kita simpati ketika orang xxxxx terbunuh, tapi ketika ada umat Islam yang terbunuh malah diam”. Pernyataan ini sering dipakai untuk merendahkan mereka yang sering lebih aktif bersimpati pada tragedi yang terjadi kepada kelompok di luar agama yang dipeluknya. Namun, titik tekan sebenarnya dalam pernyataan semacam ini adalah sikap terhadap tragedi dinilai sebagai bagian dari ekspresi bagian dari kelompok.
Asumsi semacam itu menyimpan potensi bahaya. Sebab, ketika identitas menjadi pembatas untuk kita bersimpati ketika terjadi tragedi kemanusiaan, maka secara tidak sadar kita sendiri telah mendukung aksi kekerasan atas seorang manusia ketika berbeda identitas. Bagaimana bisa?
Amartya Sen, ekonom asal India, pernah menulis bahwa permusuhan yang timbul dari sikap eksklusif bisa berjalan bergandengan tangan dengan manfaat yang timbul dari sikap inklusif. Dia memberi ilustrasi bahwa kesamaan identitas dalam satu komunitas sosial dapat membuat kehidupan tersebut jauh lebih baik, solidaritas yang tinggi namun juga bisa berbuat kejahatan kepada orang yang baru masuk dalam wilayah komunitas tersebut.
“Rasa akan identitas bisa memberi sumbangan berarti bagi kekuatan dan kehangatan hubungan kita dengan pihak lain, seperti tetangga, anggota komunitas yang sama, sesama warganegara, atau penganut agama yang sama” tulis Amartya Sen. Solidaritas dan perhatian yang dibangun dalam pertalian identitas bisa membuat kita melakukan berbagai hal.
Namun, di saat yang sama dapat menjadi alasan atau legitimasi untuk melakukan kejahatan terhadap yang liyan dari kelompok tersebut. Maka tidak heran jika kita bisa melihat kebaikan dalam sebuah komunitas atau kelompok, namun kasar kepada mereka yang berbeda kelompok.
***
Di tengah ramainya perbincangan terkait meninggalnya enam orang yang sebabnya masih simpang siur, sikap menghadirkan ekspresi simpati tentu adalah perbuatan yang mulia. Sayangnya, sikap terpuji tersebut masih terbatas dalam sekat agama kita sendiri. Akibatnya, kala ada anggota kelompok agama lain menjadi korban kekerasan, apalagi sampai tragedi kemanusiaan seperti di Sigi, malah kita diam seribu bahasa.
Bahkan, kita malah melihat makin massifnya glorifikasi atas jatuhnya korban enam orang tersebut. Hal ini sepertinya karna makin kuatnya wacana politik identitas akhir-akhir ini. Narasi “syahid” atau “jihad” makin kencang di media sosial yang dimotori oleh beberapa influencer, kaya nama-nama yang saya sebut di atas. Memang, mereka memiliki kadar tertentu dan metode masing-masing.
Kehilangan rasa simpati atas tragedi kemanusiaan yang dialami kelompok lain saja sudah menghadirkan masalah. Ditambah, glorifikasi atas kematian enam korban tol Cikampek malah membuat masalah baru (tapi lama).
Aktivitas tersebut sebenarnya mengipasi persoalan rumit antara umat Islam-Negara, yang selama ini dijadikan komoditas politik kalangan Islamis dalam beberapa tahun terakhir ini. Menuntut keadilan atas hilangnya nyawa orang kepada negara dalam kejadian di tol Cikampek tersebut memang menjadi tugas kita bersama, termasuk mengawalnya hingga kebenaran atau fakta kejadiannya bisa dihadirkan.
Jadi, memaksa kasus ini dalam narasi agama malah akan membuat mempersempit perspektif belaka, sebagai kasus politik identitas bukan kemanusiaan. Jika terjerumus dalam di sana malah akan menumpukan simpati dan empati pada persoalan kelompok lain, dan menumbuhkan kebencian atas nama identitas yang sempit.
Sedangkan, simpati atas nama kemanusiaan sudah seharusnya dapat keluar dari sekat-sekat primordialisme, seperti agama atau identitas lainnya. Sehingga, kita bisa benar-benar mengahadirkan kemanusiaan di dunia ini. Oleh sebab itu, menghadirkan narasi agama, seperti jihad atau syahid, malah memperburuk keadaan.
Arkian, simpati atas seluruh tragedi kemanusiaan di manapun terjadi adalah bagian dari penghormatan atas nilai-nilai humanisme itu sendiri. Jadi, jangan batasi rasa simpati kita atas nama agama, ras, atau kelompok belaka.
Fatahallahu alaina futuh al-arifin