Bukan Shaf Pertama, Sahabat Ini Memilih Shalat di Shaf Paling Belakang

Bukan Shaf Pertama, Sahabat Ini Memilih Shalat di Shaf Paling Belakang

Biasanya para sahabat berebut untuk shalat di shaf pertama atau shaf paling depan. Namun sahabat nabi ini malah di shaf belakang. Kenapa, ya?

Bukan Shaf Pertama, Sahabat Ini Memilih Shalat di Shaf Paling Belakang

Rasulullah SAW telah banyak menjelaskan pentingnya shalat di shaf paling depan. Rasulullah juga telah banyak menjelaskan mengenai fadhilah-fadhilah atau keutamaannya. Hal tersebut untuk menambah keyakinan dan memacu semangat manusia dalam berlomba-lomba melakukan kebajikan, terutama untuk melakukan shalat di shaf pertama.

Rasulullah pernah bersabda yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah:

لَوْ يَعْلَمُ النَّاسُ مَا فِي النِّدَاءِ وَالصَّفِّ الْأَوَّلِ ثُمَّ لَمْ يَجِدُوا إِلَّا أَنْ يَسْتَهِمُوا عَلَيْهِ لَاسْتَهَمُوا

“Seandainya manusia mengetahui apa yang ada (yaitu keutamaan) di dalam seruan (adzan) dan shaf pertama, lalu mereka tidak bisa mendapatkan shaf tersebut kecuali dengan undian, sungguh mereka akan melakukan undian untuk mendapatkannya.” (HR. Bukhari).

Baca juga: Benarkah Shaf Belakang Lebih Utama Bagi Perempuan?

Hadis tersebut mengisayaratkan kepada kita bahwa posisi shalat di shaf pertama mempunyai pahala yang sangat besar. Bahkan Rasulullah pun menggambarkan, jika manusia tahu keutamaan di dalamnya, pasti mereka pun rela untuk berebut undian.

Namun walaupun begitu, ternyata ada juga sahabat yang justru mememilih berada di shaf akhir, padahal ia bisa saja menempati shaf paling depan. Ia pun mengerti seberapa besar keutamaan dan pahala yang terkandung di dalamnya. Seperti yang diceritakan Syekh Halwan Ali bin Athiyyah al-Haity dalam kitabnya “Nasamat al-Ashar fi Manaqib wa karamat al-Auliyaal-Akhyar”. Beliau menceritakan cerita yang bersumber dari Al-Ghazali dalam Ihya’nya. Suatu ketika Sahabat Sa’id bin Amir hendak  menunaikan shalat berjamaah. Namun terlebih dahulu ia menemui Abi Darda’ untuk berangkat bersama.

Iqomat pun dikumandangkan, para sahabat mulai berebut shaf awal. Namun Abi Darda’ tidak bergerak sama sekali, justru malah melangkah mundur ke belakang hingga berada di shaf paling belakang. melihat hal itu, sahabat Sa’id bin Amir keheranan dan setelah shalat ia memberanikan diri untuk bertanya pada Abi darda’ mengenai hal tersebut.

“Bukankah engkau sudah mengetahui akan Shaf yang paling utama adalah yang pertama wahai Abu Darda’?tanya Sahabat Sa’id

“Ya, saya tahu. Akan tetapi perlu kamu ketahui bahwa umat ini adalah umat yang paling dikasihi dan lebih dilihat oleh Allah dari pada umat-umat yang lain. Saat shalat, Allah akan melihatnya dan akan mengampuni orang itu beserta orang-orang yang berada di belakangnya. Dan alasan saya berada di shaf akhir ketika shalat adalah berharap Allah mengampuni dosa saya lantaran orang-orang yang berada di depan saya.”

Baca juga: Benarkah Shalat Makmum yang Sendirian di Belakang Shaf Batal?

Hal yang sama juga dilakukan Bisyri al-Harits. Ketika ia menunaikan shalat jamaah ia memilih berada di Shaf paling belakang. Padahal ia telah datang di tempat shalat jauh sebelum waktunya shalat tiba. Justru ketika shalat ditunaikan ia merangsek kebelakang untuk menempati shaf yang paling belakang. Sehingga suatu ketika ia ditanyai mengenai hal tersebut. lalu beliau menjawab.

إنّما يراد قرب القلوب لا قرب الأجساد

“Yang dikehendaki dalam shalat adalah dekatnya hati, bukan dekatnya badan”

Beliau beralasan bahwa ia melakukan shalat di shaf paling belakang adalah agar ia lebih bisa menjaga hatinya.

Perlu digarisbawahi, ada beberapa perbedaan yang sangat mendasar mengenai motif perbuatan sahabat dalam menempati shaf akhir, dan fenomena kita yang dengan sengaja shalat di shaf paling belakang.  Pertama, mengenai niat. Para sahabat mempunyai niat yang baik dan berdasar. Mereka tidak asal-asalan dalam melakakukan hal tersebut. Beda dengan sebagian kita yang sengaja memilih posisi paling belakang dengan tujuan agar bisa langsung dengan mudah pergi meninggalkan masjid ketika shalat usai.

Kedua, walaupun menempati shaf akhir, para sahabat telah datang di tempat jamaah jauh sebelum iqomat dikumandangkan. Beda dengan kita yang malah kebanyakan baru datang ketika shalat sudah berjalan.

Dari sini dapat disimpulkan bahwa telat ketika jamaah tanpa udzur syar’i merupakan tindakan yang kurang pantas dilakukan. Karena, ia telah kehilangan kesempatan mendapat fadhilah atau keutamaan menempati shaf pertama yang sangat dianjurkan nabi.

Namun, jika terpaksa terlambat dan harus menempati shaf belakang karena sebuah udzur syar’i, maka alangkah baik jika meniru niat para sahabat di atas. Paling tidak, dengan niat yang baik kita bisa mendapatkan fadhilah dan pahala yang besar dengan keterbatasan kita.  Jangan lupa untuk lebih meningkatkan kualitas kekhusukan shalat, karena mengingat perkataan Bisyri al-Harits “Yang dikehendaki dalam shalat adalah dekatnya hati, bukan dekatnya jasad”. (AN)

Wallahu a’lam.