Dunia sekarang ini rupanya tengah berada di ujung tanduk. Haidar Bagir, seorang cendekiawan muslim Indonesia, dalam Islam Tuhan Islam Manusia menyebutnya sebagai ‘Masa Kacau’ atau Chaotic Times. Ciri-ciri zaman kacau ditandai dengan merebaknya konflik sosial-agama atau sosial-politik. Setiap negara pasti pernah dan/atau bahkan sedang mengalami konflik.
Sebagai gambaran, ada banyak peristiwa konflik yang dapat dilihat. Seperti Israel dan Palestina yang tak kunjung usai, Poso dengan konflik antara kelompok minoritas Islam dan mayoritas Kristen, polemik hukum Islam Aceh, dan tragedi mengerikan yang pernah terjadi di Maluku – yang dicatat dalam sejarah sebagai konflik sektarian politik berkedok agama. Tentu ini hanya sampel kecil dari sekian banyak peristiwa konflik yang pernah dan yang sedang terjadi.
Serangkaian konflik ini kemudian menuntun pada sebuah kesadaran bahwa manusia mulai kehilangan pertimbangan nuraninnya dalam menyikapi suatu masalah – bahkan dapat dikatakan mereka menisbikan dan menegasikannya. Selain itu, prinsip-prinsip luhur agama perlahan mulai ditinggalkan. Dengan kombinasi sempurna inilah tanpa disadari akan melahirkan mental-mental firaun yang bringas, destruktif, dan korotif. Kajian Ecopsychology mengistilahkannya dengan makhluk- necrophilia. Tidaklah susah mengindentifikasi makhluk jenis ini. Mereka merupakan manusia yang tanpa sifat kemanusiaan – yang disebut Colebrook dalam tulisannya Death of the Post-Human sebagai: “human world without humans”.
Jika diterjemahkan dalam konsep kausalitas, konflik merupakan risultato (akibat). Sedangkan manusia dengan tipikal necrophilia-nya berposisi sebagai causa prima (penyebab utama). Cara untuk mengatasi akibat meniscayakan penyelasaian utama pada aras ‘penyebab-nya’. Karena secara logika konflik baru selesai jika penyebab konfliknya dapat dikendalikan. Oleh sebab itu sangat penting
mencari solusi penyelesaiannya – yang tentunya dimulai dari pengondisian manusianya terlebih dahulu.
Dalam tulisan kali ini akan dihadirkan sebuah kajian tentang pentingnya membumikan doktrin ishlāh (perdamaian) yang terdapat dalam Alquran sebagai upaya menanggulangi elegi konflik yang terjadi. Dengan kesadaran penuh, perdamaian akan lebih menjamin terhadap stabilitas suatu keadaan. Sehingga kreativitas dan produktivitas akan semakin mudah untuk dikembangkan. Berbeda dengan situasi konflik yang justru impact-nya sangat merugikan terhadap semua pihak. Dari sinilah penting kiranya untuk kembali merenungkan dan mentradisikan sikap islāh dalam kehidupan. Terkait detail penjelasan islāh dalam Alquran akan diuraikan dalam pembahasan berikutnya.
Deskripsi Singkat Makna Umum Ishlāh dalam Alquran
Kata shaluha (صلح) memiliki makna etimologi dasar ‘perbaikan’ yang merupakan antonim dari kata fasād (فساد) kerusakan. Bentuk infinitif kata tersebut adalah shilāh (صالح) yang maknanya dipadankan dengan mashlahah; kemaslahatan. Sedangkan kata ishlāh adalah bentuk infinitif kata kerja ashlaha yang telah mengalami proses afiksasi – yang kemudian dimaknai dengan ‘aktivitas memperbaiki’.
Secara terminologi terdapat pusparagam makna yang berbeda dari kalangan ulama dalam mendefenisikan kata ishlāh. Imam al-Ghazali dalam Ihyā `Ulum ad- Dīn menerjemahkan kata ishlāh sebagai suatu upaya memperbaiki hubungan yang tengah bermasalah. Tidak berbeda secara esensi pemaknaan dengan al-Ghazali, al- Alusi pengarang kitab Rūh al-Ma’āni mengartikan islāh sebagai suatu tindakan preventif dalam memproteksi diri dari sesuatu yang tidak patut. Dalam konteks ishlāh ketidakpatutan tersebut adalah keterpecahan atau konflik itu sendiri.
Selain Imam Ghazali dan al-Alusi masih banyak definisi ishlāh yang dikemukakan para ulama lainnya. Akan tetapi yang perlu digaris bawahi, dari sekian banyak definifi ishlāh yang ada, orientasi pemaknaannya pasti merujuk pada proses perdamaian atau rekonsiliasi yang melibatkan dua pihak atau lebih yang sedang berseteru – dan definisi inilah yang umum digunakan para ulama dalam mengartikan kata ishlāh dalam Alquran.
Ditinjau dari jumlah lafaz ishlāh beserta derivasinya dalam Alquran, Umar Abdullah Najmuddin al-Kaylani mencatat dalam artikelnya sebanyak 180 kali penyebutan. Dari keseluruhan lafad ini tentu konteks dan artinya berbeda-beda. Syekh az-Zarqani membuat sebuah rumusan dalam kitabnya, Manāhil al-`Irfān, yang menegaskan makna ishlāh dalam Alquran merujuk pada sepuluh hal: pertama, ishlāh al-aqā’id; kedua, ishlāh al-`ibādāt; ketiga, ishlāh al-akhlāq; keempat, ishlāh al-ijtimā’; kelima, ishlāh as-siyāsah aw al-hukm ad-dauli; keenam, ishlāh al-māli; ketujuh, ishlāh an-nisā’i; kedelapan, ishlāh al-harbi; kesembilan, ishlāh al- istirqāq; kesepuluh, ishlāh al-`uqūl wa al-afkār (tahrīr al-uqūl).
Sebuah penelitian berkenaan dengan makna ishlāh yang ditulis oleh Fikri dalam jurnal ar-Risalah, ia mengutip Anton Na’mah yang menyejajarkan makna al- ishlāh, al-salām (atau al-islām), al-ihsān dan tahiyyah. Ketiga terma tersebut memiliki makna yang persis (sinonim) – yakni, keselamatan, kemaslahatan, atau perbaikan. Ternyata pemikiran serupa juga diutarakan oleh Nurcholish Madjid dalam salah satu karyanya yang berjudul Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah. Dalam bukunya tersebut beliau menyimpulkan bahwa antara al-islām, al- imān, dan al-ihsān merupakan satu-kesatuan. Meskipun dalam pembagiannya terkesan adanya kompartementalisasi antara satu kata dengan kata lainnya. Sesungguhnya, kata beliau, satu dari ketiga makna tersebut mengandung makna lainnya. Al-Ishlāh sendiri maknanya terintegrasikan dalam subtansi kata al-imān. Lalu beliau mengutip suatu redaksi hadis yang artinya: “Demi Dia yang diriku ada di genggaman-Nya, kamu tidak akan masuk surga sebelum kamu beriman, dan kamu tidak beriman sebelum kamu saling mencintai. Belumkah aku beri petunjuk kamu tentang sesuatu yang jika kamu kerjakan kamu akan saling mencintai?! Sebarkanlah perdamaian di antara sesama kamu.
Sederhananya, al-ishlāh merupakan konsekuensi dari perilaku beriman, berislam, dan berihsan. Keempatnya merupakan satu bangunan utuh yang tidak dapat dipisahkan. Perdamaian erat kaitannya dengan perilaku luhur budi pekerti.
Seseorang tidak akan bisa menciptakan perdamaian tanpa didasari perilaku yang menjamin ketentraman (islām), keamanan (iman), dan kebaikan (ihsān).
Doktrin Ishlāh al-Ijtimā’i al-Kullī: Perdamaian Sosial dalam Alquran
Allah berfirman dalam Alquran, surat an-Nisā’: 114:
“Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma´ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Dan barangsiapa yang berbuat demikian karena mencari keridhaan Allah, maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar”.
Berpijak pada perspektif kajian semantik-gramatikal, kata islāh merupakan bentuk infinitif dari kata kerja aktif ‘ashlaha’ (li at-ta’diyyah). Hal ini mengisyaratkan bahwa perdamaian harus diupayakan dan diwujudkan. Oleh sebab itu Alquran membahasakannya dengan; mengadakan perdamaian.
Beberapa ulama tafsir menekankan pentingnya suatu perdamaian. Sampai- sampai dalam ranah teologis pengadaan perdamaian kualitas derajatnya di atas puasa, sedekah, dan sholat. Keterangan ini disampaikan oleh Imam al-Baghawi dalam kitab tafsirnya, Ma’ālim at-Tanzīl. Pernyataan Imam Baghawi tersebut rupanya berlandasakan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dardak – yang menceritakan Rasulullah pernah bersabda di hadapan para sahabat bahwa perdamaian nilainya lebih tinggal dibandingkan puasa, sedekah dan sholat.
Senada dengan ayat sebelumnya, Allah berfirman dalam surat an-Nisā’: 128:
“Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”.
Ada banyak riwayat yang menerangkan konteks sosio-historis turunnya surat an-Nisā’: 128 ini. Akan tetapi yang pasti ayat ini berbicara tentang pasangan suami-istri yang hendak bercerai karena suatu problem internal rumah tangga. Maka kemudian Allah menurunkan ayat ini sebagai solusi agar keduanya tidak berpisah dan mengadakan perdamaian. Terlepas dari asbab an-nuzul ayat, pada ayat itu terdapat kalimat yang berbunyi: خير الصلح و – perdamaian itu lebih baik. Ibnu al- Jazari menilai lafaz tersebut general. Artinya segala bentuk perdamaian tanpa terkecuali, baik dalam domain keluarga, masyarakat, kabilah, ataupun klan, tercakup dalam lafaz tersebut.
Sebagaimana telah disinggung dalam pembahasan makna umum islāh, bahwa budaya perdamaian dalam Alquran tidak selalu diartikulasikan dengan kata ‘islāh’. Seperti firman Allah dalam surat al-Anfāl: 61:
“Dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya dan bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”.
Perdamaian pada ayat ini diungkapkan dengan menggunakan istilah as- silm. Semua ulama tafsir pun menafsirkan kata as-silm dengan al-islāh: perdamaian. Salah satu riwayat dalam kitab tafsir Ibnu Katsir menjelaskan bahwa ayat ini menceritakan sejarah ‘Perjanjian Hudaibiyah’ antara Rasulullah dan kaum kafir Qurays Mekah. Perjanjian tersebut berisikan tentang perdamaian atau gencatan senjata selama sembilan tahun (sebagian kitab sirah mengatakan sepuluh tahun) – antara umat Islam dan kafir Qurays.
Berlandaskan keterangan-keterangan di atas dapat dimengerti bahwa doktrin perdamaian yang dideklarasikan Alquran berkelindan dengan larangan ‘berpecah-belah’ antara satu dengan yang lainnya – seperti yang disebutkan dalam surat Āli Imrān ayat 103. Kaidah klasik usul fiqh menegaskan: larangan mengerjakan sesuatu mengindikasikan perintah untuk mengerjakan sesuatu yang menjadi kebalikannya.
Dalam Alquran Allah melarang manusia untuk saling bermusuhan dan berpecah-belah. Artinya, Allah memerintahkan manusia agar saling mencintai, mengasihi, dan berdamai antara satu dengan yang lainnya. Nabi Muhammad, yang masyhur dengan akhlak quraniyyah-nya mengatakan dengan tegas: “sesudahku pasti akan banyak perbedaan dan pertentangan di antara kalian semua. Maka usahakanlah untuk mengadakan perdamaian.
Pentingnya Penerapan Islāh dalam Kehidupan Sosial
Fakta sejarah membenarkan bahwa konflik tidak menghasilkan apapun kecuali kerugian, kerusakan, dan ketidak-kondusifan lainnya. Beberapa tragedi konflik mengerikan seperti halnya Perang Salib (1096-1271 M), konflik Moro Filipina (Islam dan Kristen), pembantaian umat Islam Rohingnya di Myammar, dan konflik etno-politik berkedok agama di Maluku, – seharusnya menjadi pelajaran berharga bagi semua kalangan agar tidak mengulang kejadian yang serupa. Bukannya malah memperkeruh suasana dengan saling berebut kuasa dan menuruti libido keegoisan diri atau kelompok masing-masing.
Konflik hanya mampu dihindari dengan cara berdamai. Semua Kitab Suci pasti mengajarkan perdamaian. Secara khusus dalam hal ini adalah Alquran yang sangat menjunjung tinggi perdamaian – di semua situasi dan kondisi. Bahkan dalam situasi genting sekalipun. Mahmud Abdus Sattar Syalalud Dihan dalam ulasannya yang cukup panjang tentang al-Islāh al-Ijtimā’I fī al-Qur’an (Perdamaian Sosial dalam Alquran) – memberikan sebuah kesimpulan menarik terkait mahalnya perdamaian. Ia mengatakan dengan tegas: “kehidupan tanpa perdamaian bukanlah kehidupan. Sebab orang tidak akan pernah merasakan hidup di tengah tekanan konflik. Nikmatnya kehidupan baru dapat dirasakan ketika dalam situasi damai.
Suatu perdamaian tentunya dapat membawa kemaslahatan. Baik berupa kemashlahatan materiel atau imateriel. Ketenangan, kemashlahatan, keamanan, dan keselematan paralel dengan perdamaian. Dapat dikatakan pula bahwa keempatnya merupakan hasil daripada perdamaian. Tingkat perdamaian yang tinggi lebih menjamin akan meningkatnya suatu peradaban. Jika dibuat perbandingan dalam skala wilayah, maka wilayah dengan tingkat perdamaian tinggi, peradabannya akan sangat mudah berkembang dan maju. Berbeda dengan wilayah atau negara dengan volume resiko konflik yang tinggi, pasti akan cenderung terbelakang dan tertinggal.
Seorang bijak bestari cum ahli sejarah Yahudi, Max I Dimont, melakukan sebuah pengamatan panjang tentang hubungan Yahudi dan Islam. Ia mengajukan bukti sejarah yang luar biasa tentang pentingnya suatu perdamaian. Dalam bukunya yang berjudul The Indestructible Jews ia menjelaskan pada saat masa keterbukaan (the period of openness) Islam dan Yahudi berjalan saling beriringan dalam membangun peradaban. Keduanya mempertahankan keyakinan dan kepentingannya sendiri-sendiri tanpa mengusik urusan atau kepentingan lainnya. Namun di antara dua perbedaan itu mereka dipertemukan dalam satu titik temu, yakni membangun peradaban. Islam fokus pada upaya mempertahankan masa kejayaannya dan Yahudi fokus pada pengembangan filsafat, matematika, astronomi, diplomasi, dan selainnya.
Hal ini merupakan bukti konkrit sejarah betapa perdamaian sangat penting dalam sebuah hubungan sosial yang di dalamnya didapati banyak perbedaan, baik secara keyakinan, pandangan hidup ataupun politik. Perdamaian tidak perlu mengorbankan ‘jati diri sebuah kepercayaan’. Cukup dengan cara mengkompromikan berbagai perbedaan tersebut hingga mendapatkan win win solution – hasil berimbang yang saling menguntungkan.